Lectio Divina 02.10.2022 – Hamba Melakukan Tugas Yang Harus Dilakukan

0
379 views
Biji sesawi berakar, tumbuh, menaungi hidup, by Ronald Raab, CSC

Minggu. Hari Minggu Biasa XXVII (H)

  • Hab. 1:2-3;2:2-4
  • Mzm. 95:1-2.6-7.8-9
  • 2Tim. 1:6-8.13-14
  • Luk. 17:5-10

Lectio

5 Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: “Tambahkanlah iman kami!” 6 Jawab Tuhan: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”

7 “Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan.

8 Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. 9 Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?

10 Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”

Meditatio-Exegese

Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar

Relasi antara Nabi Habakuk dan Allah sangat unik, seperti kitab yang ditulisnya. Sang nabi adalah yang pertama mempertanyakan cara Allah mengelola dunia, ciptaan-Nya.

Ia bertanya dengan berkeluh mengapa seolah-olah kejahatan terus terjadi; bencana tak kunjung putus; dan para penguasa menindas kaum miskin dan mengerahkan segala bentuk kejahatan dan aniaya.

Ia bertanya, “Berapa lama lagi” Allah membiarkan kekejaman ini berlangsung. Pilihan kata yang digunakan Nabi Habakuk mirip dengan kata-kata yang digunakan Nabi Yesaya, Yeremia, dan Amos saat mereka mengecam perilaku menyimpang umat saat itu.

Atas pertanyaan nabi, Allah menjawab bahwa Ia sedang mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan untuk menghukum umat atas perilaku yang keliru (Hab. 1:5-11). Ia menggunakan orang Kasdim atau Babilon untuk menghukum Yudea yang berdosa melawan Dia (Hab. 1:6).

Merujuk pada nubuat tentang kedatangan bala tentara Babel (Hab. 1:6), Nabi Habakuk, yang menjadi nabi sejaman dengan dengan Nabi Yeremia, diperkirakan hidup di Yudea pada akhir pemerintahan Raja Yosia (2Raj. 21:26, 640-609 sebelum Masehi) atau pada awal pemerintahan Yoyakim (2Raj. 23:26, 609-598 sebelum Masehi).

Diperkirakan Nabi Habakuk mengalami penglihatan antara tahun 605-597.

Pada tahun ini Nebukadnezar, raja Babel, mengalahkan Nakho II dari Mesir di Karkemish di tepi Sungai Efrat di bagian utara Siria dan menguasai wilayah itu pada tahun 605.

Sesudah perang itu, Babilon menyerbu Yehuda pada tahun 597 sebelum Masehi (Yer. 42:6, dst.). Pada masa menjelang penyerbuan, keadaan Kerajaan Yehuda sangat buruk, karena penyembahan berhala, dan pertikaian politik yang merebak dan tak kunjung putus.

Percakapan kedua antara nabi dengan Allah mecakup dosa-dosa yang dilakukan Yehuda dan pelanggaran atas perjanjian yang dimulai dari Hab. 1:12-2:1.

Nabi menggunakan perumpamaan bahwa kejahatan bekerja seperti pukat yang menjerat ikan dan untuk mendapatkan keselamatan para ikan membuat korban persembahan bagi pukat atau payang.

Penyembahan selalu bermakna penaklukan dan menjadikan diri sebagai budak. Bangsa harus takluk, mau melakukan tuntutan penjajah: upeti, kerja paksa, dan bentuk eksploitasi lain. Terlebih, mereka berpaling, memunggungi dan mengganti Allah dengan berhala.

Allah menjawab Nabi Habakuk. Ia memintanya membuat pamflet yang harus dipasang di tempat-tempat yang bisa dibaca.  Pamflet itu berisi tuntutan hukum perjanjian yang harus dipenuhi, tetapi ternyata dilanggar oleh umat.

Maka Ia menggemakan lima sabda “Celakalah” bagi seluruh bangsa Yehuda (Hab. 2:6-20). Penghukuman atas mereka yang memberontak terhadap-Nya sedang dalam masa pemenuhan.

Tetapi Ia menjanjikan keselamaan kepada orang yang percaya dan setia melaksanakan perjanjianNya (Hab. 2:4). Iman dan kesetiaan pada-Nya selalu menyelamatkan tiap laki-laki dan perempuan dalam penghakiman oleh-Nya.

