Lectio Divina 14.08.2022 – Hatiku Memuliakan Allah

0
327 views
Elizabet menanti kedatangan Maria, by Jen Norton.

Minggu. Pekan Biasa XX. Hari Raya Santa Perawan  Maria Diangkat Ke Surga (P)

  • Why. 11:19a:12:1-6a.10ab
  • Mzm. 45:10c-12.16
  • 1Kor. 15:20-26
  • Luk. 1:39-56

Lectio (Luk. 1:39-56)

Meditatio-Exegese

Berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda

Seolah melupakan jarak dan kesulitan, Ibu Maria bergegas meninggalkan Nazaret, kampung halamannya, menuju ke rumah pasutri Zakharia-Elizabet.

Bersama Bapak Yusuf, mereka mungkin bergabung dengan iring-iringan pedagang lintas daerah yang beriring ke Yerusalem. Aman berjalan jauh bersama rombongan.

Setelah perjalanan panjang selama tujuh hingga delapan hari, keluarga dari Nazaret di Galilea sampai ke daerah pegunungan Yudea, tempat tinggal kerabat mereka.

Imam Zakharia dan Ibu Elizabet mungkin tinggal di kota Ein Karem, empat mil di sebelah barat Yerusalem.

Menurut tradisi, setelah bangsa Yahudi kembali dari pembuangan Babel, Kitab Nehemia mencatat bahwa para imam tinggal di dalam kota atau wilayah yang dekat dengan Yerusalem (Neh. 11:3).

Sesuai dengan kebiasaan, Ibu Elizabet mengurung diri di rumah selama lima bulan pertama kehamilannya (Luk. 1:24).

Saat Ibu Maria tiba di rumahnya, ia sudah dalam bulan keenam masa kehamilannya, sesuai dengan tata cara perhitungan saat itu (Luk. 1:36).

Ibu Maria berjalan jauh untuk mengunjungi kerabatnya barang kali karena dorongan Roh Kudus dan kerinduannya sendiri.

Ia hendak berbagi pengalaman dengan seseorang yang mampu memahami dan menerima pengalamannya akan misteri penjelmaan Anak Yang Mahatinggi (Luk. 1:32).

Ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya

Saat Ibu Maria masuk rumah Zakharia dan disambut Ibu Elizabet, bayi di dalam kandungan istri imam itu melonjak penuh sukacita.

Digunakan ungkapan εσκιρτησεν, eskirtesen; berasal dari kata σκιρταω, skirtau, yang bermakna melonjak-lonjak/melompat-lompat kegirangan. Dalam Latin Vulgata digunakan kata exsultare, bersuka cita, bergembira.

Penggunaan kata ini mau mengungkapkan makna lain: menari-nari, sebagai penghormatan atas kedatangan Sang Tamu Agung. Dengan penuh penghormatan anak Zakharia-Elizabet menyambut kedatangan Anak Yusuf-Maria.

Penghormatan ini terus menerus diungkapkan anak Zakaria-Elizabet sepanjang hidupnya, katanya (Mrk. 1:7), ”Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa dari padaku; membungkuk dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.”, Venit fortior me post me, cuius non sum dignus procumbens solvere corrigiam calceamentorum eius.

Kata yang sama, eskirtesen, ternyata juga digunakan dalam Luk. 1:44, ”Anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.” Tentang penyambutan ini, Santo Ambrosius menulis, “Elizabeth adalah yang pertama mendengar suara itu, tetapi Yohanes lebih dulu merasakan rahmat-Nya.”

Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu

Setiap orang diberkati apabila ia mampu melihat dan mengenal Allah. Ungkapan Yunani ευλογημενη, eulogemene dan ευλογημενος, eulogemenos, berasal dari kata eu, baik, dan logos, berbicara. Maka dalam kitab suci diterjemahkan sebagai benedicere (Latin), memberkati.

Orang yang diberkati adalah mereka yang berkenan kepada Allah. Saat Ibu Elisabeth menyingkapkan keyakinannya bahwa Allah sangat berbekenan kepada Ibu Maria ia menyatakan (Luk. 1:42), “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.”, Benedicta tu inter mulieres, et benedictus fructus ventris tui.

Ibu Maria berkenan bagi Allah karena Yesus menjadi buah rahim atau anaknya (bdk. Kej 30:2; Ul 28:4). Tetapi kelak ia mengalami dua sisi hidup yang saling bertentangan. Ia diberkati karena menjadi ibu Putera Allah.

Karena itu sebilah pedang menancap di hatinya ketika Anaknya wafat di salib. Santo Anselmus, guru agung dan Uskup Agung Canterbury, 1033-1109, dalam suatu kotbah, berkata, “Tanpa Putera Allah, tiada karya penciptaan; tanpa Putera Maria, tiada karya penebusan.”

