Lectio Divina 13.11.2024 – Tahu Terimakasih

0
55 views
Hanya satu orang kusta kembali kepada-Nya, by Rembrandt

Rabu. Minggu Biasa XXXII, Hari Biasa (H)

  • Tit 3:1-7
  • Mzm 23:1-3a.3b-4.5.6
  • Luk 17:11-19

Lectio

11 Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. 12 Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh 13 dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” 14 Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir.

15 Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, 16 lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria.

17 Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? 18 Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?” 19 Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”

Meditatio-Exegese

Hendaklah selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang

Di bagian akhir surat kepada Titus, Paulus meminta umat mentaati pemerintahan yang sah (bdk. Rom. 13:1-7; Tim. 2:2; 1Ptr. 2:13-14) dan siap melakukan pekerjaan yang baik. Nasihat ini nampak sulit dilakukan di tengah masyarakat, terutama orang Yahudi Kreta, yang tidak suka pada pemerintahan Romawi.

Ketika Yesus dimintai pendapat apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar, Yesus menjawab: berikan pada Allah apa yang menjadi hak Allah dan kaisar apa yang menjadi hak kaisar. Maka umat Kristen harus tunduk pada pemerintah yang secara moral sah dan mengedepankan usaha-usaha untuk mencapai kesejahteraan umum.

Namun, tiap pribadi Kristen perlu memiliki sikap ‘kooperatif kritis’ terhadap pemerintah dan apartaturnya. Semua bentuk ketidak adilan dan penggunaan kekuasaan yang korup harus dilawan dan dikecam. Maka tiap pribadi harus tidak membiarkan kejahatan menang dengan cara membiarkannya berjaya dan bersikap diam.

Singkatnya, Paulus meminta tiap anggota umat untuk bersikap: taat dan siap melakukan pekerjaan yang baik, tidak memfitnah, tidak bertengkar, ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang (Tit. 3:1-2).

Tetapi, ia juga mengingatkan akan mentalitas yang telah ditinggalkan, tetapi mungkin masih tetap mengakar dan bersembunyi dalam batin dan harus dihilangkan. Dari mentalitas abai pada ajaran yang benar, tiap pribadi membiasakan diri belajar Kitab suci dan ajaran Gereja. 

Dari mentalitas tidak taat pada perintah baik dari aparatur sipil dan gereja, tiap pribadi mengembangkan sikap kooperatif kritis, agar mampu bekerja sama dengan semua pihak untuk kesejahteraan umum. Terlebih di dalam batin tiap pribadi tidak dibenarkan akan perhambaan dorongan nafsu yang tidak teratur.

Mentalitas memelihara kebencian, ketidak sukaan, kemarahan, dendam, bahkan kesemena-menaan pada orang lain. Orang dengan mentalitas ini cenderung mencari teman dengan sikap batin yang sama. Mentalitas ini hanya dapat dikalahkan oleh kasih.      

Digunakan ungkapan φιλανθρωπια, philanthrophia, dari kata phileo, mengasihi dan anthropos, manusia, untuk mengungkapkan luapan kasih Allah pada manusia. Ia mengasihi dan menyelamatkan manusia dari dosa melalui Juruselamat, Yesus Kristus, bukan karena perbuatan baik yang dilakukan, tetapi karena rahmat-Nya.

Maka, di karya untuk masyarakat, tiap murid Kristus tak hanya mewartakan kasih yang telah diterimanya dari Allah. Ia juga harus memmbaharui diri sendiri, mengubah rasa benci menjadi kasih; dendam menjadi penerimaan; permusuhan menjadi persahabatan, supaya menerima hidup yang kekal (Tit. 3:7).   

Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem

Hanya satu orand dari yang disembuhkan kembali menjumpai Yesus untuk berterima kasih. Dialah orang asing, tersingkir,  orang Samaria.

Ia kembali untuk mengucapkan syukur dan terima kasih. Ungkapan syukur dan terimakasih memang khas Santo Lukas.