Di samping Perjanjian Lama, Perjanjian Baru menegaskan ajaran bahwa orang yang hidup benar di hadapan Allah, mengimani dan setia pada-Nya, akan beroleh keselamatan. Santo Paulus mengutip kata-kata Nabi Habakuk (Rm. 1:17, Gal. 3:11; bdk. Hab. 2:4), “Orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.”, iustus autem in fide sua vivet.

Penulis Surat kepada orang Ibrani bersaksi, ““Tetapi orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya.”

Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa, tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup.” (Ibr. 10:38-39).

Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan

Yesus sepertinya melihat ancaman besar pada hidup jemaat yang didirikan-Nya. Ia bernubuat “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.”, Impossibile est ut non ve niant scandala; vae autem illi, per quem veniunt!

Nubuat-Nya segera terpenuhi ketika Yudas Iskariot memutuskan untuk memunggungi,  meninggalkanNya, dan berpihak pada musuh Yesus.

Ia menjual-Nya seharga tiga puluh keping uang perak (Mat. 26:15). Kisah macam ini terus menerus berulang sepanjang jaman.

Santo Lukas menggunakan kata  σκανδαλα, skandala, dari kata skandalon. Makna asli: jebakan, perangkap atau alat untuk menangkap sesuatu hidup-hidup.

Tetapi, juga bermakna figuratif: godaan untuk berdosa, pencobaan untuk meninggalkan iman, iman yang palsu.

Jebakan, perangkap, godaan, pencobaan tidak mungkin dihindari. Manusia bisa masuk dalam jebakan dosa ketika berhadapan dengan keinginan akan kekayaan, kuasa, birahi, amarah, kemabukan, ketidak mampuan menguasai diri dan nurani yang tumpul.  

Santo Yakobus, saudara Tuhan, menunjukkan bahwa kehendak untuk melakukan dosa selalu berasal dari dalam hati manusia itu sendiri, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut.” (Yak. 1:14-15).

Siapa saja yang menyesatkan anggota jemaat, terutama mereka yang kecil,  pasti dihukum. Hukuman untuk penyesat sangat berat: dilemparkan ke laut sama dengan dibuang ke neraka.

Sabda-Nya (Luk. 17:2), “ Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut.”, Utilius est illi, si lapis molaris imponatur circa collum eius et proiciatur in mare.

Satu-satunya cara untuk lepas dari dari pencobaan adalah memohon penyertaan Roh Kudus, seperti yang dialami Yesus, yaitu: dipimpin oleh Roh Kudus (Mrk. 1:12; Luk. 4:1).

Dalam doa Bapa Kami juga bergema permohonan, “Janganlah biarkan kami masuk ke dalam pecobaan”.

Kitab Suci selalu mengingatkan tentang jebakan atau pencobaan, yang menjauhkan manusia dari Allah dan terus melakukan dosa. Pemazmur bermadah dan memohon (Mzm. 141:9), “Lindungilah aku terhadap katupan jerat yang mereka pasang terhadap aku, dan dari perangkap orang-orang yang melakukan kejahatan.”, Custodi me a laqueo, quem statuerunt mihi, et a scandalis operantium iniquitatem.

Cara untuk terlepas dari pencobaan dan penyesatan adalah membela yang kecil, μικρων, mikron. Mereka adalah  anggota jemaat yang kecil, lemah, miskin, sakit, ditindas, disingkirkan atau kurang pengetahuan.

Santo Yohanes tak hanya menasihati, tetapi mendesak (1 Yoh 2:10), “Barangsiapa mengasihi saudaranya, ia tetap berada di dalam terang, dan di dalam dia tidak ada penyesatan.”, Qui diligit fratrem suum, in lumine manet, et scandalum ei non est.  

Tambahkanlah iman kami

Pertama kali para Rasul disebut sebagai kelompok yang berlainan dengan komunitas para murid lain, misalnya kelompok 72 orang (Luk. 9:10). Mereka memohon Yesus untuk menambah iman setelah sadar betapa berat untuk menjadi murid-Nya.

