Komunitas Pro Bono Publico: Pancasila Harus Jadi Gerakan dan Sumber Inspirasi Keteladanan

0
86 views
Ilustrasi (Ist)

PANCASILA harus menjadi gerakan dan keteladanan. Demikian antara lain yang menjadi simpulan diskusi daring bertema “Mempelajari Gerak Radikalisme: Dari 9/11 Sampai Taliban”.

Diskusi ini diikuti oleh 200 orang pegiat sospolkem umat Katolik seluruh Indonesia dan terjadi pada hari Sabtu, 11 September 2021.

Diskusi ini digelar oleh komunitas Pro Bono Publico tersebut menampilkan tiga narasumber. Yakni,

  • Mayjen TNI Rido Hermawan dari Bidang Kewaspadaan Nasional Lemhannas RI.
  • Dr. J. Kristiadi, peneliti senior CSIS.
  • Trias Kuncahyono, wartawan senior dan pemerhati Timur Tengah.

Diskusi ini digelar sebagai refleksi 20 tahun peristiwa 9/11 (11 September 2001). Juga sekaligus untuk bisa mendapatkan pemahaman tentang peristiwa dampak perubahan kekuasaan politik di Afghanistan dan bagaimana potensi dampaknya di negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.

Kelompok sipil bersenjata

Menurut analisis Trias Kuncahyono, Amerika sebetulnya tidak memandang Taliban sebagai teroris. Melainkan kelompok sipil bersenjata, karena mereka memang ingin menguasai wilayah negaranya sendiri dari cengkeraman kekuasan asing.

Awalnya, gerakan bersenjata itu muncul di wilayah Afghanistan selatan dan perbatasan barat daya Pakistan yang didominasi etnis Pashtun, suku terbesar 40% dari Afghanistan.

Itulah kenapa AS mau bernegosiasi dengan kelompok Taliban di Doha.

AS mempertimbangkan bahwa kerugian di Afghanistan terlampau besar dan tujuan awal mereka memburu Osama bin Laden yang bertanggung jawab atas Insiden 9/11 telah tercapai.

Memulai paparan dengan menjelaskan perbedaan Taliban dengan Al Qaeda dan ISIS, Trias Kuncahyono menegaskan bahwa Taliban merupakan gerakan beraliran Deobandi, Wahabi dan loyal setia pada tradisi suku Pashtun (Pashtunwali).

Jadi lebih cenderung merupakan gerakan nasionalis Afghanistan bersifat eksklusif, beraroma kesukuan dan berbeda dengan ISIS maupun Al Qaeda yang berciri transnasional.  

Kata ‘keberhasilan’ Taliban lebih tepat digunakan sebagai diksi ketimbang ‘kemenangan’. Sebab peristiwa Afghanistan terjadi lebih karena terdongkraknya kepercayaan diri Taliban atas undangan negosiasi Doha. Juga karena fenomena korup di tubuh tentara pemerintah yang ternyata tidak memiliki kekuatan sebesar yang dilaporkan pada AS.

Menunggu bukti nyata

Keberhasilan Taliban merebut kembali kekuasaan dari pemerintahan Presiden Asraf Ghani itu membuat “ketakutan” banyak pihak.

Terutama terhadap keberadaan kaum perempuan dan kaum minoritas lainnya.

Masyarakat internasional sekarang sedang menunggu apakah rezim Taliban baru ini akan sukses menyejahterakan rakyatnya sesuai dijanjikan.

Sebab masyarakat internasional masih mencatat bahwa Taliban berciri radikal dan fundamentalis.

Masyarakat internasional juga menunggu apakah Taliban mampu mendapatkan sponsor untuk penyelenggaraan pemerintahan. Atau terpaksa mengandalkan bisnis narkoba untuk pembiayaan. Ini mengingat 80% bisnis narkoba ada di sekitar Afganistan.

Selain itu, meskipun berciri gerakan nasional, hal yang perlu menjadi perhatian adalah bangkitnya era fundamentalis dan revolusi spiritual di kalangan fundamentalis dan teroris di negara-negara lain yang terinspirasi keberhasilan Taliban yang diklaim sebagai kemenangan umat beriman.

Indonesia pun perlu mewaspadai berkembangnya mentalitas warga yang ditengarai konservatif menyerupai apa yang dianut kelompok Taliban.

