Lectio Divina 22.05.2022 – Damai-Ku Kuberikan Kepadamu

0
357 views
Damai-Ku Kuberikan Kepadamu Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, by Vatican News.

Minggu. Hari Minggu Paskah VI (P)

  • Kis. 15:1-2.22-29.
  • Mzm. 67:2-3.5.6.8.
  • Why. 21:10-14.22-23.
  • Yoh. 14:23-29.

Lectio

23 Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia. 24  Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku; dan firman yang kamu dengar itu bukanlah dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku.

25 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu; 26  tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.

27 Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu. 28 Kamu telah mendengar, bahwa Aku telah berkata kepadamu: Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu.

Sekiranya kamu mengasihi Aku, kamu tentu akan bersukacita karena Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku. 29 Dan sekarang juga Aku mengatakannya kepadamu sebelum hal itu terjadi, supaya kamu percaya, apabila hal itu terjadi.”

Meditatio-Exegese

Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain pergi kepada para rasul dan penatua di Yerusalem

Santo Lukas menempatkan kisah rapat akbar, Konsili Yerusalem, tak hanya tepat di tengah-tengah Kisah Para Rasul. Tetapi rapat akbar ini juga menyingkapkan universalitas Injil dan Kabar Suka Cita tak bisa dibatasi oleh apa pun.

Kabar Suka Cita di antara bangsa bukan Yahudi dimulai saat Kornelius memutuskan untuk menjadi pengikut Tuhan tanpa syarat apapun (Kis. 10:1-48). Roh Kudus membantu proses bangsa bukan Yahudi untuk mengimani Yesus sebagai Tuhan dan Kristus (Kis. 2:36).

Namun kedatangan orang Kristen Yahudi berlatar belakang paham Farisi – atau oleh Santo Paulus disebut sebagai ‘beberapa orang dari kalangan Yakobus’ (Gal. 2:12) – di wilayah Antiokia menggoncang kebijakan pewartaan Injil.

Mereka menekankan bahwa untuk memperoleh keselamatan dari Tuhan, setiap orang yang bukan Yahudi harus disunat dan mempraktekkan Hukum Musa, yang ditetapkan di Gunung Horeb di Sinai (Kel. 19:4-6).

Ajaran ini menyebabkan perbantahan dan mengancam persatuan jemaat Gereja di Antiokia, karena para penghasut itu mendaku telah mendapatkan wewenang mengajar dari para Rasul di Yerusalem (Gal 2:2.6.9).

Maka, pemimpin Gereja di Antiokia memutuskan untuk mengirim Paulus dan Barnabas, Yudas atau Barsabas dan Silas serta Titus (Gal. 2:1) ke Yerusalem. Para utusan meminta pendapat dan keputusan Petrus dan Rasul-rasul lain untuk memadamkan perbantahan dan mencegah perpecahan di antara jemaat (Gal. 2:9).

Sedangkan bagi Paulus dan Barnabas tugas ini menjadi tugas kedua (bdk. Kis. 11:30). Paulus sendiri meyakini dalam melaksanakan tugas ini ia dibimbing oleh Roh Kudus (Gal 2:2).

Pengumuman Para Rasul, penatua, dengan seluruh Gereja menentukan siapa yang harus menyampaikan pada jemaat.

Tetapi keputusan dirumuskan dan diresmikan oleh Hirarki Gereja. Keputusan Dewan Para Rasul mencakup dua bagian: tentang ajaran dan moral (Kis 15:28) dan larangan yang harus dilaksanakan (Kis 15:29).

Tentang ajaran Gereja, para Rasul memutuskan bahwa tidak ada lagi beban yang harus ditanggung selain apa yang perlu saja.

Maka, semua bangsa bukan Yahudi yang memutuskan untuk menjadi anggota Gereja dibebaskan dari kewajiban melaksanakan sunat dan Hukum Musa.

Namun mereka terikat untuk melaksanakan ajaran moral Injil dan harus melakukan amal kasih.