Tidak mudah untuk melaksanakan ajaran dan teladan Yesus dalam Luk. 14:25-35, 16:8b-18 dan 17:1-4. Misalnya, mereka tidak mampu mengampuni orang yang bersalah secara tak terbatas, seperti diajarkan dan kelak dibuktikan Yesus di kayu salib saat mengampuni semua serdadu yang menyiksa dan membunuh-Nya (Luk. 17:1-4; 23:34).

Manusia cenderung mengedepankan balas dendam yang harus dibalas sebanyak tujuh puluh kali tujuh seperti Lamekh. Ia membunuh pemuda yang hanya memukulnya sampai bengkak (bdk. Kej. 4:23-24).

Mereka memahami bahwa iman mereka rapuh untuk selalu setia melaksanakan perintah dan teladan Yesus. Mereka memerlukan lebih dari sekedar iman manusiawi sehingga meminta (Luk 17:5), “Tambahkanlah iman kami.”, Adauge nobis fidem.

Sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja

Saat pertama kali melukiskan pertumbuhan biji sesawi, Yesus menggunakan hukum alam untuk menyingkapkan daya tumbuh biji  yang sangat kecil (bdk. Luk. 13:18-19).

Dalam senyap di tanah dan lingkungan yang mendukukung, biji menumbuhkan akar tunggang dan akar serabut untuk menopang batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah.

Di samping tumbuh ke dalam bumi, sesawi tumbuh ke atas tanah. Batang, cabang dan ranting harus kuat untuk menopang daun, bunga dan buah. Tetapi juga menopang hidup segala makhluk yang dinaunginya.

Maka tiap murid diundang untuk menjadi radikal. Tiap pribadi menjadikan diri seperti akar, radix, yang menyerap dan makan Roti Hidup. Ia menjadikan Yesus sebagai sumber hidup, agar menghasilkan banyak buah. Sebab tanpa Dia, tiap murid pasti tidak mampu menghasilkan apa pun dan mati (bdk. Yoh.15:4-5).

Tetapi, saat ini, Yesus menggunakan perumpamaan itu untuk melukiskan daya lain yang mengatasi hukum kodrat atau hukum alam.

Jawaban-Nya pada para Rasul menunjukkan bahwa iman Katolik yang sejati selalu tumbuh dan berkembang hingga memiliki kekuatan luar biasa.

Pribadi yang menancapkan seluruh akar hidupnya pada Yesus dapat mengubah apa yang tidak mungkin terjadi bila diukur dari hukum-hukum yang mengatur dunia fana.

Yesus menggunakan ungkapan hiperbolik: memindahkan dan menanam kembali pohon ara di laut, yang bukan habitatnya (Luk. 9:6).

Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan

Selanjutnya, menggunakan perumpamaan tentang hamba yang berbakti, Yesus membesarkan hati dan menegaskan bagaimana tiap pribadi murid-Nya bersikap dalam hidup sehari-hari. Tiap pribadi harus menempatkan diri sebagai hamba Allah, seperti Yesus datang  “bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.” (Mat. 20:28).

Analogi tuan dan hamba-budak (lihat: Luk. 12:35-40, 42-48; 13:25-27; 14:16-24; 16:1-13) digunakan untuk mendidik para murid dalam melayani sesama dan Allah.

Sepanjang masa, biasanya pembantu/budak makan setelah sang tuan selesai makan.

Mengandaikan jawan ‘tidak’, pertanyaan retoris dalam Luk. 17:9 menyingkapkan adat istiadat bahwa sang tuan tidak pernah berterima kasih atas pelayanan yang diberikan si hamba. Maka pelayanan ini selalu penuh pengorbanan, murah hati dan tidak mencari keuntungan untuk diri sendiri.

Pelayanan kepada Allah dan kepada manusia selalu bersifat suka rela dan berasal dari kemurahan hati, ex abundatia cordis.

Bagaimana melayani Allah dan “saudara-Ku yang paling hina ini” (Mat 25:40)? Santo Yohanes bersaksi (1Yoh. 4:16), Allah adalah kasih.”,  Deus caritas est.

Dalam komunitas iman yang  didirikan Yesus dan menekankan pelayanan yang berasal dari kemurahan hati, terdapat tiga kelompok hamba/pelayan yang tidak sesuai dengan prinsip pelayanan murah hati.

