Home BERITA Lectio Divina 23.6.2025 – Percaya kepada Allah, Tidak Munafik

Lectio Divina 23.6.2025 – Percaya kepada Allah, Tidak Munafik

0
15 views
Balok di mataku, by Domenico Feti

Senin. Minggu Biasa, Biasa XII (H)             

  • Kej. 12:1-9
  • Mzm. 33:12-13.18-19.20.22
  • Mat. 7:1-5

Lectio

1 “Janganlah menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. 2 Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.

3 Mengapakah engkau melihat serpihan kayu di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? 4 Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan serpihan kayu itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu?

5 Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, setelah itu engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu.”

Meditatio-Exegese

Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini

Panggilan Allah pada Abram, nama sebelum perjanjian yang ditandai dengan sunat (bdk. Kej. 17:1-14), mengawali awal babak baru karya keselamatan-Nya, karena perjanjian-Nya dengan Abraham seluruh bangsa manusia akan diberkati. Karena panggilan itu, Abraham harus memutus hubungan dengan tanah kelahiran, keluarga dan seluruh kenangan yang telah telah dialami.

Panggilan-Nya menuntutnya untuk percaya kepada Allah dan tetap berpegang teguh pada janji-Nya – negeri yang belum dikenalnya, keturunan yang tak terhitung jumlahnya di saat istrinya dianggap mandul (Kej. 11:30) dan perlindungan-Nya. Panggilan ini juga menuntut pelepasan kepercayaan kepada berhala yang dianut oleh keluarga besarnya di Haran.

Abraham menjawab panggilan Allah dengan ketaatan penuh, tanpa keraguan. Sikap hatinya berkebalikan dengan sikap hati manusia yang menyombongkan dirinya sendiri hingga hendak menguasai langit seperti Allah dengan membangun menara Babel (bdk. Kej. 11:1-9).

Ketaatan imannya tidak bisa disandingkan dengan ketidaktaatan Adam dan Hawa. Ketidaktaatan mereka menyebabkan pemutusan relasi mesra dengan Allah.

Rencana keselamatan Allah setahap demi setahap terwujud dengan menuntut manusia untuk patuh pada-Nya, seperti yang dilakukan Abraham. Ia dininta meninggalkan tempat asalnya dan berziarah ke tempat yang ditentukan-Nya.

Rencana-Nya dipenuhi dengan sempurna melalui ketaatan sempurna oleh Yesus Kristus yang, “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp. 2:8); dan karena ketaatan-Nya seluruh umat manusia menerima belas kasih dan kerahiman Allah (bdk. Rm. 5:19).

Setiap pribadi yang mendengarkan dan melaksanakan suara Allah, seluruh kaum beriman, dapat dinyatakan sebagai anak-anak Abraham.

Santo Paulus menulis, “Secara itu jugalah Abraham percaya kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Jadi kamu lihat, bahwa mereka yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham.

Dan Kitab Suci, yang sebelumnya mengetahui, bahwa Allah membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh karena iman, telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham: “Olehmu segala bangsa akan diberkati.”

Jadi mereka yang hidup dari iman, merekalah yang diberkati bersama-sama dengan Abraham yang beriman itu.” (Gal. 3:6-9).

Dalam tradisi Yahudi dan  Kristen Abraham memenuhi tuntutan Allah secara total dengan meninggalkan tiga hal penting. Santo Alcuinus menulis, “Melalui tiga hal yang harus ditinggalkan, negeri, suku dan rumah ayahnya, berarti bahwa kita harus meninggalkan jauh di belakang orang yang tidak percaya, ikatan-ikatan kita dengan kejahatan, dan dunia yang dikuasai iblis.” (Interrogationes in Genesim, 154).

Jawaban Abraham mencakup juga sikap doa, relasi intim dengan Allah. Abraham, bapa seluruh umat beriman, selalu menjadi teladan dalam doa, seperti diajarkan Gereja Katolik, “ Ketika Allah memanggil Abraham, ia segera berangkat, “seperti yang difirmankan Tuhan kepadanya” (Kej 12:4).

Hatinya “sangat patuh terhadap sabda”; ia taat. Hati yang mendengarkan, yang memilih Tuhan, merupakan dasar setiap doa. Kata-kata melayani sikap mendengarkan ini.