Keputusan ini berlaku sepanjang masa, karena Allah menghendakinya demi keselamatan semua manusia. 

Larangan yang harus diindahkan bersifat sementara.

Larangan itu menuntut tiap anggota jemaat menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan.

Walaupun larangan ini berasal dari Hukum Musa, kewenangan untuk menetapkan dan melaksanakan keutamaan ini tidak lagi bersumber dari ajaran Musa, tetapi dari kuasa mengajar Gereja.

Apa yang berlaku bukan apa yang dikatakan Musa, tetapi apa yang dikatakan Kristus melalui Gereja.

Santo Yohanes Chrysostomus menulis bahwa “Konsili nampaknya mempertahan pelaksanaan Hukum Musa, karena hukum itu memilah pelbagai macam aturan yang diturunkan darinya. Namun sebenarnya mengatasinya, karena hukum itu tidak menerima suluruh kewajiban turunannya.

Maka, dapat disimpulkan tentang hal-hal ini, hukum ini menghormati Hukum Musa namun peraturan-peraturan itu ditetapkan tidak berlandaskan atas kewibawaan Musa, tetapi kewibawaan para Rasul.” (Homily on Acts, 33).

Jika seorang mengasihi Aku

Berbeda dengan tiga penulis Injil lain yang lebih banyak menulis tentang Petrus, Santo Yohanes mengisahkan cukup banyak orang di luar Petrus.

Santo Yohanes pada kesempatan ini mengisahkan peran Yudas, bukan Yudas Iskariot; tetapi Yudas anak Yakobus, juga dikenal sebagai Tadeus seperti dicantumkan dalam daftar para Rasul (Luk 6:16; Kis 1:13; Mat 10:3; Mrk 3:18).

Dipercaya dalam tradisi Gereja, Yudas Tadeus adalah Rasul yang pertama mewartakan Injil di wilayah Samaria, Idumea, Libya, Syria, dan Mesopotamia sebelum menjelajah hingga Edessa di Asia Kecil untuk mewartakan Injil. 

Bersama Santo Bartolomeus, Santo Yudas Tadeus mendirikan Gereja di Armenia, tempat ia dibunuh sebagai martir. 

Yudas, yang bukan Iskariot, berkata kepada-Nya, “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami, dan bukan kepada dunia?” (Yoh. 14:22).

Pada jamaat itu, umum dipercaya bahwa Mesias akan menampakkan diri pada para bangsa di dunia sebagai raja dan juruselamat seperti dilukiskan dalam penampakan Anak Manusia dalam nubuat Nabi Daniel 7:13-14.

Yudas percaya Yesus adalah penggenapan atas nubuat Nabi Daniel. Tetapi ia tidak mau memahami mengapa Ia tidak mau mengambil tempat-Nya seperti dinubuatkan sebagai raja segala raja atas seluruh kerajaan dunia.

Jawaban Yesus sepertinya sulit dipahami. Ia menjawab pertanyaan Yudas dengan menjelaskan mengapa Ia tidak menampakkan diri-Nya sendiri kepada dunia sebagai raja atau hakim atau imam.

Tetapi ia justru dengan cara sangat sederhana. Ia menampakkan diri-Nya kepada orang yang dikasihi-Nya dan melaksanakan perintah Bapa-Nya.

Beberapa kali dalam Perjanjian Lama Allah menampakkan diri-Nya melalui tanda yang hebat. Ia menampakkan diri dalam rupa Tiang Awan dan Tiang Api (bdk. Kel. 13:21-22; 14:19, 24; 33:9-10; Bil. 12:5; 14:14; Ul. 31:15), dalam bentuk penampakan yang mencekamkan jiwa (Kel. 19).

Ia hadir ketika awan putih meliputi Kemah Suci di gurun dan kelak di Bait Suci di Yerusalem (Kel. 40:34-38; 1Raj. 8:10-11; 2Taw. 5:13-14). Ia berjanji untuk tinggal di tengah umatNya (Kel. 29:45; Yeh. 37:26-27; dll.).