Ibu Maria menerima anugerah baik mahkota suka cita maupun salib duka.  Suka citanya tak pernah sirna hanya karena duka. Sukacitanya dibakar oleh iman, harapan, dan kepercayaannya pada Allah dan janji-Nya.

Sepertinya, Yesus memuji ibu-Nya ketika bersabda pada para murid-Nya, “Tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu.” (Yoh. 16: 22).

Allah menganugerahkan suka cita surgawi yang memungkinkan kita menanggung setiap duka dan lara.

Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku

Tentang kidung Magnificat, Paus Fransiskus mengajari, “Apa nasihat Ibu Maria untuk kita? Dalam Injil hari ini, yang pertama dikatakannya, “Jiwaku memuliakan Tuhan.” (Luk. 1:46). Karena terbiasa mendengar, mungkin kita tidak memperhatikan kata-kata ini; mungkin tak lagi menggali lebih dalam maknanya.

Kata ‘memuliakan’ berarti ‘membuat agung atau mulia, mengagungkan’. Ibu Maria ‘mengagungkan Tuhan’: tak menjadi masalah, karena ia tidak kekurangan waktu. Ia hanya memiliki Tuhan.

Betapa seringnya kita membiarkan diri dihujani kesulitan dan disergap oleh kecemasan! Ibu kita tidak pernah, karena ia menjadi Allah sebagai Yang teragung bagi hidupnya. Dari sikap batin inilah, Kidung Magnificat berasal.

Dari sinilah suka cita lahir. Bukan dari ketiadaan masalah, yang akan segera atau kemudian muncul.

Suka cita berasal dari kehadiran Allah yang membantu, yang menyertai kita. Karena Allah sangatlah agung. Dan di atas segalanya, Allah memperhatikan hamba-Nya yang dina. Allah ternyata memiliki kasih yang mudah luluh: Ia memperhatikan dan mengasihi yang dina.

Pasti, Ibu Maria mengakua bahwa ia sangat dina dan meluhurkan “perbuatan-perbuatan besar” yang dilakukan Allah padanya (Luk. 1:49). Apakah karya-Nya yang agung?

Pertama dan yang terutama,  anugerah hidup yang tak terduga: Ibu Maria yang perawan tetapi ia mengandung. Demikian pula dengan Elizabet, yang lebih tua dan sekarang mengharapkan seorang anak.

Allah mengerjakan karya yang ajaib bersama dengan mereka yang dina, dengan mereka yang tidak percaya bahwa diri mereka besar. Tetapi masing-masing justru membuka hati mereka seluas mungkin agar Allah hadir dalam hidup mereka.

Allah merentangkan belas kasih-Nya kepada mereka yang percaya pada-Nya, dan meninggikan yang rendah hati. Ibu Maria memuji Allah karena tindakan-Nya ini.

Dan kita, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita selalu ingat untuk memuliakan Allah? Apakah kita bersyukur atas karya-Nya yang agung yang dilakukan untuk kita?

Untuk yang setiap hati hal ini Ia anugerahkan bagi kita, karena Ia selalu mengasihi dan mengampuni kita, dan kelembutan hati-Nya dicurahkan pada kita?

Terlebih, katena setelah menganugerahkan Ibu-Nya, demi saudara dan saudari Ia menyertai perjalanan kita. Dan karena Ia membuka pintu surga bagi kita?

Apakah kita bersyukur pada Allah, memuliakan-Nya atas karya-Nya ini?  Bila kita melupakan kebaikan, hati kita menjadi beku.

Tetapi, jika, seperti Ibu Maria, kita mengingat karya agung yang dilakukan Tuhan, jika, sekurang-kurangnya sekali sehari kita ‘memuliakan’-Nya, maka kita akan mengambil langkah besar.

Satu kali dalam sehari katakan, “Aku memuliakan Tuhan.” Berarti kita berkata, “Terpujilah Tuhan.”, salah satu bentuk pujian pendek.

Inilah cara memuliakan Allah. Dengan doa pendek, hati kita akan mekar, dan suka cita melimpah.

Marilah kita memohon pada Bunda kita, Pintu Surga, untuk memohonkan rahmat untuk memulai hari kita dengan memandang ke Surga, kepada Allah dan mengucapkan, “Syukur kepada-Mu, Tuhan.” sebagai hamba yang dina berkata kepada Dia Yang Mahatinggi dan Mahakuasa.” (Angelus,Saint Peter’s Square, Saturday, 15 August 2020)

Maria dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus

Ketika Ibu Elisabet memberi salam pada Ibu Maria dan mengenali bahwa yang dikandung sepupunya adalah Sang Mesias, mereka dipenuhi Roh Kudus. Mereka bersuka cita atas janji Allah yang segera terlaksana: Ia menganugerahkan Sang Penyelamat.