Tetapi doa Abraham, pada tempat pertama, dinyatakan dalam perbuatan: Ia adalah pria yang suka diam; di segala tempat di mana ia singgah, ia membangun altar untuk Tuhan.

Baru kemudian in mengucapkan doanya dalam kata-kata: Doa itu merupakan suatu keluhan terselubung. Ia mengingatkan Allah akan janji-Nya, yang rasanya tidak dipenuhi (bdk. Kej 15:2-3). Kelihatan satu ciri khas doa manusia: ujian iman akan kesetiaan Allah.” (Katekismus Gereja Katolik, 2570)

Abraham sampai di bagian tengah Palestina. Dari wilayah ini, ia bergerak ke selatan sambil membangun altar bagi Allah Yang Maha Tinggi; dan kelak tempat-tempat itu menjadi tempat suci bagi keturunannya.

Allah tetap menyertai Abraham dan menerima kurban persembahannya. Ia tidak menerima kurban persembahan dari penduduk setempat yang secara umum disebut orang Kanaan, karena mereka menyembah berhala.

Sepanjang penampakan-Nya kepada bapa bangsa, Allah berjanji bahwa Ia akan memberikan tanah itu kepada keturunannya (bdk. Kej. 13:15; 15:18; 17:8; 26:4). Maka, secara mendasar janji yang tertuang dalam Kitab Suci menjadi landasan kepemilikan atas tanah itu. Pemberian tanah menjadi simbol berkat dan karunia ilahi yang akan dinikmati seluruh umat manusia.

Tentang iman Abraham pada Allah, Santo Paulus memaknai “keturunan dalam bentuk tunggal”, yakni Yesus Kristus, Anak Allah yang taat sampai mati di salib, agar “di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain. […]

Adapun kepada Abraham diucapkan segala janji itu dan kepada keturunannya. Tidak dikatakan “kepada keturunan-keturunannya” seolah-olah dimaksud banyak orang, tetapi hanya satu orang: “dan kepada keturunanmu,” yaitu Kristus.” (Gal. 3:14-16).

Janganlah menghakimi

Mengecam orang lain sangat mudah dilakukan. Mentalitas suka menghakimi orang lain merebak di mana-mana, termasuk di dalam komunitas Katolik. Jika menghendaki kasih pada Allah dan sesama tumbuh, berpikir positif belumlah cukup.

Yesus menuntut para murid-Nya memperlakukan sesama seperti yang Ia lakukan. Ia menuntut para murid-Nya bertindak sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 5:48).

Sedangkan para rabbi mengingatkan, “Orang yang menghakimi sesamanya dengan murah hati akan dihakimi pula dengan sikap serupa oleh Allah.”

Menghakimi orang lain sangat gampang. Yang amat sulit adalah menghakimi sesama secara adil.

Penghakiman pada orang lain biasanya jatuh pada ketidak wajaran. Ketidak mampuan untuk melihat dan menilik apa yang  terkandung di dalam hati menjadi penyebab.

Sangat sulit mengenali dorongan dan maksud batin. Sangat sukar melihat semua aspek kebenaran.

Selalu menggelegak naluri membenarkan dalih dan menyalahkan. Maka, jauh lebih mudah mencari-cari kesalahan orang lain dari pada kesalahan sendiri. 

Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430, menjelaskan alasan Yesus mengecam mentalitas munafik:

“Kata munafik tepat digunakan, karena menimpakan kejahatan paling sesuai dibebankan kepada orang yang jujur berhati mulia.

Ketika orang jahat melakukan itu, mereka bertindak seperti pemalsu, orang yang berpura-pura, karena menyembunyikan jati dirinya di balik topeng dan menghakimi sesama dengan topeng palsu itu.

Kata munafik, υποκριτα, hupokrita, bermakna pemalsu/orang yang berpura-pura. Oleh sebab itu kita harus menghindari kelompok orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain dan sering mengecam dengan menimpakan segala macam kejahatan. Mereka sering digerakkan oleh kebencian dan niat busuk.

