Kudeta Myanmar, Kardinal Bo: Perdamaian dan Dialog, Satu-satunya Solusi Masa Depan

0
153 views
Presiden Baru FABC Kardinal Charles Maung Bo SDB dari Myanmar. (Vatican News)

USKUP Keuskupan Agung Yangoon, Kardinal Charles Bo, mengeluarkan pernyataan yang mendesak aksi non-kekerasan dan upaya penyelesaian damai, menyusul kudeta militer di Myanmar.

Dunia bereaksi kaget dan cemas awal pekan ini, ketika militer Myanmar telah merebut kekuasaan dari pemerintah yang dipilih secara demokratis dan kemudian menahan para pemimpin pemerintah; termasuk Aung San Suu Kyi.

Uskup Agung Yangoon Kardinal Charles Bo telah menyerukan pentingnya dialog, menambahkan bahwa perdamaian adalah satu-satunya solusi untuk masa depan.

Kegelapan suatu bangsa
Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada hari Rabu (3/1) dan ditujukan kepada militer Myanmar, penduduk sipil dan komunitas internasional, Kardinal mengatakan negaranya sedang melakukan langkah perjalanan melewati satu masa paling menantang dalam sejarah.

Ia berharap agar segera dicari solusi jangka panjang terhadap “kegelapan sekarang yang tengah menyelimuti bangsa kita tercinta.”

Kardinal Bo mengimbau masyarakat Myanmar untuk tetap tenang, dan tidak pernah menjadi korban kekerasan. “Kita telah menumpahkan cukup banyak darah,” katanya.

Kurangnya dialog dan komunikasi
Kardinal melanjutkan dengan mengatakan bahwa peristiwa kudeta muncul sebagai ekses kurangnya dialog dan komunikasi buruk dan perselisihan pandangan yang beragam.

“Janganlah kita melanjutkan kebencian saat ini, ketika kita berjuang untuk martabat dan kebenaran. Biarlah semua pemuka masyarakat dan pemuka agama berdoa dan menyemangati komunitas untuk jawaban damai atas peristiwa ini,” katanya.

Pandemi dan protes
Uskup Keuskupan Agung Yangoon juga menekankan bahwa negara itu hidup dalam masa pandemi dan memohon kepada petugas kesehatan untuk tidak mengundurkan diri dari posisi mereka sebagai protes atas situasi politik saat ini. Ambillah jalan non-kekerasan.

Berbicara secara langsung kepada jajaran petinggi militer Myanmar (Tatmadaw), Kardinal memohon mereka untuk memperlakukan penduduk sipil secara bermartabat dan hormat. “Jangan ada kekerasan terhadap orang-orang Myanmar yang kita kasihi,” katanya.

Ia juga mendesak mereka untuk menghormati hak-hak perwakilan terpilih yang saat ini ditahan. “Mereka bukan tawanan perang,” tandasnya.

“Mereka adalah tawanan dari proses demokrasi. Anda menjanjikan demokrasi; mulailah dengan melepaskan mereka.”

Para pemimpin yang ditahan

Dalam kata-kata kepada Aung San Suu Kyi dan Partai NLD-nya, Kardinal Bo menyampaikan simpatinya atas penderitaan mereka dan berdoa agar mereka dapat kembali berjalan di tengah-tengah orang-orang, meningkatkan semangat mereka.

Rekonsiliasi bukan sanksi
Mengalihkan perhatiannya kepada komunitas internasional, Uskup Agung Kardinal Bo mengungkapkan rasa terimakasihnya atas kepedulian dan pendampingan yang penuh kasih saat ini.

Namun dia juga menunjukkan bahwa sanksi bukanlah solusi masa depan. “Sanksi berisiko meruntuhkan ekonomi, membuat jutaan orang jatuh miskin. Melibatkan banyak pihak dalam rekonsiliasi merupakan satu-satunya jalan,” katanya.

Sebagai penutup, Kardinal Bo menggarisbawahi bahwa semua sengketa harus diselesaikan melalui dialog. Ia mengulangi sekali lagi, “Kedamaian itu mungkin. Perdamaian adalah satu-satunya cara dan demokrasi adalah satu-satunya jalan menuju jalan itu.”

Vatican News

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here