Ternyata, yang bersuka cita tidak hanya mereka berdua, bayi yang dikandung Ibu Elisabet, kelak diberi nama Yohanes, ikut bersuka cita. Roh Kudus menyingkapkan kehadiran Sang Raja yang segera akan lahir.

Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga

Dalam suasana muram akibat dampak perang dunia, kemanusiaan seolah lenyap maknanya. Manusia yang diciptakan hampir setara dengan Allah dan dimahkotai dengan kemuliaan dan semarak kehilangan makna hidup (bdk. Mzm. 8). Wajah kemanusiaan yang agung diganti oleh kekejaman di luar batas nalar.

Gereja mengambil momentum pembaharuaan makna hidup manusia, saat Paus Pius XII mengundangkan Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus (1950). Dogma Gereja tentang Maria Diangkat ke Surga menegaskan penghayatan iman yang tumbuh sejak awal ke-Katolik-an.

Gereja mewarisi iman bahwa  Ibu Maria diangkat ke surga berlandaskan kesaksian banyak bapa Gereja. Ibu Maria diangkat ke surga menandakan hidup manusia selalu memiliki makna luhur dan akan dipulihkan kendati mengalami kehancuran. Keluhuran martabat dibuktikan justru ketika membela tumbuh kembangnya Kerajaan-Nya.

Ternyata, di luar Gereja Katolik , tokoh  kunci reformasi Protestan, seperti dilaporkan dalam Marienlexikon, vol 3, 200 bersaksi tentang kebenaran iman ini.

Martin Luther, dalam homili pada  1522, menyatakan bahwa Pengangkatan Maria ke surga merupakan fakta yang masuk akal, walau tidak secara eksplisit ditulis dalam Kitab Suci.

Selajutnya, Martin Butzer, 1545, menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk meragukan tentang Pengangkatan Perawan Maria ke dalam kemuliaan Surga.

Katanya, “Tentu, tidak ada orang Kristen satu pun meragukan bahwa Ibu yang paling dihormati dari Tuhan kita sekarang hidup dalam sukacita surgawi bersama dengan Anak yang dikasihinya.”   

Akhirnya, H Bullinger, 1590, mencari landasan teologi atas Pengangkatan Ibu Maria dalam Kitab Suci. Ia menunjukkan bahwa Perjanjian Lama mengisahkan bahwa Nabi Elia, yang tubuhnya diangkat ke surga untuk mengajarkan tentang keabadian kita, manusia. Karena tubuh kita tidak mati, dengan sebulat hati menghormati tubuh para kudus.

Melandasi argumen itu, ia menyatakan, “Karena alasan inilah, kita percaya bahwa rahim tanpa noda dosa yang membawa Allah, Perawan Maria, merupakan Bait Roh Kudus, sehingga tubuhnya yang suci, diangkat ke surga oleh para malaikat.”

Para Bapa Konsili Vatikan II, 1962-1965, menegaskan: “Akhirnya Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat melalui kemuliaan di surga beserta badan dan jiwanya.

Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan (lih. Why. 19:16), yang telah mengalahkan dosa dan maut.” (Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium, 59).

Katekese

Bunda Tuhan dapat diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surga, Paus Pius XII, 1876-1958:

“Oleh karena itu, Bunda Tuhan yang terhormat, dari segala kekekalan digabungkan secara tersembunyi dengan Yesus Kristus…. Akhirnya memperoleh sebagai puncak tertinggi dari segala haknya yang istimewa, bahwa ia harus dijaga agar bebas dari kerusakan kubur dan bahwa seperti Puteranya, setelah mengalahkan maut, ia dapat diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surga, di mana sebagai Ratu, ia duduk di dalam kemegahan di sisi kanan Putera-Nya, Raja segala masa yang kekal (lih. 1 Tim 1:17).

“…. dengan kuasa dari Tuhan kita Yesus Kristus, [kuasa]dari Rasul Petrus dan Paulus yang terberkati, dan dengan kuasa kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan menentukannya sebagai dogma yang ilhami Roh Kudus:

Bahwa Bunda Maria yang tidak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan kehidupannya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.”  (Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus, 40.44)   

Oratio-Missio

Tuhan, penuhilah hatiku dengan Roh Kudus dan berilah aku suka cita untuk mencariMu. Kuatkanlah imanku, harapanku dan kasihku padaMu, sehingga Engkau selalu menjadi segalanya bagiku. Amin. 

  • Apa yang perlu kulakukan untuk mempercayakan hidup dan harapan pada Allah, seperti Ibu Maria?

Et ait Maria, Magnificat anima mea Dominum, et exsultavit spiritus meus in Deo salvatore meo” – Lucam 1: 46-47

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here