Di Indonesia, awasi kepentingan proksi

Radikalisme dalam konteks Indonesia, demikian menurut menurut Mayjen Rido Hermawan, adalah semua bentuk sikap, ucapan dan tindakan yang berlawanan dengan tujuan nasional dan 4 konsensus bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Saat ini, kata dia, hal itu perlu diwaspadai dengan memperhatikan perubahan psikologi SDM karena  beberapa factor berikut ini:

  • Dampak pandemi dan merebaknya informasi digital;
  • Berkembangnya intoleransi lantaran ketidakpuasan akan rasa keadilan;
  • Penetrasi ideologi transnasional karena keterbukaan informasi dan pengaruh global perebutan sumber kekayaan alam.

Apabila hal tersebut tidak dapat dikelola dengan baik dan tepat, maka tidak mustahil kalau Indonesia menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intoleransi yang kemudian berpotensi berkembang menjadi radikalisme dan terorisme.

Menurut indikator skala pengukuran ketahanan nasional -khususnya dalam aspek ideologi ketahanan nasional- Indonesia masih tergolong kurang tangguh.

Situasi tersebut perlu diwaspadai. Terlebih pada era globalisasi ini di mana ideologi, gagasan, pemikiran yang tidak sejalan dengan empat konsensus bangsa bisa dengan amat mudah masuk ke sendi-sendi kehidupan bangsa.

Kita berhadapan dengan ancaman-ancaman dari pihak asing.

Mereka amat berkepentingan menguasai wilayah negara kita. Dengan kekuatan pikiran, gagasan, ide-ide dasar, keyakinan dan kepercayaan yang kiranya mengganggu arah kebijakansuatu bangsa.

Modusnya bisa dilakukan melalui tokoh-tokoh yang bisa menjadi proxy bagi kepentingan asing.

Pemahaman tersebut didasari atas tesis Prof. Samuel Huntington, seorang pemikir politik, mengenai terjadinya perang peradaban dan sekaligus pemikiran Plato bahwa pemikiran adalah kekuatan dan sangat perlu diwaspadai karena kemajemukan Indonesia.

Secara khusus Mayjen Rido Hermawan menekankan perlunya kewaspadaan segenap komponen bangsa di dalam menangani intoleransi yang merupakan pintu masuk radikalisme.

Radikalisme perlu dihadapi dengan langkah hukum tegas.

Semua lapisan masyarakat harus tanggap dalam upaya terlibat dalam early warning system gejala radikalisme. Terutama kepada orang-orang yang cenderung tidak bisa menerima, tidak mau menghargai perbedaan seperti terlihat dari sikap, ucap dan tindakannya.

Berbagai tahapan

Dr. J. Kristiadi, peneliti senior CSIS, menggarisbawahi bahwa radikalisme memiliki kaitan dengan terorisme.

Untuk menjadi teroris, kata dia, maka orang harus melalui tahapan-tahapan dinamika dan psiko sosial individu masing-masing.

Munculnya radikalisme di Indonesia merupakan ancaman keberlangsungan keteraturan sosial bagi bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, program deradikalisasi sangat diperlukan. Khususnya bagi orang-orang ang sudah terpapar paham itu.

Hal-hal yang menyebabkan radikalisme adalah:

  • Faktor ekonomi;
  • Negara yang “lemah” dalam menghadapi radikalisme;
  • Menguatnya sel-sel radikalisme dalam berbagai lini, sektor kehidupan berbangsa, politik dsb.

Di Indonesia, kata J. Kristiadi, radikalisme ini banyak terjadi di kalangan agama yang kalau dipaksakan akan berdampak bagi sendi-sndi kehidupan bangsa.

Pendidikan karakter menjadi sangat penting dalam mencegah radikalisme dan negara perlu serius mengimplementasikan Pancasila sebagai gerakan dan keteladanan yang dimulai dari para pemimpin.

Tingkatkan trust

Ini penting karena saat ini trust sangat dibutuhkan.

Beberapa survei menunjukkan bahwa level trust tinggi saat ini baru kepada presiden, TNI dan Polri.

Tokoh-tokoh partai, kepala daerah, anggota legislatif dan tokoh lainnya perlu mempraktikkan semangat Pancasila secara nyata untuk membangun trust.

Selain itu, pemerintah perlu bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat termasuk ormas-ormas keagamaan untuk bersama-sama mencegah berkembangnya fundamentalisme.

PS: Pro Bono Publico atau Untuk Kepentingan Bersama adalah komunitas umat Katolik pegiat sosial politik kemasyarakatan di Jawa Tengah-DIY yang peduli pada isu-isu sosial kemasyarakatan dan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here