Laporan dari Napoli: Uskup Agung Napoli Kardinal Sepe Puji Pancasila, Dr Valeria Kagumi Bhinneka Tunggal Ika

0
964 views
Para penggiat seminar dan pembicara usai acara. Seminar kebangsaan di Napoli atas prakarsa Kedubes RI untuk Vatikan.

Seminar Dialog Agama KBRI Vatikan untuk Kedepankan Persamaan

SETIAP tanggal 16 November diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengajak seluruh negara anggota PBB di seluruh dunia untuk memperingatinya. Peringatan ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1996.

Peringatan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi di banyak negara. Padahal, keragaman agama, suku, bahasa, budaya, dan etnis dunia bukanlah alasan untuk berkonflik, tetapi sebagai pelengkap yang memperkaya hidup bersama.

Para imam dan suster Indonesia yang tengah belajar dan hidup di Itallia dan menjadi peserta seminar di Napoli.

Negara pluralis

Indonesia menjadi salah satu negara majemuk. Kemajemukan agama dan suku menjadi kebanggaan sekaligus menjadi tantangan dalam hidup berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini. Isu agama dan suku tak jarang menjadi isu yang mudah ‘digoyang’ untuk konflik.

Atas dasar itulah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Vatikan menyelenggarakan Seminar Dialog Agama. Tema yang diangkat adalah “Consolidare la Reciproca Compresione fra Musulmani e Cattolici in Indonesia” (Mengkonsolidasikan Sikap Saling Memahami antara Muslim dan Katolik di Indonesia), Sabtu, 18 November 2017.

Sambutan sebelum seminar dari Dubes RI untuk Tahta Suci Vatikan HE Antonius Agus Sriyono.
Peserta seminar.
Sebagian peserta seminar.

Seminar yang dibuka oleh Dubes RI HE Antonius Agus Sriyono ini dilaksanakan di Basilika Buonconsiglio Napoli, Italia. Hadir sebagai narasumber Dr. Zaenal Muttaqin, dosen Ilmu Tafsir IAIN Surakarta-Indonesia, dan Dr. Valeria Martono, salah satu tokoh Komunitas Sant’Egidio, Italia.

Moderator dipercayakan kepada Prof. Antonia Soriente, dosen bahasa dan budaya Indonesia di Universitas Degli Studi L’Orientale di Napoli.

Hadir pula Kardinal Crescenzio Sepe, Uskup Agung Napoli, Italia.

Memuji Pancasila

Dalam sambutannya, Kardinal Crescenzio Sepe memuji Pancasila sebagai dasar hidup bersama di Indonesia. Sebagai mantan Praefek Kongregasi Evangelisasi Bangsa-Bangsa, Kardinal Sepe memahami betul kondisi gereja-gereja di tanah misi, termasuk di Asia.

Ia menyinggung beberapa negara di Asia, seperti Filipina, Thailand, Vietnam, India, dsb. Tetapi bagi Kardinal Sepe, Indonesia sangat istimewa dengan keanekaragaman suku dan agama yang hidup.

Sambutan Uskup Agung Napoli Kardinel Sepe.

“Saya kagum akan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia,” puji Kardinal kelahiran 2 Juni 1943 ini.

Presiden Soekarno tiga kali ke Vatikan

Sementara itu, Dr. Valeria Martono mengagumi adanya semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang dimiliki Indonesia. Ia juga menyinggung kunjungan Presiden Soekarno ke Vatikan.

Sebagai presiden muslim terbesar di dunia, Soekarno pernah berkunjung menemui Sri Paus selama tiga kali.

  • Pada 13 Juni 1956 Presiden Soekarno bertemu Paus Pius XII.
  • Pada 14 Mei 1959 ia bertemu dengan Paus Johanes XXIII.
  • Dan dalam kunjungan pada 12 Oktober 1964 ia diterima oleh Paus Paulus VI.

“Dalam kunjungan kenegaraan itu, Presiden Soekarno menjelaskan kepada Sri Paus tentang dasar negara Indonesia Pancasila dan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika. Hal itu memungkinkan toleransi hidup di Indonesia yang majemuk,” tutur Valeria.

