Lectio Divina 16.07.2021 – Aku Menghendaki Belas Kasih

0
347 views
Ilustrasi: Belas kasih, bukan pesembahan, yang Dikehendaki, by Today's Mass

Jumat. Pekan Biasa XV (H). Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel      

  • Kel. 11:10-12.14.
  • Mzm.116:12-13.15-16bc.17-18.
  • Mat.12:1-8

Lectio

1 Pada waktu itu, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum. Karena lapar, murid-murid-Nya memetik bulir gandum dan memakannya. 2  itu, berkatalah orang-orang Farisi kepada-Nya: “Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat.”

3 Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Tidakkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya lapar, 4 bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah dan bagaimana mereka makan roti sajian yang tidak boleh dimakan, baik olehnya maupun oleh mereka yang mengikutinya, kecuali oleh imam-imam?

5 Atau tidakkah kamu baca dalam kitab Taurat, bahwa pada hari-hari Sabat, imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah, namun tidak bersalah? 6 Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah.

7 Jika memang kamu mengerti maksud firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, tentu kamu tidak menghukum orang yang tidak bersalah. 8  Karena Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat.” 

Meditatio-Exegese

Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat

Dalam perikop ini, Santo Matius menyajikan konflik antara Yesus dengan kaum Farisi. Konflik itu mencakup beda pendapat tentang praktik keagamaan saat itu: puasa, kemurnian, hukum Sabat, dan sebagainya.

Pada saat ini konflik itu mencakup: perkawinan di antara orang yang telah bercerai, persahabatan dengan pelacur, penerimaan kaum homoseksual, kumpul kebo di antara orang yang dibaptis Katolik, tidak menghadiri Misa Kudus, atau tidak berpuasa pada hari Jumat Agung.

Konflik terjadi di mana-mana – dalam keluarga, sekolah, pekerjaan, komunitas, Gereja, masyarakat. Konflik merambah dalam pelbagai bentuk relasi, usia, mentalitas. Konflik tak dapat dihindari dalam hidup. Konflik selalu menjadi bagian perjalanan hidup dan proses pertobatan. 

Kita akan belajar dari Yesus bagaimana cara menyelesaikan konflik melalui cara-Nya : belas kasih terhadap mereka yang buta terhadap norma dan hukum, karena tujuan Hukum Allah adalah melakakukan Kasih.

Pada hari Sabat Yesus dan para murid-Nya berjalan di ladang gandum, memetik dan memakannya. Mereka melakukan itu karena lapar. Kaum Farisi mengecam tindakan itu, karena melanggar hukum Sabat (lih. Kel 20:8-11).

Yesus tidak marah mendengar kecaman mereka. Ia justru mengajak para pengecam untuk merenungkan makna terdalam dari hukum Sabat. Ia menggunakan tiga contoh dari Kitab Suci untuk merenungkan makna hukum itu: Daud, pengesahan/legalisasi pekerjaan imam di Bait Allah dan Nabi Hosea.

Semua yang disingkapkan-Nya dikenal dan dipahami oleh kaum Farisi.

Daud masuk ke dalam Rumah Allah dan mereka makan roti sajian. Yesus mengingatkan bahwa kaum Farisi tidak memiliki keberanian mengecam perbuatan Raja Daud. Terlebih Ia mengingatkan apa yang dilakukan Daud, masuk rumah Allah, mengambil roti sajian dan memberikannya kepada para prajurit untuk di makan saat mereka kelaparan, sebenarnya merupakan pelanggaran hukum; namun imam Ahimelekh mengijinkannya (1Sam. 21:2-6).

Imam-imam melanggar hukum Sabat di dalam Bait Allah.  Dikecam oleh mereka yang memegang kuasa dan wewenang dalam hidup keagamaan, Yesus menggunan kuasa dan wewenang yang ada pada mereka untuk mendudukkan masalah tentang hukum Sabat.

Setiap Sabat, di Bait Allah di Yerusalem, para imam bekerja lebih keras dari hari-hari lain.

Mereka harus mengorbankan binatang persembahan: menyembelih, membersihkan, mengangkat hewan, tereciki darah, dan seterusnya. Tiada seorang pun berani berkata tindakan mereka melawan hukum. Semua itu normal saja! Mereka melakukan karena diharuskan (bdk. Bil  28: 9-10). 

Yang Kukehendaki ialah belas kasihan, bukan persembahan. Ungkapan belas kasihan, misericordia, dalam bahasa Latin, terbentuk dari dua kata: miseri, kasihan, iba, bela rasa, dan corhati.

