Lectio Divina 09.08.2020 – Ini Aku, Jangan Takut

0
669 views
Ilustrasi -- Yesus dan para murid di laut di tengah angin ribut- romanmiscellany

Minggu Biasa XIX (H)

  • 1Raj.19:9a.11-13a
  • Mzm85:9ab-10.11-12.13-14
  • Rm.9:1-5
  • Mat.14:22-33

Lectio  

22 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. 23 Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ. 24 Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal.

25  Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air. 26 Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu,” lalu berteriak-teriak karena takut. 27 Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” 28 Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.”

29  Kata Yesus: “Datanglah.” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. 30  Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!” 31 Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” 32 Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah. 33  Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.”

Meditatio-Exegese

Apakah kerjamu di sini, hai Elia?

Merasa gagal, putus asa dan kehilangan daya untuk melaksanakan tugas perutusan Allah, Nabi Elia melarikan diri dari Gunung Karmel di utara ke Gunung Horeb atau Sinai di selatan. Ia sudah kehilangan harapan untuk membawa kembali umat kepada Allah. Bahkan, kini, ia justru dikejar-kejar musuh.

Saat menjawab pertanyaan Allah, “Apa kerjamu di sini, Elia?” (1Raj. 19:9), sang nabi menjawab dengan nada getir, putus asa, dan takut, “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku.” (1Raj. 19:10).

Sebelum melarikan diri ke selatan, ke gunung Tuhan, Nabi Elia berjuang mengalahkan para nabi Baal di puncak Gunung Karmel. Nabi memberi bukti bahwa Yahwe hadir dan berkuasa. Ia hadir melalui api yang membakar persembahan yang telah dibasahi dengan air. Terlebih, Ia mendatangkan hujan di tengah kemarau yang panjang (1Raj. 18).

Umat yang menyaksikan mukjizat Allah tegar tengkuk dan tidak mau berbalik pada-Nya. Mukjizat yang setara dengan pembebasan dari perbudakan Mesir menjadi jerami yang membakar amarah Ratu Izebel, permaisuri Ahab, raja Israel, dan merapatkan barisan prajuritnya untuk memburu satu-satunya nabi Tuhan.

Di sebuah gua, dalam perjalanan ke Gunung Horeb, nabi beristirahat dalam keterpurukan jiwa yang sangat parah. Ia tidak mau makan dan memohon supaya mati saja (1Raj. 19:4). Tetapi Allah berbelas kasih dan mengirim malaikat-Nya untuk memberi makan Nabi Elia. Supaya ia cukup kuat berjalan selama empat puluh hari ke gunung-Nya (1Raj. 19:8).

Allah mengutus Nabi Elia ke gunung tempat Ia menetapkan perjanjian dengan umat-Nya untuk mengingatkannya bahwa keberhasilan atau kegagalan seorang nabi dalam tugas perutusan dari-Nya tidak menentukan keberhasilan rencana keselamatan-Nya.

Saat ia sampai di Gunung Sinai, Allah meminta nabi untuk tinggal di gua dan menanti kedatangan-Nya. Di muka gua, kedua bola matanya awas mengawasi situasi.

Kedua daun telinga dipasang untuk mendengarkan yang datang mendekat. Hati dan budi dipusatkan untuk menantikan kedatangan-Nya. Nabi mempersiapkan diri menyambut Allah.

Nabi Elia menghadapi angin kencang menghantam alam; gempa menggoyahkan bumi; dan api  berkobar-kobar hendak melahap segala. Semua serba dahsyat.

Di masa lampau Allah menyingkapkan kuasa dan kedautan-Nya atas semesta melalui angin, gempa dan api, seperti saat Ia menampakkan diri di depan umat-Nya di Sinai (Kel. 19:18). Tetapi, saat nabi-Nya menanti-nanti, Allah tidak hadir melalui tanda-tanda kedahsyatan.

Sesudah semua berlalu, datanglah angin sepoi-sepoi. Merasakan desiran angin, nabi sadar akan kehadiran Allah yang sedang melawatnya.

Ia menyelubungi wajahnya dengan jubah, karena tahu dari Taurat yang menyingkapkan pengaman Musa saat berjumpa dengan Allah. Musa menyelubungi wajahnya dengan jubah, karena tak akan ada manusia yang hidup saat ia memandang wajah Allah di bumi (Kel. 33:18-23).

Manusia hanya dapat memandang kemuliaan Allah yang tercermin, misalnya: melalui awan (Kel. 13:21-22). Maka, sebelum kedatangan Putera Allah, manusia yang berdosa tidak dapat memancang kemuliaan Allah dan tetap hidup. Dan dalam Yesus Allah menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada menusia untuk menawarkan belas kasih dan kerahiman-Nya serta menganugerahkan keselamatan abadi. 

Santo Paulus menuliskan keyakinannya bahwa Tuhan Yesus adalah “adalah gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15). Terlebih, kepada para Rasul Ia menegaskan bahwa barang siapa telah melihat Dia telah melihat Bapa. Sabda-Nya, “Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku. Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku.” (Yoh. 14:6-7).

