Lectio Divina 25.09.2022 – Jarak Antara Aku dan Kamu

0
334 views
Lazarus di depan pintu rumah si kaya, by Lawrence W. Ladd, ca. 1880

Minggu. Hari Minggu Biasa XXVI (H)

  • Am. 6:1a.4-7.
  • Mzm. 146:7.8-9a.9bc-10.
  • 1Tim. 6:11-16.
  • Luk. 16:19-31.

Lectio

19 “Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. 20 Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, 21 dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu.

Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. 22 Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham.

23 Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. 24 Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini.

25 Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. 26 Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang.

27 Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, 28 sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini.

29 Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu. 30 Jawab orang itu: Tidak, bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat.

31 Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati.”

Meditatio-Exegese

Celaka atas orang-orang yang merasa aman di Sion dan di gunung Samaria

Perilaku buruk umat selalu menyebabkan Allah murka. Ia murka, karena manusia tidak menghormati hari Sabat, menindas kaum miskin dan melakukan kecurangan. 

Bila manusia yang tanpa henti meninggalkan-Nya, menginjak-injak orang miskin,  membinasakan orang sengsara, dan melakukan kecurangan, haruslah diingat sabda-Nya (Am. 8:7), “Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka.”, Non obliviscar in perpetuum omnia opera eorum.

Dan kini, nabi yang berasal dari Tekoa, dekat Yerusalem, mengingatkan akan kemurkaan Tuhan dengan seruan keras, ”Celaka” bagi mereka yang memiliki harta benda tetapi berpuas diri dengan kekayaannya dan tidak menaruh perhatian pada kaum miskin, kecil, lemah, dan difabel. Seruan sang nabi terus bergema sepanjang jaman.

Seruan ini juga menandai dimulainya bagian akhir Kitab Nabi Amos. Nabi berseru (Am. 6:1a), “Celaka atas orang-orang yang merasa aman di Sion, atas orang-orang yang merasa tenteram di gunung Samaria.”, Vae, qui tranquilli sunt in Sion et confidunt in monte Samariae.

Seruannya menggemakan rangkaian seruan celaka ketiga (Am. 5:1.18; Am. 6:1). Nabi tidak hanya mengecam penduduk dan para penguasa di Samaria, Kerajaan Utara,  tetapi juga di Sion, Yehuda, Kerajaan Selatan (Am 6:1-7) atas kesombongan dan perilaku yang mementingkan diri sendiri.

Mereka tidak hanya korup, menindas kaum miskin, tetapi juga mengumbar kemewahan di tengah kesengsaraan mayoritas penduduk. Kelakuan mereka sama saja dengan para raja dan penguasa yang tidak mengenal Allah, walau mereka terikat pada Perjanjian Sinai.

Pemerasan tanpa batas atas sesama manusia dan alam dibuktikan nabi saat para penguasa, suami, istri, anak dan seluruh kerabat dan jejaring pertemanan mereka, tidur di tempat tidur gading yang didatangkan dari Afrika, mengkonsumsi daging dari peternakan tak ramah lingkungan, mengikuti budaya kafir, mabok anggur dan memakai wewangian mewah (Am. 6:4-6).

Para penguasa dan pemimpin mengabaikan kewajiban terhadap kaum miskin dalam Perjanjian Sinai. Mereka mengabaikan kehancuran keturunan Yusuf (Am. 6:6). Suku Efraim dan Manasye sangat besar jumlahnya, dan mereka mendiami wilayah utara, termasuk Samaria (bdk. Bil 26:28.37; Yos 14:4; 16:4).

Namun, seorang pangeran dari suku Efraim, keturunan Yusuf, justru memimpin pemberontakan melawan raja keturunan Daud. Pemberontakan ini menyebabkan perpecahan Israel Bersatu yang diwariskan oleh Daud dan dibagi menjadi dua: Kerajaan Utara dan Kerajaan Selatan atau Yehuda (1Raj. 11:26; 12:19-32).

Orang kaya yang merasa aman dan tenteram merupakan lambang kegagalan Israel untuk setia pada Yahwe. Mereka memberontak dan menolak mengikuti peringatan para nabi. Mereka telah diingatkan bahwa mereka harus menghadapi amarah Allah atas kegagalam mereka menaati Perjanjian Sinai.

Kerajaan Utara dibuang terlebih dahulu (Am. 6:7). Nubuat Nabi Amos terpenuhi pada 722 sebelum Masehi, ketika bala tentara Asyur menghancurkan Kerajaan Utara dan menyerakkan sepuluh suku utara ke seluruh penjuru tanah asing di timur (2Raj. 17:6-12).

Penghukuman ilahi selalu bertujuan untuk menyelamatkan. Ketika menanggung derita, manusia ingat bahwa mereka membutuhkan Allah. Penghukuman selalu bisa dihindari bila umat bertobat, termasuk melalukan pertobatan ekologis, memulihkan alam ciptaan yang dirusak oleh tangan manusia sendiri.

Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus

Si kaya dilukiskan mendetail. Ia selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari bersukaria dalam kemewahan (Luk. 16:19). Jubah berwarna ungu, πορφυραν, porphuran, melambangkan kekayaan, kemakmuran dan kemewahan (Kel. 28:5; Yeh. 27:7; Ams. 31:22; Kid. 3:10, 7:5, Luk. 16:19; Kis. 16:14; Why. 17:4; 18:12.16).

Zat pewarna ungu berasal dari kerang kecil di kedalaman laut. Maka, hanya orang terkaya dari yang paling kaya mampu memberi kain jenis ini, seperti saudagar, pangeran dan raja.

Injil Santo Markus (Mrk. 15:17.20) dan Yohanes (Yoh. 19:2.5)  mengisahkan para prajurit Pontius Pilatus mengenakan kain ungu pada Yesus. Mereka tidak mengangkat-Nya sebagai raja, tetapi sebagai lambang penghinaan.

Kesalahan si kaya tidak terletak pada pemilikan harta yang melimpah seperti raja.  Ia membuat kesalahan berganda ketika mengira tidak ada kehidupan setelah kematian dan pengadilan sebagai konsekuensi perbuatan.

Saat dalam kematian pun, si kaya tidak mengubah hatinya menjadi lemah lembut dan rendah hati. Di dunia orang mati, ia masih bertindak sebagai tuan yang memerintah Abraham. “Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku.” (Luk. 16:27). 

Dengan demikian sepanjang hidup, ia tidak pernah memberi ruang bagi Allah untuk membuat hatinya yang beku menjadi lembut; yang merah seperti kirmizi menjadi putih; dan yang keras membatu menjadi lunak seperti salju. Dalam benaknya, kemakmuran sekarang dianggap sebagai berkat dan kesengsaraan sebagai kutuk.

Si kaya menjadi pengemis karena ia mengganti Yahwe, misalnya, dengan dewa Molokh di Tofet, yang meminta korban bakaran manusia, terutama yang lemah – anak-anak, orang miskin (bdk. 2 Raj 23:10; Yer 7:31).

Maka, segera setelah kematian, jiwa diadili dan diganjar atau dihukum sesuai peri hidup yang dilakukan. Penyingkapan ilahi ini dengan sendirinya sudah memadai bagi manusia untuk percaya akan hidup kekal. Saat ia menghadapi penghakiman, terungkaplah apa yang tidak dilakukan semasa hidup.

Terlepas dari latar belakang sosial, finansial, kultural atau keagamaan, perumpamaan ini mengajarkan akan martabat yang melekat pada tiap pribadi manusia sejak ia diciptakan. Sikap hormat pada martabat manusia seharusnya mendorong uluran tangan pada mereka yang membutuhkan.

Para bapa Konsili Vatikan II menyerukan, “Beranjak kepada konsekuensi-konsekuensi praktis yang cukup mendesak, Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia, sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun terkecualikan, sebagai “dirinya yang lain”, terutama mengindahkan perihidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak, supaya jangan meniru orang kaya, yang sama sekali tidak mempedulikan Lazarus yang miskin itu.” (Konstitusi Pastoral Tentang Gereja Di Dunia Dewasa Ini, Gaudium er Spes, 27).

Ada seorang pengemis bernama Lazarus

Kisah ini menyajikan pemutar balikan keadaan secara dramatik antara yang beriman pada Allah dan yang mengandalkan dirinya sendiri. Santo Lukas menyajikan kontras: kaya dan miskin, surga dan neraka, bela rasa dan antipati, menerima dan menolak. 

Lazarus, Allah penolongku, terbaring di muka pintu rumah si kaya. Ia tak hanya miskin, tetapi menderita koreng bernanah. Kemalangannya seolah tak bertepi, saat ia tidak mampu menyuapi dirinya sendiri.

Derita yang ditanggung makin berat, seperti Ayub, saat ia ditolak komunitas iman yang seharusnya menopang hidupnya. Ia dianggap najis setelah anjing-anjing itu menjilati luka-lukanya. Bahkan, hewan itu mencuri remah dan potongan roti yang tak sempat masuk mulut Lazarus saat ia menahan lapar.  

Si kaya itu membiarkan Lazarus di muka pintu rumahnya sampai mati. Hatinya tidak tergerak oleh belas kasih. Hati dan jiwanya dingin, beku, bahkan mati. 

Santo Augustinus dari Hippo, 340-430, menulis, “Allah menciptakan orang kaya dan orang miskin. Maka yang kaya dan yang miskin dilahirkan dalam kesetaraan. Kalian saling berjumpa ketika berjalan bersama. Jangan menindas atau merendahkan martabat seorang pun. 

