Lectio Divina 03.07.2022 – Diutus untuk Menyebarkan Damai

0
378 views
Panen melimpah ruah, by Vatican News.

Minggu. Hari Minggu Biasa XIV (H)

  • Yes. 66:10-14c.
  • Mzm.  66:1-3a.4-5.6-7a.16.20.
  • Gal. 6:14-18.
  • Luk. 10:1-12.17-20

Lectio (Luk. 10:1-12.17-20)

Meditatio-Exegese

Sesungguhnya, Aku mengalirkan kepadanya keselamatan seperti sungai

Perilaku menyimpang dari Perjanjian Sinai menjauhkan bangsa Israel dari Allah. Dua ribu delapan ratus tahun lalu, abad ke-8 sebelum Masehi, Nabi Yesaya mengingatkan kedua kerajaan yang terpecah, Israel dan Yehuda, bahwa pengadilan Allah akan segera dijatuhkan karena perilaku serong terhadap perjanjian Sinai.

Pemerasan pada kaum lemah, korupsi, eksploitasi sumber daya alam untuk memperkaya diri, penghambaan pada penguasa asing, dan penyembahan berhala di puncak-puncak bukit merupakan beberapa contoh penyelewengan baik oleh para penguasa dan rakyat jelata.

Pengkhianatan terhadap perjanjian dengan Yahwe mengandung konsekuensi kemerosotan moral dan tata hidup beriman dan tata kelola kemasyarakatan. Kerapuhan itu menjadikan negeri yang dihuni umat pilihan-Nya segera ditaklukkan oleh musuh.

Yerusalem, Bait Allah dihancurkan total. Sedangkan para penguasa dan segolongan orang dibuang dari tanah Israel (Yes. 64:9-11; 65:1-7). 

Di balik tragedi yang menyayat hati, ternyata, Allah juga menjajikan pemulihan pada umat. Janji itu akan terpenuhi ketika orang benar memulihkan tanah tumpah darah tempat para bapa leluhur tinggal (Yes. 65:8-16).

Ketika umat kembali ke Palestina pada akhir abad ke-6 sebelum Masehi, setelah tujuh puluh tahun dibuang di Babel, keadaan yang mereka jumpai jauh dari sempurna. Mereka menghadapi kesukaran dan harus membanting tulang mengatasi tiap kesukaran.

Bangsa itu harus hidup di bawah perintah penguasa asing yang datang silih berganti: Persia, Yunani, dan, kemudian, Romawi. Maka, nubuat Nabi Yesaya dalam Yes. 65:17-66:14 pasti bukan pemulihan setelah bangsa itu kembali dari pembuangan Babel.

Sang Nabi menubuatkan sesuatu yang jauh lebih agung. Nubuat itu pasti merupakan suatu janji tentang tata dunia baru dan penciptaan baru.  Menggunakan lambang persamaan dengan kaum perempuan, sang nabi melukiskan suka cita Sion, umat baru ciptaan-Nya  (Yes. 66:7-14).

Yerusalem dan Sion menjadi simbol Gereja dalam Kerajaan Perjanjian Baru dan umatnya yang suci. Nubuat puitis di bagian akhir Kitab Nabi Yesaya dibuka dengan pertanyaan retoris dan reflektif tentang kota ekstologis, akhir jaman, yang melahirkan seluruh umat dengan cara yang ajaib dan mukjizati (Yes. 66:7-9).

Sion, lambang Gereja, seperti ibu yang penuh kasih, secara rohaniah merawat anak-anaknya. Ketiadaan rasa sakit saat melahirkan melambangkan suka cita kelahiran umat Allah yang baru. Maka, kota itu disebut juga Hawa baru, ibu seluruh makhluk hidup (bdk. Kej. 2:23), yang,  tanpa mengenal rasa sakit, karena dosanya telah ditebus, melahirkan anak-anak, yakni umat Allah dalam Perjanjian Baru.

Perempuan itu juga menjadi lambang Santa Perawan Maria, yang melahirkan Yesus, tanpa kehilangan keperawanannya (Why. 12:5; KGK 489, 494, 505). Pada bagian akhir syair (Yes. 66:10-14), sang nabi menyingkapkan Sion yang bertindak seperti seorang ibu pada anak-anaknya.

Allah menghibur, melindungi, dan memberi hidup kepada umat-Nya, seperti ibu yang menyusui anaknya dengan kasih yang penuh (Yes. 66:11). Di bagian lain, Allah dilukiskan seperti seorang ibu yang merawat anak (bdk. Yes. 42:14; 45:10; 49:15). Tetapi Ia sangat benci pada setiap orang yang mengingkari belas kasih-Nya dan melawan diri-Nya (Yes. 66:14).

