KWI : Hentikan Kekerasan di Papua dan Mari Berdialog!

0
1,413 views

Salah satu rekomendasi yang muncul usai Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2011, yang berlangsung sejak tanggal 7 sampai dengan tanggal 17 November 2011 adalah pernyatan sikap dan seruan KWI tentang Papua.

Dengan tegas para uskup yang mewakili Gereja Katolik menyatakan “Hentikan Kekerasan! Marilah Berdialog!”

Kekerasan di Tanah Papua masih terus terjadi walaupun sudah berulangkali diserukan oleh berbagai pihak agar masalah-masalah Papua diselesaikan dengan cara damai. Kesejahteraan masyarakat yang mau dibangun hanya bisa terwujud kalau ada suasana damai yang memungkinkan semua komponen masyarakat bekerja sama dengan tenang. Masalah-masalah sosial yang begitu banyak tidak mungkin diatasi dengan jalan kekerasan.

Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru dan menambah masalah. Lebih buruk lagi kalau ungkapan pendapat dan pernyataan politik sekelompok masyarakat Papua, yang disampaikan secara terbuka dengan cara yang damai, lagi-lagi ditanggapi dengan gertak senjata, penangkapan, penganiayaan serta pembunuhan. Konferensi Waligereja lndonesia (KWl) menyatakan keprihatinan yang mendalam dan mengutuk tindakan kekerasan itu yang jelas-jelas tidak mengindahkan martabat manusia dan merampas hak hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia.

Kekerasan terhadap masyarakat Papua dan pelanggaran hak-hak orang Papua adalah kisah dengan sejarah yang sudah amat panjang. Jeritan hati orang-orang Papua atas perlakuan itu tidak bisa hanya dianggap angin lalu atau dibungkam dengan himbauan dan kebijakan-kebijakan sesaat. Diperlukan keberanian Pemerintah Pusat untuk mengubah sikap dan mengambil langkah pendekatan, serta penyelesaian yang berfokus pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Sambil sekali lagi menegaskan keprihatinan dan solidaritasnya dengan semua yang menjadi korban kekerasan, Konferensi Waligereja lndonesia menyampaikan seruan ini kepada Pemerintah Pusat:

• Kami mendorong Pemerintah Pusat untuk mewujudkan dialog dengan Masyarakat Papua. Niat Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang pernah dicetuskan sejak awal pemerintahannya, untuk menyelesaikan masalah Papua, hendaknya kini diwujudkan. Jalan yang dipakai haruslah jalan dialog. Ucapan-ucapan indah seperti “membangun Papua dengan hati” hendaknya dimulai dengan dialog dari hati. Dengan hati lapang, tanpa stigmatisasi apapun, hendaknya Pemerintah mendengarkan jeritan hati orang-orang Papua dan kisah penderitaan yang dialaminya sejak integrasinya dengan NKRI.

• Untuk mewujudkan dialog yan g konstruktif bagi seluruh masyarakat Papua, maka kami mendorong Pemerintah untuk memfasilitasi upaya-upaya mempertemukan berbagai komponen masyarakat Papua Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Majelis Rakyat Papua untuk mengakomodasi harapan-harapan mereka mengenai cara dan materi dialog.

• Kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua, entah OPM atau apapun juga namanya, baik yang berada di dalam negeri maupun yang di luar negeri, harus mendapat tempat utama dalam dialog itu. Untuk menjamin terjadinya dialog yang bermartabat, adil dan benar serta saling menghormati, harus ada pihak ketiga yang terpercaya untuk menjadi penengah.

• Atas segala bentuk pelanggaran HAM yang dialami orang-orang Papua, Pemerintah harus berani menegakkan keadilan, meminta maaf, mengganti rugi dan memulihkan hak-hak orang Papua.

• Undang-undang Otonomi Khusus bermaksud memberikan perlindungan dan kemudahan khusus untuk orang-orang Papua dalam membangun kesejahteraannya. Ada banyak hal yang belum terlaksana dari Otonomi khusus itu. Dengan banyaknya uang yang beredar di Papua, arus pendatang dari luar Papua pun makin deras. Dalam banyak bidang kehidupan, orang Papua terpinggirkan oleh pendatang-pendatang itu. Kami mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menata kembali kependudukan dan lebih terarah mengutamakan persiapan tenaga kerja Papua untuk lapangan kerja yang ada.

• Pasukan-pasukan keamanan yang ditempatkan di Tanah Papua terlalu banyak jumlah dan jenisnya. Mereka tidak mempunyai kegiatan yang secara positif mengisi waktunya dan bermanfaat untuk masyarakat setempat. Sikap dan perilaku mereka lebih sering menjadikan mereka musuh masyarakat dan bukan sebagai penjaga keamanan dan rasa aman bagi masyarakat. Kami mendorong Pemerintah untuk mengurangi jumlah TNI di Papua dan menempatkan di sana mereka yang matang serta mampu menjadi bagian dari masyarakat setempat sehingga betul menjadi pelindung masyarakat dan penjaminan keamanan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here