Namun,  kini, Yesus bersabda tentang kehadiran Allah dalam setiap pribadi yang percaya kepada-Nya. Santo Paulus menyatakan setiap pribadi yang beriman adalah Bait Allah di mana Roh Tuhan berdiam (2Kor. 3:16).

Masing-masing pribadi dibangun di atas landasan para Rasul dan para nabi serta Yesus sendiri batu penjurunya, setiap bagian diikat dalam diriNya, sehingga membentuk Bait Kudus, tempat Allah bersemayam (bdk. Ef. 2:20-22).

Terlebih, mengutip (Im. 26:11-12, Yeh. 37:27, Yes. 52:11, dan 2Sam. 7:14), Santo Paulus menulis, “Kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: “Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku.

Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan demikianlah firman Tuhan, Yang Mahakuasa.” (2Kor. 6:16-18).

Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku

Yesus pernah menjajikan kehadiran seorang manusia, entah raja, imam, atau nabi yang akan hadir mendampingi para murid-Nya. Ia hanya mengutus Pribadi ketiga dari Tritunggal Mahakudus, Roh Kudus. Ia diutus untuk memberi penghiburan, mengajarkan dan mengingatkan akan apa yang telah diajarkanNya.

Santo Paus Yohanes Paulus II dalam, mengajarkan, “Kristus tidak meninggal para pengikutNya tanpa bimbingan dalam mengmahami dan menghayati Injil. Sebelum kembali kepada BapaNya, Ia berjanji untuk mengutus Roh Kudus-Nya pada Gereja, “Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.” (Yoh 14:26).

“Roh yang sama membimbing para pengganti para Rasul, uskup-uskupmu, yang dipersatukan dengan Uskup Roma, pada mereklah dipercayakan untuk menjaga iman dan “memberitakan Injil kepada segala makhluk.” (Mrk. 16:15).

Dengarkanlah suara mereka, karena mereka mengantarkan kalian kepada sabda Allah.” (Homily at Knock Shrine, 30 September 1979).

Damai sejahteraKu

Yesus menganugerahkan damai sejahtera (Yoh. 14:27), ”Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu”, Pacem relinquo vobis, pacem meam do vobis. Santo Yohanes menggunakan kata ειρηνη, eireine, pax.

Yesus tidak menganugerahkan damai yang dibangun setelah pelbagai bentuk kekacauan diakhiri. Damai sejahtera bukan dibangun berdasarkan ukuran duniawi, seperti Pax Romana. Damai dan keamanan di seluruh kekaisaran Romawi dibangun di atas tipu daya, perundingan berat sebelah, darah, pedang, tombak, dan katapult.

Dunia tidak mungkin memberi damai, karena menolak Yesus.  Damai yang ditinggalkan Yesus untuk para murid mencakup keselamatan atau hidup abadi. Para nabi bernubuat tentang Raja Damai, Mesias, yang diutus Allah (Yes. 9:5-6).

Ia mewartakan damai sejahtera kepada bangsa-bangsa hingga ke ujung-ujung bumi (Za. 9:10). Dan orang yang membawa kabar gembira haruslah orang yang mengabarkan damai dan keselamatan (Yes. 52:7).

Damai sejahtera erat behubungan dengan perjanjian damai dengan Allah. “Aku akan mengadakan perjanjian damai dengan mereka.” (Yeh. 37:26). Maka, bila setia pada perjanjian damai, disingkapkan oleh Nabi Yehezkiel (Yeh. 37:27), “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.”, et ero eis Deus, et ipsi erunt mihi populus.

Damai sejahtera dianugerahkan setelah Ia bangkit dari kematian, “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh. 20:26). Damai sejahtera ini berasal kasih kepada-Nya dan diwujudkan melalui kesetiaan pada dan melakukan perintah-Nya (Yoh. 14:21).