Sebaliknya, sang nabi menyingkapkan bahwa Allah mengalirkan damai atau keselamatan berlimpah bagi setiap manusia. Sabda-Nya (Yes. 66:12), “Sesungguhnya, Aku mengalirkan kepadanya keselamatan seperti sungai.”, Ecce ego dirigam ad eam quasi fluvium pacem.

Janji akan kelahiran baru di masa depan dan reksa kasih seperti seorang ibu dipenuhi pada saat seseorang dilahirkan kembali dalam Yesus Kristus melalui Roh Kudus yang dianugerahkan pada saat pembaptisan. Inilah saat Bunda Sion- Gereja memiliki kewenangan untuk melaksanakan karyanya secara penuh.

Melalui Gereja tangan Tuhan menjadi nyata berkarya bagi para hamba-Nya; dan hati mereka bersuka cita  karena melihat karya agung-Nya; dan akhirnya, seluruh karya-Nya memungkinan manusia tumbuh dan berkembang (bdk. Yes. 66:14).

Walau Nabi Yesaya memperkaya pemahaman iman akan Allah yang dilukiskan seperti ibu yang selalu mengasihi, Gereja tetap mewarisi ajaran Yesus, yang memanggil Allah sebagai Bapa,  “Kalau bahasa iman menamakan Allah itu “Bapa”, maka ia menunjukkan terutama kepada dua aspek: bahwa Allah adalah awal mula segala sesuatu dan otoritas yang mulia dan sekaligus kebaikan dan kepedulian yang penuh kasih akan semua anak-Nya.

Kebaikan Allah sebagai orang-tua ini dapat dinyatakan juga dalam gambar keibuan, yang lebih menekankan imanensi Allah, hubungan mesra antara Allah dan ciptaan-Nya. Dengan demikian bahasa iman menimba dari pengalaman manusia dengan orangtuanya yang baginya boleh dikatakan wakil-wakil Allah yang pertama.

Tetapi sebagaimana pengalaman menunjukkan, orangtua manusiawi itu dapat juga membuat kesalahan dan dengan demikian menodai citra kebapaan dan keibuan. Karena itu perlu diperingatkan bahwa Allah melampaui perbedaan jenis kelamin pada manusia.

Ia bukan pria, bukan juga wanita; Ia adalah Allah. Ia juga melebihi kebapaan dan keibuan manusiawi, walaupun Ia adalah awal dan ukurannya. Tidak ada seorang bapa seperti Allah.” (Katekismus Gereja Katolik, 239).

Tuhan menunjuk tujuh puluh murid, mengutus berdua-dua mendahuluiNya

Hanya Santo Lukas yang menulis kisah perutusan kelompok murid lain. Jumlah murid dalam terjemahan baru (TB) adalah tujuh puluh; sedangkan dalam teks Vulgata resmi diakui Gereja Katolik tertulis designavit Dominus alios septuaginta duos, Tuhan menunjuk tujuh puluh dua murid yang lain (12×6). (http://www.vatican.va/archive/bible/nova_vulgata/documents/nova-vulgata_nt_evang-lucam_lt.html)

Mereka diutus ke pelbagai kota dan tempat yang hendak dikunjungiNya. 

Setiap murid Tuhan menerima panggilan dari-Nya (bdk. Luk. 9:57-62) dan ditambahkan pada jumlah para rasul (bdk. Mrk. 2:15). Tidak diketahui siapa saja mereka; mungkin saja beberapa di antara mereka pernah berjumpa dengan-Nya waktu Ia dibaptis di Sungai Yordan dan mengikuti-Nya hingga menjelang kenaikan-Nya ke surga, seperti Yusuf yang disebut Barsabas  atau Yustus dan Matias (bdk. Kis. 1:21-26).

Dua orang bersahabat dekat yang ditemui Yesus di jalan ke Emaus, Kleopas dan sahabatnya (Luk. 24:13-35) mungkin termasuk di antara mereka. Mereka dipilih dan diutus untuk menyembuhkan orang dan mewartakan kedatangan Kerajaan Allah.

Yesus memberi perintah bagaimana tiap pasang melaksanakan tugas perutusan mereka. Mereka harus pergi dan melayani dengan hati yang tulus, penuh kasih dan damai, serta sederhana. Mereka harus memperhatikan bahwa yang mereka wartakan adalah Kerajaan Allah dan tidak tergoda melaksanakan hal lain yang sepele.