Saat Nabi Elia sadar akan kehadiran Allah, ia mengalami rasa tenang dan bahagia luar biasa. Sepertinya ia tidak mau melepaskan pengalaman itu.

Hal yang sama dialami tiga orang Rasul Tuhan Yesus, Petrus, Yohanes dan Yakobus di bukit, saat mereka menjadi saksi transfigurasi Tuhan. Kata Petrus, “Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” (Mat. 17:4).

Tetapi, Allah menegurnya untuk kedua kali (1Raj. 19:13), “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”, Quid agis hic Helia. Teguran pertama dialami ketika nabi sedang mengalami keterpurukan jiwa. Saat ia merasa gagal dan ingin mati. Teguran terakhir dialami saat ia merasa bersuka cita dan tak mau lepas dari kehadiran Allah.

Teguran ini hanya bermakna tunggal. Nabi Elia harus terus melaksanakan tugas perutusan Allah. Saat mendengarkan dan menyadari kehadiran Allah dalam desau angin sepoi-sepoi, nabi pasti mampu mendengarkan kembali jeritan mereka yang dikejar-kejar, dianiaya, dan dibunuh Ratu Izebel dan Raja Ahas.

Jeritan mereka nyaring dalam sepi, sama seperti ketika Allah mendengarkan jerit tangis para budak Ibrani di Mesir (Kel. 3:7).

Ia harus mengurapi tiga orang yang dipanggil untuk melakukan perintah-Nya: Hazael menjadi raja Aram; Yehu menjadi raja Israel; dan Elisa menjadi penggantinya sebagai nabi.

Ketiga orang ini akan menyingkirkan orang-orang yang tidak setia pada Allah. Tetapi, ada sisa-sisa sejumlah tujuh ribu orang, angka yang melambangkan jumlah yang amat banyak, yang akan dibiarkan hidup.

Teguran Allah pada Elia rupanya mirip dengan peringatan Yesus pada para murid setelah peristiwa Ia menampakkan kemuliaan-Nya. Ia harus turun dari gunung, pergi ke Yerusalem menanggung derita, siksa, dibunuh dan dibangkitkan.  

Dan sekarang, tiap murid-Nya mengalami kehadiran Allah melalui sabda-Nya dalam Kitab Suci, doa, Ekaristi dan tiap wajah yang padanya kita berbagi kasih akan Yesus Kristus, Tuhan kita.   

Aku ini, jangan takut!

Santo Matius mencatat dua kali tentang mukjizat Tuhan Yesus mengatasi keganasan alam. Pada kisah pertama, saat Ia meneduhkan gelombang dan badai, para murid bertanya-tanya tentang jati diri Tuhan, “”Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?” (Mat. 8:27). Pada kisah ini, para Rasul menemukan jawaban atas pertanyaan mereka.

Santo Matius menggunakan kata ‘bukit atau gunung’, ορος, oros. Kata ini berperan penting dalam tradisi alkitab, karena menjajdi tempat Allah menyatakan diri-Nya sendiri. Ia menampakkan diri di Gunung Sinai (Kel 19:3.16); Tuhan Yesus mengajarkan Sabda Bahagia, yang menjadi Hukum baru dalam Injil di gunung (Mat. 5:1); dan Tuhan Yesus menampakkan kemuliaan-Nya di gunung (Mat. 17:1; Mrk. 9:2; Luk. 9:28).

Ke gunung pula Ia menyepi untuk berdoa secara pribadi kepada Allah Bapa. Sementara Ia telah meminta para murid pergi mendahului-Nya dengan perahu ke seberang, ke sebelah barat Danau Genesaret (Mat. 14:34).  Sementara Ia berdoa, danau bergolak karena angin sakal.

Biasanya badai terjadi selama jam jaga keempat di malam hari. Setelah bangsa Romawi menduduki wilayah Palestina pada 63 sebelum Masehi, bangsa Yahudi mengganti sistem jam jaga mereka dengan mengikuti pembagian Romawi. Jam jaga malam dibagi menjadi empat: kira-kira saat matahari terbenam/18.00-21.00, 21.00-00.00 (tengah malam), 00.00 (tengah malam)-03.00 dan 03.00-fajar. Terompet ditiup pada akhir jam jaga ketiga dan awal jam jaga keempat. Tiupan ini sering disebut sebagai ‘kokok ayam’ (bdk. Mrk. 13:35).

Berjalan di atas air yang bergolak, Tuhan Yesus mengalahkan hukum alam. Karena tidak mungkin seseorang melakukan hal demikian, pada awalnya, para murid yakin bahwa mereka sedang melihat hantu yang sedang berjalan di atas air. Mereka ketakutan. Sesat kemudian, mereka tenang, saat Tuhan menyapa mereka dengan sapaan yang menandakan kehadiran Allah, “εγω ειμι”, Ego eimi, Aku ini.