Damai sejahtera dari-Nya selalu menjadi sumber suka cita (Yoh. 15: 11; 16:20.22.24; 17:13). 

Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu

Yesus kembali kepada Bapa agar Ia dapat kembali lagi dalam waktu segera. Kepada Maria dari Magdala, Ia bersabda (Yoh 20: 17), “Janganlah Engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa.”, Iam noli me tenere, nondum enim ascendi ad Patrem.

Setelah Ia pergi kepada Bapa, Ia kembali melalui Roh Kudus yang diutus-Nya (bdk. Yoh. 20:22). Tanpa kembali kepada Bapa-Nya, Yesus tidak mungkin hadir di tengah manusia melalui Roh Kudus.

Kehadiran Yesus selalu mengusik penguasa dunia, baik bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, militer dan agama. Mereka bersekongkol untuk menghancurkan-Nya. Bahkan dua seteru yang saling berlawanan pun bersekongkol untuk membunuh Yesus, pengikut Herodes Antipas dan kaum Farisi (Mat. 12:14; Mrk. 3:6).

Sepertinya persekongkolan akan menang atas diri-Nya. Yesus mengalami sengsara dan kematian di tangan para musuh Kerajaan-Nya. Ia kalah.

Namun, sesudah tiga hari kebangkitan-Nya yang begitu dramatik justru membuktikan bahwa Ia selalu setia melaksanakan kehendak dan mengasihi Bapa-Nya hingga tuntas. Ia menang dan para musuh tunggang langgang.

Sabda-Nya, “Aku datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya.” (Yoh. 12:47); “dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.” (Yoh. 10:28).

Ketika mewartakan damai sejahtera, para murid Yesus tidak berpijak pada pertanyaan tentang doktin/ajaran, hukum atau organisasi. Tetapi mereka mewartakan dan mewujudkan: kasih, agape, yang dirindukan dalam lubuk hati manusia terdalam.

Katekese

Memutus lingkaran setan kekejaman ciptaan manusia. Paus Fransiskus, Buenos Aires, 17 Desember 1936.

“Sungguh, “kebenaran adalah pendamping tak terpisahkan dari keadilan dan belas kasihan. Ketiganya bersama-sama penting untuk membangun perdamaian dan, di sisi lain, masing-masing mencegah yang lain dibelokkan. […] Kebenaran seharusnya, pada kenyataannya, tidak mengarah pada balas dendam, tetapi pada rekonsiliasi dan pengampunan.

Kebenaran berarti memberi tahu keluarga yang dilanda kesedihan tentang apa yang terjadi dengan kerabat mereka yang hilang. Kebenaran berarti mengakui apa yang terjadi pada anak-anak di bawah umur yang direkrut oleh para pelaku kekerasan. Kebenaran mengakui rasa sakit perempuan yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan. […]

Setiap kekerasan yang dilakukan terhadap seorang manusia adalah luka dalam daging umat manusia; setiap kematian dengan kekerasan “merendahkan” kita sebagai manusia. […]

Kekerasan menghasilkan kekerasan, kebencian melahirkan lebih banyak kebencian dan  kematian lebih banyak kematian. Kita harus memutus rantai yang tampaknya tak terelakkan ini.” (Ensiklik tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial, Fratelli Tutti, 227)

Oratio-Missio

Tuhan, dalam kasih Engkau menciptakan aku dan menarikku untuk dekat dengan-Mu. Semoga aku tidak pernah kehilangan pandanganku pada-Mu. Semoga aku selalu tinggal dalam perlindunganMu dan tidak lari dari kasihMu. Amin.

  • Apa yang perlu kulakukan untuk mewujudkan damai dan kasih Allah?

Si quis diligit me, sermonem meum servabit, et Pater meus diliget eum, et ad eum veniemus et mansionem apud eum faciemus – Ioannem 14:23

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here