Dalam perjalanan mereka harus membawa barang yang perlu, agar memusatkan perhatian pada pewartaan KerajaanNya dan menyembuhkan orang. Mereka harus melaksanakan tugas perutusan mereka, bukan apa yang dapat mereka peroleh dari tugas itu.

Mereka harus memberikan seluruh yang mereka miliki untuk kesejahteraan yang mereka layani, tanpa mengharapkan imbalan, bukan mencari keuntungan untuk diri sendiri.

Sama seperti para rasul, Tuhan menghendaki ketujuh puluh dua murid itu bergantung padaNya, percaya pada penyelenggaraan ilahi, providentia Dei. Mereka menanggalkan kelekatan dan mempercayakan diri pada-Nya (bdk. Luk. 9:1-5). 

Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit

Seringkali Yesus menggambarkan kedatangan KerajaanNya dengan perumpamaan tentang ladang yang luas dan tanaman gandum yang siap panen. Panen selalu merupakan hasil dari kerja keras dan pertumbuhan – mulai dari menabur benih, tumbuh hingga matang, dan, akhirnya, buah yang masak siap dituai.

Dalam hati Yesus, saat panen merupakan saat untuk mengumpulkan tidak hanya umat Israel, tetapi juga seluruh umat manusia dari segala bangsa.

Santo Yohanes menulis (Yoh. 3:16), “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”, Sic enim dilexit Deus mundum, ut Filium suum unigenitum daret, ut omnis, qui credit in eum, non pereat, sed habeat vitam aeternam.

Ia mengajak para murid memohon kepada Sang Pemilik tuaian untuk mengirim lebih banyak pekerja, bukan hanya imam dan religius. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, padai dan bodoh, siapa saja  tidak boleh menutup diri untuk mendengarkan panggilan dan bekerja untuk-Nya. Setiap orang Katolik, sejak pembaptisan dipanggil Tuhan untuk melaksanakan tugas perutusan dari-Nya.

Paus Paulus VI dan para bapa Konsili Vatikan II menyerukan, “… kerasulan awam, yang bersumber pada panggilan kristiani mereka sendiri, tak pernah dapat tidak ada dalam Gereja. Betapa sukarela sifat gerakan semacam itu pada awal mula Gereja, dan betapa suburnya, dipaparkan dengan jelas oleh Kitab suci sendiri (lih. Kis. 11:19-21; 18:26; Rom. 16:1-16; Flp. 4:3).

Adapun zaman kita menuntut semangat merasul kaum awam yang tidak kalah besar. Bahkan situasi sekarang ini jelas memerlukan kerasulan mereka yang lebih intensif dan lebih luas.

Sebab makin bertambahnya jumlah manusia, kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, hubungan-hubungan antar manusia yang lebih erat, bukan saja memperluas tanpa batas gelanggang kerasulan awam, yang sebagian besar hanya terbuka bagi mereka.

Melainkan juga menimbulkan masalah-masalah baru, yang menuntut perhatian serta usaha mereka yang cekatan.

Kerasulan itu semakin mendesak, karena otonomi banyak di bidang kehidupan manusiawi, sebagaimana wajarnya, amat banyak bertambah, ada kalanya disertai suatu penyimpangan dari tata kesusilaan dan keagamaan, serta bahaya besar bagi hidup kristiani.

Selain itu dibanyak daerah, yang jumlah imamnya sangat sedikit, atau – seperti ada kalanya terjadi – direbut kebebasan mereka yang sewajarnya untuk menunaikan pelayanan mereka, tanpa karya-kegiatan kaum awam Gereja nyaris tidak dapat hadir dan aktif.” (Dekrit Tentang Kerasulan Awam, Apostolicam Actuocitatem, 1).

Tugas perutusan pasti tidak mudah. Tetapi, Ia tetap saja bersabda(Luk. 10:3), “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.”, Ite; ecce ego mitto vos sicut agnos inter lupos.

Santo Yohanes Chrysostomus berkata, “Sabda-Nya sudah cukup untuk menyemangati kita, memberi rasa percaya diri dan memberi keyakinan bahwa kita tidak takut terhadap mereka yang memusuhi kita.” (Homily on St. Matthew, 33).

Keberanian para rasul dan murid yang lain dalam bersaksi berasal dari keyakinan bahwa Ia selalu menyertai sepanjang masa (Mat. 28:20). Karena penyertaan-Nya itu, Petrus berani bersaksi di hadapan Sanhedrin, Majelis Agama Yahudi, dalam nama Yesus Kristus dari Nazaret, “tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis. 4:12).