Kata misericordia, belas kasih, bermakna orang yang berbela rasa, menaruh hati, pada mereka yang menderita.

Maka orang yang berbelas kasih selalu mengidentifikasi diri dengan mereka yang menjadi korban keganasan orang lain.

Sedangkan kata korban, sacrificium, terbentuk dari dua kata, sacer, kudus, dan facere, membuat, menjadikan. Maka, korban bermakna benda yang tidak suci dijadikan suci. Maka, orang bisa membedakan, dalam hidup sehari-hari, mana yang suci dan mana yang duniawi.

Jika kaum Farisi mau menyelami sabda Allah yang keluar melalui mulut Nabi Hosea (Hos. 6:6), mereka akan menjadikan suci seluruh hidup dan apa yang mereka lakukan.

Mereka akan memperhatikan dan memberikan seluruh hidup pada pelayanan pada sesama yang disingkirkan, dikorbankan, ditipu, dihisap oleh pelbagai kepentingan jahat.

Mereka akan memulihkan dan memberi kelegaan kepada yang malang. Mereka tidak akan mempersalahkan dan mengharamkan orang yang sebenarnya tidak bersalah.

Sabda Allah melalui Nabi Hosea (Hos 6:6), ”Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” quia misericordiam volui et non sacrificium et scientiam Dei plus quam holocausta.

Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat

Yesus sendiri adalah tolok ukur penafsiran Hukum Tuhan. Jika Allah adalah Bapa, Ia menerima seluruh manusia sebagai anak-Nya laki-laki dan anak-Nya perempuan. Jika Allah adalah Bapa dan kita diterima Yesus, kita harus hidup sebagai saudara di antara kita.

Yesus menghayati persaudaraan ini dan mendoakan-Nya terus menerus hingga akhir jaman. Hukum harus mengabdi pada pembentukan dan penguatan pelayanan pada seluruh hidup komunitas dan persaudaraan.

“Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:27).  Karena kepercayaan-Nya pada Hukum Kasih, Yesus dihukum mati. Ia mengganggu sistem hukum dan sosial yang mendukungnya.

Katekese

Hari Ketujuh, tulisan Bapa Gereja Yunani tanpa nama, yang dianggap berasal dari Santo Eusebius dari Alexandria, Bapa Gereja abad ke-5:

Sekarang setiap minggu terdiri dari tujuh hari. Enam dari ketujuh itu diberikan Tuhan pada kira untuk bekerja; dan satu untuk doa, istirahat, dan membuat silih atas dosa-dosa kita; sehingga pada Hari Tuhan kita dapat memohon penebusan pada-Nya untuk setiap dosa yang kita lakukan pada enam hari lainnya.

Karena itu, datanglah lebih awal di Gereja Allah; mendekat kepada Tuhan dan mengaku dosa kepada-Nya; bertobat dalam doa dan hati yang remuk redam. Hadiri perayaan iman yang kudus dan ilahi; selesaikan doamu dan jangan pergi sebelum ibadat selesai.

Renungkan Tuhanmu yang dipecah-pecah dan dibagikan, namun tak pernah habis. Jika engkau memiliki hati nurani yang bening, maju dan sambutlah  tubuh dan darah Tuhan.” (dikutip dari Sermon 6, 1-2).

Oratio-Missio

Allah, Tuhan kami, tuntunlah kami berjalan di jalan-Mu: di mana ada kasih dan kebijaksanaan, di situ tidak ketakutan atau kebodoan. Di mana ada kesabaran dan kerendahan hati, di situ tidak ada amarah atau kejahilan.

Di mana ada kemiskinan dan suka cita, di situ tidak ada ketamakan  atau angkara. Di mana ada damai dan keheningan, di situ tidak ada kepentingan diri sendiri atau huru-hara.

Di mana ada takut akan Allah untuk menjaga rumah tinggal, di situ tak ada musuh yang mampu memasukinya.

Di mana ada belas kasih dan kebijaksanaan, di situ tidak ada kerakusan dan kekejaman. Semoga kita semakin disadarkan melalui  Putera-Mu, Yesus Kristus, Tuhan kami. Amin” (Doa  Santo Fransiskus Assisi, 1182-1226, terjemahan bebas)

  • Apa perlu aku lakukan untuk meretas jalanyang menghalangiku melakukan belas kasih?” 

Dominus est enim Filius hominis sabbati – Matthaeum 12:8

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here