Lectio Divina 19.10.2020 – Jangan Diperbudak Ketamakan

0
513 views
Ilustrasi -- Hidup penuh ketamakan. (Ist)

Senin (H)

  • Ef. 2:1-10
  • Mzm. 100:2,3,4,5
  • Luk. 12:13-21

Lectio

13 Seorang dari orang banyak itu berkata kepada Yesus: “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.” 14 Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Saudara, siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” 15 Kata-Nya lagi kepada mereka: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”

16 Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya. 17 Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil tanahku.

18  Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. 19 Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!

20  Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? 21 Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.”  

Meditatio-Exegese

Siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atas kamu?

Urusan warisan harus diselesaikan oleh masing-masing pihak. Yesus paham benar kalau warisan berhubungan identitas seseorang (1Raj. 21: 1-3) dan bekal untuk bertahan hidup (Bil. 27:1-11; 36:1-12).

Perpecahan keluarga kemungkinan besar terjadi apabila jumlah anggota keluarga banyak, dan luasan tanah terbatas. Hukum Taurat mengatasi persoalan itu dengan menetapkan anak laki-laki sulung menerima dua kali lipat (Ul. 21:17).

Yesus menolak permintaan untuk menjadi penengah dalam urusan warisan, sama seperti ketika Ia menolak permintaan akan tanda dari surga (Luk. 11:16). Ia menolak karena orang muda itu hanya tertarik pada kepentingannya sendiri.

Ia tidak mau dengan suka rela berbagi dan terus tidak puas dangan penerimaan dua kali lipat (Ul. 21:17). Yesus melihat bahaya orang mempertuhankan benda dan mengingini harta orang lain (bdk. Kel. 20:3.17). Maka, Ia menggunakan kesempatan itu untuk mendidik tentang bahaya ketamakan. 

Santo Agustinus dari Hippo, 354-430, menulis, “Ketamakan berkehendak memisahkan, sedangkan kasih mempersatukan. Apa makna ”Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan.”,  jika tidak bermakna “penuhi dirimu sendiri dengan cinta kasih?”

Ketika  mementingkan cinta diri, kita membuat Tuhan tidak merasa nyaman, karena kita memperlakukan saudara kita seperti yang dilakukan orang itu melawan adiknya. Seharusnya kita tidak mengucapkan permintaan yang sama.

Orang itu berkata, “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.”, maka kita seharusnya berkata, “Guru, katakanlah pada saudaraku bahwa ia dapat mengambil warisanku.” (dikutip dari Sermon  265.9).

Ada seorang kaya

Tidak ada salahnya salahnya orang memiliki harta benda. Ayub, misalnya, “memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar, sehingga orang itu adalah yang terkaya dari semua orang di sebelah timur” (Ayb. 1:3).

Walau memiliki harta kekayaan melimpah ruah, Ayub sangat berbeda dengan orang kaya tak bernama dalam kisah Injil Lukas. Yang membedakan adalah disposisi (sikap batin) terhadap kekayaan.

Penggunaan kata ‘aku’ dan ‘ku’ tercatat 13 kali (Luk. 12:17-19). Maka, Santo Lukas menyingkapkan bahwa disposisi batin orang itu bukan tertambat pada Allah, tetapi ia mengandalkan dirinya sendiri dan harta miliknya. 

Saat seluruh lumbung dan penyimpanan harta telah penuh, kepada jiwanya, si kaya itu berkata, “… beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah.” (Luk. 12:19). Ia tidak mau repot lagi. Ia ingin menikmati hidup sejahtera.

Si kaya ini mirip dengan si kaya yang menolak mengulurkan tangan pada pengemis di muka pintu rumahnya, Lazarus (Luk. 16:19-31).

Hai engkau orang bodoh

Si penimbun harta dikatakan bodoh bukan karena daya nalarnya kurang dari patokan normal. Ia bodoh karena ia bergantung pada dirinya sendiri dan harta miliknya. Ia bersikap sombong; dan mengingkari, bahkan, meniadakan Allah.

Santo Lukas menulis (Luk 12:20), “Hai engkau orang bodoh!”, Stulte.

Pemazmur berseru, “Orang bebal berkata dalam hatinya, “Tidak ada Allah.”, Dixit insipiens in corde suo: “Non est Deus .” (Mzm. 14:1; 53:1; bdk. Ayb. 31:24-28; Luk. 12:19). Ia bodoh karena tidak bertindak bijaksana dan memasukkan diri dalam bahaya kehancuran kekal (Sir. 11:18-19).

Ia bodoh karena seluruh hidup dicurahkan untuk menimbun bagi dirinya sendiri harta yang dimakan ngengat dan karat, bukan harta yang di surga (Mat. 6:19-20). Ia lupa bahwa manusia itu debu dan hari-hari hidupnya seperti rumput atau bunga di padang yang tumbuh sebentar, layu dan, segera kering (bdk. Mzm. 103:14.15).  Maka ketika jiwanya diambil, harta itu tidak akan menyelamatkan jiwanya.

Untuk menyelamatkan jiwa, setiap murid harus kaya di hadapan Allah. Kekayaan masing-masing terletak pada sikap batin untuk selalu bergantung pada-Nya.

Katekese

Dikelilingi harta benda, buta pada cinta kasih. Santo Cyrilus dari Alexandria, 376-444:

“Apa yang dilakukan si kaya itu, yang dikelilingi dengan kelimpahan benda yang jumlahnya tak terhitung? Dalam tekanan jiwa dan kecemasan, ia berbicara tentang kemiskinan. Ia berkata, “Apa yang harus aku perbuat?” … Ia tidak mempertimbangkan masa depannya. Ia tidak mengangkat matanya pada Allah.

Ia tidak mempertimbangkan bagaimana menggunakan harta untuk memperoleh harta yang ada di atas, di surga. Ia tidak menghormati kaum miskin atau berkeinginan menghormatinya. Ia tidak berbela rasa terhadap mereka yang menderita. Ketidak-mauannya tidak menggerakkan atau menyadarkankan hatinya untuk berbelas kasih.

Lebih tak masuk akal lagi, ia ingin beristirahat sepanjang hidupnya, seolah-olah ia memanen apa yang dihasilkan dari tanah.

Ia berkata, “Aku akan berkata pada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!”  

“Hai engkau orang bodoh,” seseorang berkata padamu, “Kamu memiliki lumbung untuk hasil panenmu, tetapi di mana kamu akan menerima panenmu sendiri untuk bertahun-tahun kemudian?

Pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Atas keputusan Allah, hidupmu disudahi.”

Allah, demikian disampaikan pada kita, berkata pada orang kaya itu, “Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu. Dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” (dikutip dari  Commentary On Luke, Homily 89).

Oratio-Missio

  • Tuhan, bebaskanlah hatiku dari kelekatan akan harta dan keinginan untuk menguasai harta milik orang lain. Semoga aku selalu menjadikan-Mu sebagai harta paling berharga dibandingkan dengan harta benda. Bantulah aku untuk menggunakan berkat bendawi untuk kebaikan sesama dan menggunakannya untuk memuji dan memuliakan-Mu. Amin.
  • Mari memohon untuk menjadi kaya dalam belas kasih (“Allah yang kaya dalam belas kasih” –‘Deus autem qui dives est in misericordia’_, Ad Ephesios 2:4, Vulgata)

Sic est qui sibi thesaurizat, et non est in Deum dives – Lucam 12: 21

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here