Menyebut beberapa: para politisi dan penyelenggara negara harus mengupayakan kesejahteraan umum, bukan korupsi; guru mencerdaskan anak bangsa, bukan pembodohan; pedagang berdagang barang bermutu, bukan menipu; pelayan kesehatan mengobati dan menyelamatkan orang, bukan mencari untung di atas kemalangan.

Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu

Ketujuh puluh dua murid pulang dari tugas perutusan dan melaporkan apa yang mereka lakukan. “Tuhan, juga setan-setan takluk kepada kami demi nama-Mu,” kata mereka (Luk. 10: 17).

Mereka mengusir setan atas nama Yesus. Karena Ia berkuasa atas seluruh kuasa kejahatan, termasuk kuasa setan dan roh jahat.

Merekalah malaikat yang jatuh karena memberontak melawan Allah dan selalu membenci manusia. Yesus bersabda (Yoh. 12:31), “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini: sekarang juga penguasa dunia ini akan dilemparkan ke luar.”, Nunc iudicium est huius mundi, nunc princeps huius mundi eicietur foras.

Kuasa dan wewenang itu juga dianugerahkan kepada para murid untuk mengalahkan kegelapan dan kejahatan, setan, yang selalu berusaha memisahkan manusia dari Allah (1Yoh. 2:13-14).

Tugas perutusan yang diterima para murid mencakup pewartaan kedatangan Kerajaan Allah dan mengusir setan atau kuasa kejahatan.

Mewartakan Injil berarti berpartisipasi dalam karya Allah memulihkan kemanusiaan yang telah robek karena dosa.

Manusia dipulihkan lagi agar serupa dengan gambar dan keserupaan dengan Allah (Kej 1:29). Manusia yang sakit, dirawat; yang bodoh, dibantu supaya cerdas; yang dibelenggu dimerdekakan; yang dipenjara karena ketidak adilan, dilepaskan (bdk. Luk. 4:18-19).

Dalam mewartakan Injil, Ia memperlengkapi kita dengan kuat kuasa untuk mengalahkan pekerjaan setan dan kuasa kegelapan (1Yoh. 2:13-14).

Bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di surga

Yesus menanggapi suka cita ketujuh puluh dua murid dengan menukik pada inti suka cita. Suka cita murid Yesus tidak ditentukan oleh mukjizat yang mereka lakukan, walau pun dilakukan atas nama Yesus.

Sukacita selalu merupakan buah dari setiap pelaksanaan tugas perutusan dari-Nya. Bukan dari hasil buatan manusia, tetapi Allah sendirilah Sang Sumber suka cita.

Ketika menjadikan Allah sumber sukacita, para murid Yesus tetap dapat hidup dengan ringan, karena Allah menjamin kemenangan dalam Yesus Kristus. Nehemia mengungkapkan, “Jangan kamu bersusah hati, sebab sukacita karena TUHAN itulah perlindunganmu!” (Neh. 8:10).

Katekese

Tugas pengutusanmu. Paus Fransiskus, 1936 – sekarang

Menjadi kudus merupakan panggilan yang sangat kuat untuk kita semua. Anda juga harus memandang seluruh hidup anda sebagai tugas perutusan. Cobalah melaksanakannya dengan mendengarkan Allah dalam doa dan menyadari tanda-tanda yang Ia berikan pada anda.

Selalu bertanyalah pada Roh Kudus apa yang diharapkan Yesus dari anda pada setiap langkah hidup danda dan dalam setiap keputusan yang anda ambil; demikianlah anda merenungkan dan menimbang dengan tajam tugas perutusan yang anda terima.

Biarkan Roh Kudus membakar hati anda dengan misteri pribadi yang mencerminkan Yesus Kristus dalam dunia dewasa ini.” (Seruan Apostolik, Gaudete Et Exsultate, 23).

Oratio-Missio

Tuhan, semoga suka cita dan kebenaran Injil mengubah hidupku, sehingga aku berani menjadi saksi-Mu bagi orang-orang di sekitarku. Tuntunlah aku agar ke mana pun aku pergi, aku mampu mewartakan kebenaran Injil-Mu dan belas kasih-Mu. Amin.

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk menghadapi kesulitan dalam tugas perutusanku?

Designavit Dominus alios septuaginta duos et misit illos binos ante faciem suam in omnem civitatem et locum, quo erat ipse venturus – Lucam 10:1

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here