Pertama, bila ia tetap mengaku sebagai pribadi Katolik tetapi tidak melakukan pelayan, ia dipandang sebagai  ‘pelayan yang tak berguna’.

Selanjutnya, jika ia melakukan pelayanan hanya sekedar memenuhi kewajiban yang telah diatur dalam ketentuan, pelayanannya tidak menjamin apakah ia ‘masuk dalam Kerajaan-Nya’.

Upahnya selalu berasal dari anugerah yang diberikan cuma-cuma oleh Allah. Anugerah tidak dapat dicari melalui pekerjaan insani, sekalipun itu sangat hebat.

Seluruh perbuatan dan pelayanan terbaik dari tiap murid Yesus merupakan bukti iman kepada-Nya dan selalu membuat tiap pribadi terbuka untuk menerima seluruh anugerah-Nya. Anugerah itu, kemudian dibagikan secara murah hati dan cuma-cuma.

Akhirnya, dalam komunitas iman yang didirikan Yesus, tidak tersedia ruang sedikit pun untuk membanggakan dan menyombongkan pelayanan untuk Sang Tuan.

Jika seorang murid  memiliki sikap batin bahwa ia pasti selamat karena telah melakukan pekerjaan yang ‘menjadi tugas’-nya, sikap ini pasti mengarah pada kehancuran.

Maka sebagai hamba, tiap murid-Nya harus mengikatkan pinggang dan melayaniNya serta melakukan  segala sesuatu yang ditugaskan (Luk. 17: 8.10). “Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.” (1Yoh. 4:12).

Allah menghormati hamba yang setia dan mengasihi serta melayani sesama dengan murah hati. Ia selalu siap berkarya di dalam diri dan melalui para murid-Nya demi kemuliaan-Nya. Kasih selalu mendorong tiap murid untuk melakukan apa yang terbaik bagi-Nya. 

Pada-Nya tiap pribadi berseru (Luk. 17: 10), Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”, Servi inutiles sumus; quod debuimus facere, fecimus.

Katekese

Menambah iman berarti dikuatkan oleh Roh Kudus. Santo Cyrilus dari  Alexandria, 376-444 :

“Para murid meminta, “Tambahkanlah iman kami”. Mereka tidak hanya sekedar meminta iman, tetapi barangkali mereka membayangkan bahwa mereka sama sekali tidak memiliki iman.

Lebih baik mereka meminta Kristus untuk menambah iman mereka dan dikuatkan. Iman sebagian tergantung pada kita dan yang lain pada anugerah ilahi.

Awal mula dari iman tergantung pada kita dan bagaimana kita merawat kepercayaan dan iman pada Allah dengan seluruh daya yang kita miliki.

Peneguhan dan kekuatan iman yang diperlukan berasal dari anugerah ilahi. Demi alasan ini, karena semua mungkin bagi Allah, Tuhan bersabda bahwa semuanya mungkin bagi mereka yang percaya (Mrk. 9:23).

Kekuatan yang diberikan pada kita melalui iman selalu berasal dari Allah.

Sadar akan hal ini, Santo Paulus dalam Surat kepada Jemaat di Korintus menulis, “Sebab kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman.” ( 1Kor 12:8-9).

Kamu tahu bahwa rasul itu juga menempatkan iman dalam daftar karunia Roh Kudus. Para murid meminta agar mereka menerima iman ini dari Sang Juruselamat, yang juga membagikan apa yang ada dari mereka.

Melalui Roh Kudus yang turun atas mereka, Ia menganugerahkan iman pada mereka setelah memenuhi segala yang dituntutan. Sebelum kebangkitan-Nya, iman mereka sangat lemah sehingga mereka tak mampu menanggung cobaan karena mereka memiliki ‘iman yang kecil’.”  (Commentary On Luke, Homilies 113-16).

Oratio-Missio

Tuhan, penuhilah hatiku dengan kasih, syukur dan kemurahan hati. Jadikanlah aku pelayan-Mu yang setia dan murah hati. Amin.         

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk memberikan yang terbaik dariku untuk mereka yang seharusnya kulayani? Servi inutiles sumus; quod debuimus facere, fecimus – Lucam 17:10

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here