Komunikasi, Aspek Penting Perlu Dikuasai Pemimpin Sekolah Katolik

0
167 views
Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia (YKTI) dan Yayasan Insan Sekolah Kasih (YISK) bekerjasama menyelenggarakan School Leadership Camp (SLC) batch 5 bertema “Pemimpin Penggerak”, Jumat-Minggu, 3-5 Oktober 2025 di Semarang. (Panitia)

Struktur, paradigma, dan implementasinya

Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia (YKTI) dan Yayasan Insan Sekolah Kasih (YISK) kembali bekerjasama menyelenggarakan School Leadership Camp (SLC).

SLC batch 5 tahap 2 yang bertema “Pemimpin Penggerak” ini berlangsung Jumat–Minggu, 3–5 Oktober 2025 di Semarang.

33 guru dari enam keuskupan

Pelatihan yang dikenal sebagai “sekolah calon kepala sekolah” ini diikuti oleh 33 guru dari enam keuskupan di Indonesia. Tiga fasilitator dari YKTI mendampingi pengolahan, yaitu: HJ Sriyanto, Ignaz Kingkin, dan AA Kunto A.

Romo Singgih Guritno Pr dan Ferdinand Hindiarto secara khusus melandasi aspek spiritualitas pendidikan Katolik dan spiritualitas kepemimpinan.

SLC merupakan pelatihan yang spartan dengan durasi panjang, intensitas tinggi, dan kualitas pendalaman yang serius. Setiap batch dibagi dalam tiga tahap pertemuan tatap muka, masing-masing berdurasi tiga hari.

Sebelum tahap pertama, peserta menerima pra-wacana sebagai sumber belajar bersama. Mereka juga wajib mengirimkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Kedua hal itu menjadi “tiket” bagi peserta untuk dapat mengikuti pelatihan.

Pada setiap batch, peserta memperoleh pembekalan materi yang berangkat dari kebutuhan nyata di lapangan, ditangkap melalui tugas-tugas yang mereka kirimkan. Artinya, pelatihan ini bersifat empiris-kuratif: perubahan dimulai dari aksi nyata.

Selepas tiap tahap pelatihan, peserta juga mendapat penugasan—terutama terkait implementasi perubahan di sekolah masing-masing. Kendala maupun kelancaran implementasi tersebut menjadi umpan balik untuk materi pada tahap berikutnya, hingga seluruh rangkaian selesai.

Komunikasi: esensial, tapi sering disepelekan

Pada batch 5 tahap 2 ini, peserta diajak untuk menguasai aspek komunikasi – sesuatu yang sangat esensial, namun kerap disepelekan. Esensial, karena komunikasi hadir dalam setiap aspek pekerjaan dan pembelajaran. Disepelekan, karena sering dianggap sekadar “omong-omong”.

Oleh karena itu, calon kepala sekolah digodok secara intens dalam hal komunikasi; mulai dari komunikasi personal hingga kolegial. Jabarannya meliputi komunikasi efektif, komunikasi organisasi, supervisi dengan coaching, counseling, dan mentoring, hingga monitoring dan evaluasi.

Topik komunikasi dihadirkan tidak hanya sebagai paradigma fundamental, tetapi juga sebagai tools operasional.

Bauran materi ini diolah secara mendalam, terstruktur, dan terukur agar para peserta keluar dari pemahaman sempit bahwa komunikasi sekadar bagaimana pesan sampai kepada penerima.

Tidak cukup. Komunikasi juga tidak dianggap selesai ketika penerima pesan memberi umpan balik. Itu pun belum cukup.

Sebagai “pemimpin penggerak”, calon kepala sekolah perlu memahami komunikasi pada kedalaman yang lebih hakiki: bagaimana penerima pesan mau menjadi bagian dari keseluruhan dan keutuhan pesan itu sendiri. Inilah esensi komunikasi yang berakar dari kata Latin communicare, yang berarti “berbagi dalam kebersamaan”.

Mengapa pemahaman ini penting?

Karena guru – terlebih calon kepala sekolah- bukan sekadar agen penyampai pesan, melainkan dirinya sendiri adalah pesan itu. Sebagai “pesan yang hidup”, guru dipanggil untuk hadir secara utuh lewat pikiran, ucapan, dan tindakan.

Pada tahap berikutnya, sebagai kepala sekolah, pikiran, ucapan, dan tindakan tersebut diwujudkan dalam konsep (visi, misi, nilai dasar) serta dalam laku organisasi yang dipimpinnya.

Menyambung tahap sebelumnya

Materi-materi ini melanjutkan pengolahan pada tahap pertama, 5–7 September 2025 lalu. Saat itu peserta dibekali konsep pipeline leadership (pipa kepemimpinan), yang menghubungkan visi-misi dan nilai dasar lembaga dengan profil guru serta lulusannya.

Materi ini penting agar guru memahami pentingnya penyelarasan visi pribadi dengan visi lembaga, serta mampu mengambil keputusan yang tepat pada waktu dan proses yang tepat pula.

Menurut HJ Sriyanto, “Program yang dijalankan lembaga sekolah akan sangat berdampak apabila jabatan struktural didasarkan pada level kompetensi.”

Lokakarya pelatihan berbagai keterampilan dengan para anggota para guru potensial calon kepala sekolah. (Panitia)

Pernyataan ini berangkat dari temuan bahwa banyak kepala sekolah menjabat tanpa kompetensi organisasi. Umumnya, kepala sekolah dipilih oleh yayasan berdasarkan performa pribadi sebagai guru yang baik dan berprestasi. Padahal, tugas kepala sekolah dan guru bukan hanya berbeda, melainkan juga menuntut pemahaman kepemimpinan dan kemampuan manajerial yang tinggi.

Untuk itu, HJ Sriyanto memperkenalkan apa yang disebut kanvas tanggung jawab kerja, yang memuat nama jabatan, fungsi utama jabatan, kewenangan strategis, hingga penentuan indikator keberhasilan—semuanya dirancang secara detail dan transparan untuk dapat dievaluasi.

Bagi lembaga, pipa kepemimpinan ini bukan hanya menguntungkan karena distribusi wewenang dan alur keputusan menjadi jelas, tetapi juga mempermudah pemetaan jalur suksesi kepemimpinan. Hal inilah yang sering kali “bolong” di lembaga sekolah: siapa yang akan meneruskan dan bagaimana menyiapkannya.

Dengan pemahaman dan kesadaran ini, tugas sebagai kepala sekolah tidak lagi dipandang semata sebagai pekerjaan, melainkan sebagai panggilan perutusan. Dokumen-dokumen yang disusun rapi dan detail pun tidak lagi dirasa sebagai beban administrasi yang memberatkan, melainkan justru dituntaskan demi meringankan jalannya lembaga yang hadir untuk murid-muridnya.

AA Kunto A, tim fasilitator Yayasan Kawan Tumbuh Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here