Dalam Perjanjian Lama versi Septuaginta, terjemahan dalam bahasa Yunani, ungkapan “εγω ειμι”, Ego eimi, digunakan untuk Nama Allah (bdk. Kel. 3:14; Ul. 32:39); Yes. 41:4; dan dalam Yes. 43 digunakan 10 kali. Dalam Yes. 43:5 ungkapan “εγω ειμι”, Ego eimi, disertai dengan perintah “Jangan takut.”, sama seperti ungkapan Yesus (Mat. 14:27), “Aku ini, jangan takut.”, Ego sum; nolite timere!

Melihat Tuhan, Petrus segera terjun dan berjalan menyongsong Tuhan Yesus. Mula pertama ia berhasil, tetapi setelah melihat gelombang dahsyat menerjang, ia mulai kehilangan kepercayaan dan tenggelam. Petrus memiliki dua pilihan saat itu: ia bisa berbalik dan berenang ke perahu atau memohon pada Tuhan untuk menyelamatkannya.

Petrus memilih pilihan kedua.  Ia telah mengenal jati diri Tuhan dan berteriak pada-Nya untuk menyelamatkannya. Santo Yohanes Chrysostomus dan Santo Augustinus memandang bahwa seruan Petrus merupakan tindakannya untuk bertobat dari keraguan dan Tuhan menganugerahkan keselamatan (Yohanes Chrysostomus, The Gospel of Matthew, Homily 50.2; Augustinus, Sermon 75.10).

Tuhan Yesus tidak mengecam Petrus. Ia hanya mengingatkan dalam masa hampir binasa tak boleh ragu-ragu. Tetapi harus tetap percaya pada-Nya. Sabda-Nya, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Dan pada jam 3 dini hari, saat terompet ‘ayam berkokok’ ditiup mengingatkan akan saat Petrus mengingkari Yesus yang ketiga kali di dekat pengadilan agama Yahudi (Mat. 26:74). Saat itulah Petrus lupa pesan Tuhannya.  

Saat Tuhan sudah di perahu. Badai reda. Laut tenang. Masing-masing orang menyembah-Nya. Mereka tidak lagi bertanya-tanya tentang Dia. Tetapi mereka mengungkapkan pengakuan iman (Mat. 14:33), “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.”, Vere Filius Dei es.

Gelar ‘Anak Allah’ berbeda dengan pemahaman umum saat Tuhan Yesus menyingkapkan jati diri-Nya, “Aku ini!”, Ego Eimi dan berkuasa atas alam yang bergolak. Para murid mulai memahami bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah dalam makna yang tidak bisa diterapkan pada manusian seperti sebelumnya. Ia memiliki kedekatan istimewa dengan Allah Bapa, bahkan sehakekat dengan-Nya.

Pengalaman Nabi Elia dan para Rasul meyakinkan bahwa Allah selalu setia, mengasihi dan melindungi di masa-masa sulit. Ia selalu mengulurkan tangan untuk menyelamatkan dari jurang dosa dan memeluk masing-masing dalam haribaan belas kasih-Nya.  

Katekese

Menyambut Tuhan Yesus dengan penuh iman dan kerendahan hati. Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430:

“Karena Tuhan tak pernah tergoda oleh pujian manusia, orang sering merasa galau dan hampir terpukau oleh pujian dan penghormatan dari sesamanya di gereja. Petrus takut di laut. Hatinya tawar oleh terjangan badai. Tentu siapa yang tidak takut saat mendengar, “Mereka yang mengatakan kamu bahagia  menempatkan kalian dalam kesesatan dan mengganggu jalan untuk langkahmu.” (Yes. 3:12, terjemahan Vulgata)?

Dan karena jiwa berjuang melawan keinginan akan pujian manusia, setiap orang harus mau kembali berdoa dan memohon dilepaskan dari bahaya ini. Jangan sampai dia yang terpesona oleh pujian dikalahkan justru oleh kecaman dan celaan.

Ketika Petrus, yang hampir tenggelam dalam ombak, berseru, “Tuhan, selamatkan aku!”, Tuhan merentangkan tangan-Nya. Ia menegur Perus, kata-Nya, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”

Yang dimaksudkan-Nya adalah: mengapa kamu, ketika kamu mendekati-Nya dan memandang lurus pada Tuhan, tidak menyombongkan diri di hadapan-Nya? Namun, Ia meraih tangan Petrus dan mengeluarkannya dari deburan ombak. Ia tidak membiarkan dia binasa walau yang ia sedang mempertontonkan kelemahannya dan memohon pertolongan pada-Nya.” (dikutip dari Sermon 75:10).

Oratio-Missio

  • Tuhan, ajarlah aku untuk selalu rendah hati dan percaya pada-Mu. Amin.
  • Apa yang harus aku lakukan untuk selalu percaya pada uluran tangan-Nya?  

Statimque Iesus locutus est eis dicens, “Habete fiduciam, ego sum; nolite timere.”  – Matthaeum 14:27

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here