Pertanyaan dari seorang peserta seminari dari Mozambique.
Pertanyaan dari seorang mahasiswi Italia.

Kerjasama dengan Muslim

Sebagai tokoh Komunitas Sant’Egidio internasional, Valeria beberapa kali sudah datang ke Indonesia. Ia melihat komunitas Sant’Egidio berkembang baik di Indonesia. Ia memuji keanekaragaman yang berkembang di Indonesia sebagai negara mayoritas muslim. Ia juga dengan sangat bagus menjelaskan dua organisasi islam terbesar dan moderat di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Kartu Pancasila.

“Untuk pelayanan di bidang sosial dan kemanusiaan, Sant’Egidio juga bekerja sama dengan kelompok muslim di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah”, papar Valeria.

Komunitas Sant’Egidio berdiri di Indonesia pada tahun 1991 di Kota Padang. Kemudian Komunitas ini mulai menyebar di berbagai kota di Indonesia. Dan saat ini sudah berkembang di 15 kota, yaitu Nias, Aceh, Padang, Pekanbaru, Duri, Medan, Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Pontianak, Kupang, Atambua, Kefa, Semarang, dan Denpasar.

Komunitas Sant’Egidio adalah komunitas awam Katolik yang didirikan oleh Andrea Riccardi dan diakui secara resmi oleh Tahta Suci Vatikan. Komunitas yang lahir pada 7 Februari 1968 di Roma ini sudah berkembang di 70 negara yang tersebar di benua Eropa, Afrika, Amerika, dan Asia.

Dalam Komunitas ini orang diajak untuk membangun jembatan cinta kasih tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Komunitas juga mengajak untuk menghidupi Injil bersama dengan orang-orang lemah seperti orang miskin, anak terlantar, lansia, korban perang, gelandangan, orang sakit, penderita kusta dan AIDS juga terhadap bentuk kemiskinan lainnya.

Komunitas ini memiliki spiritualitas yang mencirikan cara hidup serta semangat pelayanan yang dilakukan yaitu doa, pengkomunikasian Injil, ekumenisme, dan dialog agama. Dialog ini terus dibangun sebagai jalan damai dan kerja sama antar agama yang diamanatkan Konsili Vatikan II.

Mengembangkan persamaan

Dalam pemaparannya, untuk hidup bersama yang harmonis, Dr. Zaenal Muttaqin mengajak untuk lebih mengembangkan persamaan daripada perbedaan antar agama. Ia menguraikan beberapa persamaan ajaran dalam Alquran dengan Injil.

Menurut  Zaenal, dalam dialog antara Muslim dan katolik dengan mengembangkan theological dialogue, socialogical dialogue, dan mutual dialogue. Artinya, seseorang belajar tentang ajaran agama lain dengan perspektif agama lain itu, hidup berdamai dengan tetangga, dan bekerja sama dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan (kemiskinan, kekerasan, kriminal, korupsi, dsb).

Zaenal mengingatkan adanya tiga tantangan dalam hidup beragama pada zaman now. “Pada zaman now ini, perlu diwaspadai tantangan adanya klaim kebenaran, dakwah atau misi agama, dan kepentingan politik. Sistem kekerabatan yang sudah hidup di Indonesia bisa menjadi potensi kerja sama antar agama,” tegasnya.

Diskusi dan tanya jawab berlangsung sangat hidup sampai melewati waktu yang disediakan. Ada banyak pertanyaan, sharing pengalaman dan harapan dari peserta. Peserta yang hadir dari berbagai kalangan, latar belakang dan profesi, para mahasiswa Italia, serta para biarawan-wati. Seusai seminar dilanjutkan penyerahan cindera mata oleh pak Dubes HE Antonius Agus Sriyono kepada Kardinal Sepe, para narasumber dan moderator.

Acara ditutup dengan makan siang bersama dan menikmati aneka foto yang menggambarkan suasana kehidupan kemajemukan Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here