Sering penulis Injil ini melukiskan orang bersyukur dan memuji Allah karena perbuatan Yesus  (Luk. 2:28-38; 5:25-26; 7:16; 13:13; 17:15-18; 18:43; 19:37; dst). Injil Lukas juga mengisahkan pengalaman syukur dan terima kasih (Luk. 1:46-55; 1:68-79; 2:29-32).

Yesus menyusur batas Galilea dan Samaria

Kisah penyembuhan sepuluh orang kusta terjadi dalam perjalanan Yesus menuju Yerusalem, saat melewati perbatasan Galilea-Samaria. Dari awal perjalanan (Luk. 9:52) hingga sekarang (Luk. 17:11), Yesus menyusuri wilayah Samaria. Baru sekarang Ia meninggalkan wilayah itu, untuk mengarah ke Yerusalem.

Santo Lukas menempatkan pengajaran Yesus yang sangat panjang dalam kurun waktu dan jarak panjang perjalanan-Nya melalui daerah yang sebut sebagai daerah kafir. Perjalanan, exodos, Yesus ke Yerusalem melambangkan perlawanan atas cara pikir, cara merasa dan cara bertindak yang seolah-olah disahkan oleh agama atau ajaran Tuhan.

Ajaran itu sepertinya membolehkan penyingkiran, perendahan, penindasan, dan, bahkan,  pemusnahan orang atau bangsa atas nama agama atau Allah. Keyakinan yang tertutup bermakna penutupan diri untuk menjadi sarana dan alat Allah menyingkapkan kerahiman dan belas kasih-Nya.

Sebaliknya, Yesus, melalui sabda, tindakan, dan belas kasih-Nya menyambut dan memulihkan penderita kusta. Ia mengajarkan tentang bagaimana menyambut sesama, termasuk orang asing, sebagai saudara dan saudari dari Bapa yang sama.

Yesus,  Guru,  kasihanilah kami

Sepuluh penderita kusta berdiri sedikit jauh dari jalan. Begitu melihat Yesus,  mereka berteriak,  “Yesus, Guru, kasihanilah kami!”  Penderita kusta selalu disingkirkan, dihina, dan dihilangkan haknya untuk hidup bersama keluarga.

Menurut hukum pentahiran, penderita kusta harus mencabik-cabik pakaian, dan membiarkan rambut terurai. Ketika berjalan mereka harus membunyikan bel terikat di tongkat,  sambil berteriak,  “Najis. Najis.” (Im. 13:45-46).

Hukum Taurat juga menetapkan siapa saja yang bersentuhan atau tersentuh penderita kusta atau apapun yang berkaitan dengan penderita, dianggap najis. 

Santo Lukas melukiskan perjumpaan dengan Yesus seperti perjumpaan antar sahabat. Mereka berseru dan memanggil nama Yesus sebagai Guru. Yesus dipandang seperti rabbi biasa. Pada-Nya mereka memohon belas kasih, “Kasihanilah kami!”, Miserere nostri. (Latin, vulgata).

Ungkapan Latin miserere mengandung kata miser, kemalangan, kesusahan, penderitaan. Penderita kusta itu memohon Yesus mau menanggung beban derita bersama mereka.

Pergilah,  perlihatkanlah dirimu  kepada imam-imam

Atas permintaan mereka, Yesus tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk mengusir penyakit itu. Ia hanya menanggapi dengan bersabda, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” (Luk. 17:14). Kesepuluh orang itu harus menanggapi dengan iman yang kokoh pada-Nya.

Penyembuhan terjadi pada saat mereka melangkahkan kaki menjumpai para imam. Imam harus memastikan dan menjadi saksi penyembuhan. Setelah dinyatakan sembuh, upacara pentahiran dilaksanakan seperti diatur dalam Hukum Taurat (Im. 14:1-32). 

Penyembuhan ini seperti mengulangi kisah penyembuhan Naaman, orang Siria itu (2Raj. 5:9-10). Nabi Elisa menyuruh Naaman pergi dan mandi di Sungai Yordan. Naaman harus percaya pada kata-kata sang nabi.

Yesus menyuruh penderita kusta menghadap imam-imam. Mereka harus percaya pada sabda-Nya.

Tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya

Hanya satu orang yang kembali kepada Yesus untuk memuliakan Allah. Orang itu adalah seorang Samaria (Luk. 17:16). Yang sembilan pergi menghadap para imam untuk memenuhi hukum. Mereka beryukur karena melaksanakan hukum agar memperoleh belas kasih.

Kemungkinan kesembilan orang itu hanya memusatkan perhatian pada bagaimana mereka segera mendapat status baru sebagai orang yang tahir. Mereka tidak melanggar peraturan Tuhan, dan berhak atas anugerah ketahiran.

Kisah ini mirip dengan sabda Yesus pada perumpamaan tentang hamba, “Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?” (Luk. 17:9).

Mereka mengira mukjizat penyembuhan itu sudah sepantasnya dilakukan Yesus. Maka tidak ada lagi ucapan syukur atau terima kasih pada-Nya.

Dengan nada getir, Yesus bersabda tentang mereka, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?” (Luk. 17: 17-18).

Sebaliknya, orang Samaria itu merasa bahwa ia tidak merasa layak di hadapan Allah. Ia meyakini penyembuhan itu adalah pemberian, anugerah Allah, yang dimulai sejak Ia menganugerahkan hidup.

Maka, ketika ia mengalami mukjizat, ia berbalik kepada Yesus. Saat berbalik, ia melakukan apa yang selayaknya dilakukan di depan imam: bersungkur dan mengucap syukur.

Ia menghadap dan mengakui Imam Perjanjian Baru. Ia tidak menghadap imam Perjanjian Lama, yang telah dihancurkan oleh musuh pada tahun 70. Imamat Perjanjian Lama dan seluruh kelengkapannya sudah sirna ketika Santo Lukas menulis Injil pada sekitar tahun 85.

Dari mulut orang Samaria, dan dari mereka yang selalu disingkirkan, diabaikan, dikhianati, dianggap tiada, selalu keluar ucapan syukur dan terima kasih atas keselamatan dari Allah. Yesus menampilkan orang Samaria yang bersyukur (Luk. 17:17-19) dan yang mengasihi sesama (Luk. 10:30-33).

Karena sikap imannya itu, Yesus menyapanya dengan penuh kelembutan hati (Luk. 17:19), “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”, Surge, vade; fides tua te salvum fecit.

Katekese

Menyembuhkan sepuluh orang kusta. Santo Cyrilus dari Alexandria, 376-444 :

“Mengapa Yesus tidak bersabda, “Aku mau, jadilah sembuh,” seperti yang dilakukan-Nya pada orang kusta lainnya (Luk. 5:13), sebaliknya Ia meminta mereka menunjukkan diri pada para imam? Ia meminta mereka karena Hukum Tuhan memberi petunjuk atas pentahiran mereka yang sembuh dari kusta (Im 14:2).

Kitab Imamat meminta mereka untuk menunjukkan diri pada para imam dan mempersembahkan korban bakaran atas kesembuhan itu. Ia meminta mereka untuk pergi, karena mereka telah sembuh, sehingga mereka dapat bersaksi kepada para imam, penguasa bangsa Yahudi dan selalu iri hati atas kemuliaan-Nya.

Mereka bersaksi bahwa apa yang mereka alami sungguh luar biasa dan di luar harapan mereka. Mereka disembuhkan dari kemalangan karena kehendak Kristus agar mereka disembuhkan.

Pertama-tama,  Ia tidak menyembuhkan mereka, tetapi mengutus mereka menemui para imam, karena imam paham akan tanda penyakit kusta dan tanda kesembuhannya.” (Commentary On Luke, Homilies 113-16)

Oratio-Missio

Tuhan, semoga aku tidak gagal mengenali belas kasih dan kerahiman-Mu. Penuhilah hatiku dengan belas kasih dan ungkapan syukur; dan bebaskanlah aku dari sikap suka menggerutu dan tak tahu rasa syukur. Amin.

  • Apa yang perlu kulakukan agar semakin percaya pada-Nya dan selalu bersyukur atas anugerah-Nya?

Surge, vade; fides tua te salvum fecit  – Lucam 17:19

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here