Home KITAB SUCI & RENUNGAN HARIAN Renungan Harian Lectio Divina 02.03.2024 – Lama Kutunggu Kalian, Anakku

Lectio Divina 02.03.2024 – Lama Kutunggu Kalian, Anakku

0
Anakku, kamu pulang, by James Tissot, 1836–1902

Sabtu. Minggu Prapaskah II. Hari Sabtu Imam (U)

  • Mi. 7:14-15.18-20
  • Mzm.103:1-2.3-4.9-10.11-12
  • Luk. 15:1-3.11-32

Lectio (Luk. 15:1-3.11-32)

Meditatio-Exegese

Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka

Tiga perumpamaan disingkapkan untuk menunjukkan kehendak Allah mencurahkan belas kasih yang tanpa batas dan suka cita-Nya menyambut pertobatan pendosa. Injil mengajarkan bahwa tak seorang pun disingkirkan dari pengampunan dan tiap pendosa diterima sebagai anak Allah jika bertobat dan kembali kepada-Nya.

Tema tentang belas kasih menjadi ciri khas Injil Lukas. Santo Paus Yohanes Paulus II mengajar, “Penulis Injil yang secara khusus memberi perhatian pada tema-tema seperti itu dalam pengajaran Kristus adalah Lukas, yang Injilnya layak disebut sebagai “Injil Belas Kasih.” (Ensiklik Kaya Dalam Kerahiman, Dives in Misericordia, 3).

Namun, luapan suka cita dan belas kasih-Nya ditanggapi orang Farisi dengan bersungut-sungut. Mereka mengecam Yesus karena berkumpul dan makan bersama dengan pemungut cukai dan pendosa.

Makan bersama selalu bermakna penerimaan tanpa syarat dari pihak Yesus. Ia ambil bagian dalam sukacita atas penyembutan kaum tersingkir pada-Nya. Sebaliknya, kaum cerdik pandai Yahudi saat itu tak mampu memandang Allah sedang bersuka cita atas pertobatan pendosa.

Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali

Yesus menyingkapan bahwa Bapa memiliki hati yang berbelas kasih dan penuh kerahiman. Belas kasih dan kerahiman-Nya yang agung sukar dipahami manusia, seperti nampak dalam tanggapan dingin si anak sulung yang mengira bapaknya terlalu mengasihi si bungsu. 

Kecemburuannya menghalani untuk memahami bahwa sang bapa berjuang luar biasa mengatasi segala hambatan hati, sehingga ia bisa mengajak seluruh keluarga untuk bersukacita atas kembalinya si bungsu. Iri hati yang meluap dari batinnya menghancurkan suka cita seluruh keluarga.

Selama bersama dengan bapaknya di rumah, ternyata si sulung tidak belajar dari ayahnya tentang sikap batin. Hatinya membeku dan kaku. Terlebih di hadapan bapanya, ia tidak menempatkan diri sebagai anak, tetapi sebagai budak belian yang bekerja bagi tuannya.

Si bungsu pasti seorang pendosa. Tetapi tidak boleh dijatuhkan hukuman yang membuatnya mati pada tubuh dan jiwanya. Maka, belas kasih dan kerahiman dituntut, karena ternyata masing-masing pribadi tidak mengembangkan sikap batin yang penuh kasih dan pengampun.

Santo Lukas menggunakan kata δουλευω, douleuo, saya bekerja seperti budak (Luk. 15:29). Sedang terjemahan TB menggunakan ungkapan ‘aku melayani’.

Sikap batin yang dikembangkan bukanlah sikap batin yang berbelas kasih. Allah yang diimani bukanlah Allah yang diwartakan oleh Yesus dan dan Nabi Mikha.

Mengalami situasi tanpa rahmat mendorong si bungsu untuk kembali pulang ke rumah. Rohlah yang selalu menuntun untuk sampai pada titik untuk mengambil keputusan kembali kepada Allah (Luk. 15:17).

Melupakan bahwa ia telah disakiti, sang bapa menyambut kepulangan anaknya yang hilang. Tiada kata pengampunan terucap. Tetapi terungkap dalam tindakan: merangkul dan mencium (Luk. 15:20). 

Yesus menyingkapkan Allah Bapa yang diwartakan-Nya selalu bersuka cita dan membuka pintu belas kasih bagi mereka yang kembali kepada-Nya.

Ia memulihkan tanpa syarat. Ia menanti tanpa memalingkan wajah-Nya. Santo Augustinus, Uskup Hippo dan Bapa Gereja, 354-430, mengingatkan bahwa Allah terus mamanggil tiap manusia untuk kembali kepada-Nya.

