Lectio Divina 19.11.2022 – Bukan Allah Orang Mati, Melainkan Allah Orang Hidup

0
506 views
Dia bukan Allah orang mati, tetapi Allah orang hidup, by Vatican News

Sabtu. Hari Biasa. Pekan Biasa XXXIII (H)

  • Why. 11:4-12
  • Mzm. 144:1.2.9-10
  • Luk. 20:27-40

Lectio

27 Maka datanglah kepada Yesus beberapa orang Saduki, yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka bertanya kepada-Nya: 28 “Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati sedang isterinya masih ada, tetapi ia tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu.

29 Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan lalu mati dengan tidak meninggalkan anak. 30 Lalu perempuan itu dikawini oleh yang kedua, 31 dan oleh yang ketiga dan demikianlah berturut-turut oleh ketujuh saudara itu, mereka semuanya mati dengan tidak meninggalkan anak.

32 Akhirnya perempuan itupun mati. 33 Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia.”

34 Jawab Yesus kepada mereka: “Orang-orang dunia ini kawin dan dikawinkan, 35 tetapi mereka yang dianggap layak untuk mendapat bagian dalam dunia yang lain itu dan dalam kebangkitan dari antara orang mati, tidak kawin dan tidak dikawinkan.

36 Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan. 37 Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.

38 Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” 39 Mendengar itu beberapa ahli Taurat berkata: “Guru, jawab-Mu itu tepat sekali.” 40  Sebab mereka tidak berani lagi menanyakan apa-apa kepada Yesus.

Meditatio-Exegese

Orang Saduki tidak mengakui adanya kebangkitan

Menghadapi akal licik dan dalih keagamaan tidak selalu mudah. Tersaji kelicikan kaum Saduki yang hanya percaya pada apa yang tertulis dalam lima Kitab Taurat Musa.

Mereka juga tidak menerima hukum-hukum lain yang diturunkan dari perintah pokok, seperti kaum Farisi. Dan, karena kebangkitan badan tidak ditulis dalam kelima kitab itu, mereka percaya bahwa jiwa mati bersama dengan kematian badan (bdk. Flavius Josephus, Antiquities of the Jews, 18.11-17).

Kaum yang oleh Santo Lukas dilukiskan sebagai orang yang “tidak mengakui adanya kebangkitan” (Luk. 20: 27)  berasal dari kaum berpunya Yahudi – para imam, tuan tanah, dan pedagang. Mereka adalah keturunan Imam Zadok yang hidup pada jaman Daud (2Sam. 8:17; 15:35; 1Taw. 15:11; 16:39).

Karena tidak percaya akan kebangkitan, mereka percaya ajaran tentang hukum pembalasan. Allah akan mengganjar orang yang setia melakukan perintah-Nya dengan kekayaan dan kemakmuran. Terlebih, Ia akan menghukum mereka yang berbuat jahat dengan kemiskinan dan penderitaan.

Pengaruh mereka di Bait Allah dan Mahkamah Agama Yahudi amat besar. Jabatan imam agung selalu jatuh pada kaum kolot ini.

Oleh sebab itu, dapat dimengerti bahwa kaum Saduki tidak pernah mau menerima pembaharuan dalam tata hidup kemasyarakatan. Praktik keagamaan harus dipertahankan seperti apa adanya, tidak perlu berubah, karena Allah juga tidak berubah.

Kaum Saduki menciptakan kisah fiktif tentang seorang perempuan dengan 7 suami bersaudara. Kisah ini bertujuan untuk mendukung kepercayaan mereka bahwa tidak ada hidup kekal sesudah kematian.

Kalau kehidupan setelah kematian sejajar dengan apa yang dialami sekarang – orang kawin-mawin, lalu siapa yang menjadi suami perempuan itu? Inilah cara pandang mereka ketika harus mencari pembenaran atas hukum perkawinan ipar (Ul. 25:5-6).    

Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub

Paus Fransiskus mengajar, “Yesus menyerang balik orang-orang yang mengingkari kebangkitan badan itu. Ia dengan canggih mengutip Kitab Suci yang sama secara lugas dan cerdas. Yesus menemukan bukti kebangkitan badan dalam kisah Musa saat ia menghadap Allah di semak yang terbakar (Kel. 3:1-6).

Saat itu Allah menyingkapkan Diri-Nya sebagai Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Nama Allah erat terkait dengan nama-nama pria dan wanita yang pada-Nya mereka mengikatkan diri. Ikatan ini jauh lebih kuat dari pada kematian. Maka, kita dapat juga melukiskan relasi kita dengan Allah dan dengan masing-masing dari kita: Dia adalah Allah kita masing-masing.

Ia pasti mengenal nama kita masing-masing. Pengenalan ini membuat-Nya selalu bersuka cita, dan inilah perjanjian. Maka, sabda-Nya, “Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” (Luk. 20:38).

