Puncta 25.09.23
Senin Biasa XXV
Lukas 8:16-18
WAKTU ibu melahirkan adik saya, ari-ari atau placenta-nya ditanam oleh bapak di dekat pintu masuk rumah. Di situ ditaruh lampu teplok untuk menerangi tempat ari-ari dikuburkan.
Orang Jawa percaya bahwa ari-ari adalah kakak kandung si bayi. Ia lahir bersama bayinya. Maka harus dirawat dengan baik.
Setahu saya hanya lampu teplok itu yang ditaruh di bawah untuk menerangi “saudara kandung” si bayi. Lampu itu menjadi penanda agar tempat itu aman dan terjaga. Lampu itu juga menjadi pengingat bahwa di situ ditanam ari-ari-nya bayi.
Selama satu bulan lebih lampu itu menerangi si “ari-ari”. Setelah upacara adat selapanan (35 hari) untuk si bayi yang sudah lahir, lampu itu sudah tidak dinyalakan lagi.
Seumumnya lampu adalah penerang yang ditaruh di atas kaki dian atau digantung di atas ruangan agar semua dapat diterangi.
Dengan dipasang lampu, semua yang ada di ruangan itu dapat terlihat dengan jelas.
Tuhan mengajak kita untuk menjadi pelita atau penerang. Keberadaan kita hendaknya seperti pelita atau lampu yang membawa terang, bukan malah menyebabkan kegelapan.
Kebaikan yang kita pancarkan seperti lampu yang memberikan cahaya bagi sekitarnya. Ada banyak area dalam kehidupan kita di tengah masyarakat yang masih diliputi kegelapan.
Ada keluarga yang sering cekcok, ada anak-anak yang terjebak judi online, ada pemuda yang bingung tentang masa depannya, ada orang-orang yang frustrasi dan stress mencari nafkah, ada orang yang putus asa ditinggal pasangannya.
Ada banyak anak kelaparan dan sakit. Ada kekerasan, penderitaan dan kemiskinan.
Ada begitu banyak orang membutuhkan penerang atau pelita kehidupan. Kita diajak oleh Tuhan untuk menempatkan diri sebagai lampu di atas yang menerangi sekitarnya.
Mari kita mendengar, melihat dan peduli untuk membantu mereka yang masih berada di tengah-tengah kegelapan.
Malam-malam menyalakan lampu,
Bersama-sama mencari buah jambu.
Pancarkan terang bagi dunia sekitarmu,
Dunia jadi indah karena kebaikanmu.
Cawas, nyalakan terangmu