Ia menulis, “Apakah kamu merasa diri layak menerima belas kasih Allah karena kamu berpaling padaNya? Jika kamu dipanggil Allah, apa yang telah kamu lakukan untuk kembali kepada-Nya?

Bukankah Dia Yang memanggilmu ketika kamu menentang-Nya selalu membuka hati-Nya agar kamu kembali pada-Nya? Jangan menanggap pertobatanmu sebagai hasil tindakanmu sendiri. Jika Ia tidak memanggil kamu ketika kamu melarikan diri dari-Nya, kamu tak akan mungkin kembali kepada-Nya.” (Commentary on Psalm 84, 8 ).

Perjanjian Lama telah memperkenalkan wajah Allah yang berbelas kasih, seperti diwartakan Nabi Mikha, dari Meresyet – Gat (Mi. 1:14). Ia hidup sejaman dengan Nabi Yesaya dan berkarya pada masa Raja Yotam (756-751) sampai Raja Hizkia (725-297) di Yehuda.

Selain meyingkapkan ketidak-sukaan Allah atas ketidak-adilan yang dilakukan para pemimpin kerajaan Utara (Israel) dan selatan (Yehuda), nabi menyingkapkan perasaan kerinduan Allah akan pertobatan. Sang nabi mewartakan Allah yang mengampuni dosa, memaafkan pelanggaran, menatap dengan lembut pendosa, menyukai kasih setia. Allah yang demikian itu dipuji dalam mazmur yang indah berikut.

“Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia?

Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut. Kiranya Engkau menunjukkan setia-Mu kepada Yakub dan kasih-Mu kepada Abraham seperti yang telah Kaujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang kami sejak zaman purbakala.” (Mi. 7:18-20).

Santo Paus Yohanes Paulus II mengajarkan tentang belas kasih, Belas kasih – sebagaimana telah diajarkan Kristus melalui perumpamaan tentang anak yang hilang– mempunyai bentuk terdalam cinta kasih yang dalam Perjanjian Baru disebut agape.

Kasih ini mampu menyentuh setiap anak yang hilang, setiap penderitaan manusia, dan terutama segala bentuk penderitaan batin, yaitu dosa.

Bila hal ini terjadi, maka pribadi yang menjadi objek belas kasih itu tidak merasa dipermalukan, tetapi justru ditemukan kembali dan “dipulihkan nilainya.” Sang bapa pertama-tama dan terutama meluapkan sukacita pada anaknya karena anaknya telah “didapatkan kembali” dan karena ia telah “hidup kembali.”

Sukacita ini menandakan kebaikan yang tetap utuh: walaupun hilang, seorang anak tidak pernah berhenti sebagai anak bapanya. Hal ini juga menandakan kebaikan yang telah didapatkan kembali, yang dalam kisah anak yang hilang adalah kembalinya dia pada kebenaran tentang dirinya sendiri.” (Ensiklik Kaya Dalam Kerahiman, Dives in Misericordia, 6).

Saat seorang pendosa bertobat dan kembali pada pelukan-Nya, Allah pasti bersuka cita. Sabda-Nya (Luk. 15:32), “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali”, epulari autem et gaudere oportebat, quia frater tuus hic mortuus erat et revixit, perierat et inventus est.

Katekese

Keselamatan kita tergantung pada kerahiman Allah. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936 – sekarang:

Kita perlu senantiasa merenungkan misteri kerahiman itu. Ini adalah sumber sukacita, ketenangan, dan kedamaian. Keselamatan kita tergantung pada kerahiman Allah. Kerahiman: kata yang mewahyukan misteri Tritunggal Maha Kudus sendiri.

Kerahiman: tindakan terakhir dan tertinggi dengan mana Allah datang menjumpai kita. Kerahiman: hukum asasi yang berada di dalam hati setiap orang yang memandang dengan tulus mata saudarasaudarinya dalam perjalanan hidup. Kerahiman: jembatan yang menghubungkan Allah dan manusia, yang membuka hati kita pada harapan selalu dikasihi meski kita berdosa.” (Bulla Misericordiae Vultus, 2)

Oratio-Missio

Tuhan, buatlah aku tidak ragu akan kasih-Mu dan selalu bersyukur atas belas-kasih-Mu. Penuhilah aku dengan kasih-Mu agar aku mampu menjadi pribadi yang berbelas-kasih, seperti Engkau yang penuh belas-kasih. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan agar aku menjadi pribadi yang suka mengampuni?

epulari autem et gaudere oportebat, quia frater tuus hic mortuus erat et revixit, perierat et inventus est – Lucam 15:32

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version