Inilah ikatan yang tak teruraikan, perjanjian terpenting, perjanjian dengan Yesus. Ia sendirilah Sang Perjanjian. Dialah Hidup dan Kebangkitan. Begitu agung dan besar kasih-Nya yang ditumpahkan di salib, hingga Ia menang atas kematian. […]

Apa yang akan terjadi kemudian sangat bertentangan dengan apa yang diharapkan kaum Saduki. Hidup yang akan kita alami akan berlangsung abadi. Inilah hidup yang menanti kita. Inilah keabadian, hidup yang menerangi dan membuka harapan setelah hidup yang kita alami sehari-hari.

Apabila kita hanya memandang dari sisi manusiawi, kita cenderung untuk percaya bahwa peziarahan manusia mengarah pada kematian. Inilah yang kita saksikan sekarang! Ini terjadi, sekali lagi, dari sudut pandang manusiawi.

Yesus menjungkir balikkan pandangan ini dan menyatakan bahwa peziarahan kita berangkat dari kematian menuju kehidupan: kepenuhan hidup! Sekarang kita sedang berziarah menuju kepenuhan hidup. Dan kepenuhan hidup itu menerangi perjalanan kita. Maka kematian ada dibelakang kita, bukan menanti di depan.

Di hadapan kita menanti Allah yang hidup, Allah perjanjian, Allah yang melukis namaku, nama kita tertulis di hadapan-Nya, ketika Ia bersabda, “Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub”, dan juga Allah dengan namaku, namamu…, dengan nama kita. Dialah Allah orang hidup.

Di hadapan kita berdiri kekalahan akhir dosa dan maut, awal dari masa yang baru yang penuh suka cita dan cahaya tanpa akhir. Dan di bumi kita menjumpai Yesus dan kasih-Nya dalam doa, Sakramen, persaudaraan. Maka, kita sudah merasakan sedikit hidup sesudah kebangkitan badan.” (Angelus, Saint Peter’s Square Minggu, 10 November 2013).

Pemazmur bermadah (Mzm. 73:23-24), “Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku. Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.”, Ego autem semper tecum; tenuisti manum dexteram meam. In consilio tuo deduces me et postea cum gloria suscipies me.

Yesus bersabda, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” (Yoh. 11:25-26)

Katekese

Yesus mengutip perkataan Musa untuk membenarkan ajaran tentang kebangkitan badan.  Santo Cyrilus dari Alexandria, 376-444:

“Sang Juruselamat kita juga menunjukkan kebodohan kaum Saduki dengan menunjukkan pemimpin mereka sendiri, Musa, yang dengan jelas mengakui kebangkitan orang mati. Ia bersimpuh di hadapan Allah yang bersabda di semak terbakar, “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” (Kel. 3:6).

Inilah landasan iman kepada Allah. Maka jika menuruti alasan-alasan orang Saduki, berarti mereka sudah tak memiliki hidup sama sekali, bukan? Dia adalah Allah dari orang hidup.

Mereka akan bangkit ketika tangan kanan-Nya yang penuh kuasa membangkitkan mereka dan semua orang yang ada di atas bumi yang hadir di hadapan-Nya. Karena orang yang tidak percaya bahwa kebangkitan akan terjadi barang kali layak disebut sama bodohnya dengan kaum Saduki.

Tetapi hal itu tidak pantas disematkan pada mereka yang mengasihi Kristus. Kita percaya pada-Nya, yang bersabda, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh. 11:25).

Ia akan segera membangkitan orang mati, dalam dalam sekejap mata, dan pada saat nafiri terakhir dibunyikan. Saat nafiri berbunyi, orang yang mati dalam Kristus akan bangkit dengan tubuh utuh, dan kita akan diubah (1Kor. 15:52). Karena Kristus, Sang Juruselamat kita akan mengubah hidup kita menjadi hidup yang tak binasa, mulia dan abadi.” (Commentary On Luke, Homily 136).

Oratio-Missio

Semoga Tuhan Yesus meletakkan tangan-Nya di bola matamu juga, agar kami tak hanya melihat apa yang dapat dilihat oleh mata, tetapi juga yang tak dapat dilihat oleh mata. Semoga Ia membuka mata agar kami memperhatikan tidak hanya perkara yang terjadi saat ini, tetapi juga perkara yang akan terjadi kelak.

Semoga Ia membuka membuka mata hati, agar kami memandang Allah dalam Roh. Demi Tuhan Yesus Kristus, yang mulia dan berkuasa sepanjang segala masa. Amin” (Doa dari Origenes, Bapa Gereja, 185-254, terjemahan bebas).

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk memperoleh anugerah hidup bersama dengan Allah? 

Deus autem non est mortuorum sed vivorum; omnes enim vivunt ei – Lucam 20:38

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here