“Maka, ketika dipaksa untuk mengecam atau menjelekkan orang lain, kita sebaiknya mengembangkan sikap memilih dan memilah apa yang baik, serta bertindak hati-hati. Pertama-tama, pertimbangkan apakah kesalahan orang lain pernah kita alami sendiri atau apakah kita pernah mengatasi kesalahan itu.

Kemudian, jika kita tidak pernah mengalami kesalahan itu, ingatlah bahwa kita hanyalah manusia dan dapat mengalaminya. Tetapi jika kita pernah mengalami kesalahan itu dan sekarang sudah bebas darinya, kita perlu ingat akan keringkihan kita dan bertindak dengan belas kasih, bukan kebencian, untuk membimbing sesama keluar dari kesalahan itu dan menasihati supaya berhati-hati.

Dengan cara ini, saat kita memberi nasihat untuk berhati-hati berkembang baik atau buruk bagi orang yang kita bantu. Karena kita tidak mampu melihat dampaknya, kita harus melakukannya dengan satu sudut pandang yang adil.

Tetapi jika pada saat merenung kita ternyata memiliki kesalahan yang sama dengan orang yang hendak kita kecam, lebih baik kita tidak mengecam atau menyalahkannya. Maka, mari kita ratapi kesalahan sendiri dan dan mendorong sesama mengambangkan sikap yang benar tanpa memaksanya mengikuti saran perbaikan kita.” (Sermon On The Mount 2.19.64)

Ukuran yang kamu pakai

Perintah Yesus jelas: apa yang kamu berikan pada orang lain, dan bagaimana kamu memperlakukan orang lain, akan diukurkan kepadamu dengan cara yang sama.

Tuhan mengetahui kesalahan, kelemahan, bahkan ketidak sempurnaan dan dosa yang tersembunyi di kedalaman lubuk hati dan tidak pernah dikenali.

Maka, sama seperti dokter bedah, Ia membaringkan tiap pribadi di meja kerahiman-Nya untuk menghilangkan dan mencabut seluruh akar kesalahan dan dosa yang tersembunyi di hati.

Tuhan bersabda (Mat. 7:5), “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, setelah itu engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan serpihan kayu itu dari mata saudaramu.”, Hypocrita, eice primum trabem de oculo tuo, et tunc videbis eicere festucam de oculo fratris tui.

Katekese

Menghakimi berasal dari keadilan, mengampuni berasal dari rahmat. Santo  Ephrem, Orang Siria, 306-373:

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. 2  Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi.” (Mat. 7:1-2).

Perintah ini dapat diungkapkan dengan cara lain “Ampuni, dan engkau akan diampuni.”

Karena sekali orang menghakimi berdasarkan keadilah, ia harus mengampuni berdasarkan rahmat. Agar ketika ia sendiri dihakimi menurut keadilan, ia mungkin layak diampuni melalui rahmat. Sebaliknya, hal itu tergantung juga pada sikap para hakim, yakni mereka yang mencari-cari pembalasan demi diri mereka sendiri.

Pada mereka Tuhan bersabda, “Janganlah kamu menghakimi.”

Maksud sabda-Nya adalah ‘jangan mencari-cari pembalasan demi dirimu sendiri. Atau, janganlah menghakimi, berdasarkan apa yang kelihatan dan pandangan sendiri dan, kemudian, menjatuhkan hukuman. Tetapi, ingatkan dan berilah nasihat.” (Commentary On Tatian’s Diatessaron 6.18B).

Oratio-Missio

Ya Bapa, berilah kami kerendahan hati yang menjadikan kami sadar akan kebodohan kami, mengakui kesalahan kami, mengenali kebutuhan kami, menyambut setiap nasihat, dan menerima kecaman.

Bantulah kami untuk selalu memuji dari pada mengecam, berbela rasa dari pada meruntuhkan semangat, membangun dari pada menghancurkan, dan menghendaki damai sejahtera bagi sesama dari pada mencelakai mereka.

Ini semua kami mohon demi kemuliaan nama-Mu. Amin. (Doa dari William Barclay, abad 20, terjemahan bebas).

  • Apa yang perlu aku lakukan untuk mengeluarkan balok di mataku?

Hypocrita, eice primum trabem de oculo tuo, et tunc videbis eicere festucam de oculo fratris tui – Matthaeum 7:5

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here