Seseorang mungkin sedang miskin dan yang lain mungkin sedang berkelimpahan harta. Tetapi Allah adalah pencipta keduanya. Melalui orang yang berpunya, Ia membantu yang membutuhkan – dan melalui yang tidak berpunya, Ia menguji yang berpunya.” (Sermon 35, 7).

Kerinduan Lazarus akan Allah mengantarnya ke pangkuan Abraham. Kematian hati membawa si kaya itu ke nereka. Di sana pun ia masih menyombongkan diri seolah punya kuasa atas Abraham dan Lazarus dan menganggap mereka pesuruhnya.

Terbentang jurang yang tak terseberangi

Percakapan si kaya dan Bapa Abraham merupakan dramatisasi untuk membantu tiap pribadi menyelami makna perumpamaan. Dengan jelas disingkapkan di alam maut tidak pernah tersedia peluang untuk mengungkapkan dan menunjukkan bela rasa pada sesama. Di alam itu yang berkuasa hanya kebencian.

Saat Bapa Abraham berbicara, “Di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi.” (Luk. 16:26), ia menunjukkan bahwa setelah kematian dan kebangkitan dari alam maut tidak ada tersedia kemungkinan untuk laku tobat.

Orang berdosa tidak mungkin lagi berbalik kepada Allah, melakukan kehendak-Nya dan masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Orang benar tidak mungkin lagi memberontak melawan Allah,  melakukan kejahatan dan masuk ke dalam neraka. Jurang yang tak terseberangi memisahkan keduanya.

Santo Yohanes Chrysostomus menulis, “Aku meminta dan memohon serta, dengan berlutut di hadapanmu, mengemis padamu: selagi kita menikmati masa hidup kita yang sangat pendek, mari kita bertobat. Mari kita mengubah hati.

Mari kita tumbuh menjadi lebih baik. Sehingga kita tidak lagi meratap tanpa guna seperti orang kaya itu. Ketika kita mati, banjir air mata pun tidak berguna sama sekali.

Bahkan jika kamu meminta ayah atau anak atau sahabat atau siapa pun untuk mempengaruhi Allah, tiada satu pun mampu membebaskan kamu. Karena kamu dihukum oleh perilakumu sendiri.” (Homily on 1Cor.”).

Katekese

Belas kasih Allah pada kita terkait dengan belas kasih kita terhadap sesama. Paus Fransiskus, 17 Desember 1936:

Di bagian kedua perumpamaan ini, kita kembali berjumpa dengan Lazarus dan orang kaya itu setelah kematian mereka (Luk. 16:22-31). Dalam kejadian itu, situasi telah berubah: Lazarus yang malang dibawa oleh para malaikat ke pangkuan Abraham di surga, sementara orang kaya dilemparkan ke dalam penyiksaan.

Maka, orang kaya itu “memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya.” Seolah-olah ia melihat Lazarus untuk pertama kalinya, tetapi kata-katanya mengingkarinya, “Bapa Abraham,” panggilnya, “kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini.”

Nah, orang kaya itu mengenal Lazarus dan meminta bantuannya, sementara dalam hidup orang kaya itu  pura-pura tak pernah kenal dengannya. Betapa sering dijumpai banyak orang pura-pura tidak pernah kenal dengan kaum miskin! Bagi mereka kaum miskin tak pernah ada.

Sebelum ia mengingkari orang miskin bahkan tak pernah memberikan sisa makanan dari mejanya, dan sekarang ia memintanya membawakan seteguh air. Ia masih percaya ia dapat menggunakan hak istimewa yang berasal dari kedudukan sosial sebelumnya.

Menyatakan bahwa permintaan itu tidak mungkin dikabulkan, secara pribadi Abraham menawarkan kunci untuk memahami seluruh kisah: ia menerangkan bahwa hal yang baik dan jahat telah dibagikan sebagai balasan atas ketidak adilah yang dilakukan di bumi, dan pintu yang memisahkah hidup si kaya dan si miskin telah diubah menjadi “jurang yang tak terseberangi”.

Sepanjang masa Lazarus di luar rumah si kaya, orang itu memiliki kesempatan untuk memperoleh keselamatan, membuka pintu rumahnya untuk membantu Lazarus, tetapi kini keduanya telah mati; situasinya tidak dapat diubah.

Allah tidak pernah menuntut kita secara langsung, tetapi perumpamaan ini dengan jelas mengingatkan: Belas kasih Allah pada kita terkait dengan belas kasih kita terhadap sesama. Ketika kita tidak menunjukkan belas kasih, juga tidak tersedia ruang di hati kita yang tertutup, Allah tidak bisa masuk.

Jika aku tidak memaksa pintu hatiku terbuka untuk kaum miskin, pintu itu tetap tertutup. Bahkan bagi Allah. Ini sangat mengerikan.

Hingga titik ini, orang kaya itu mengingat saudara-saudaranya, yang terancam mengalami nasib yang sama dengannya. Maka ia meminta agar Lazarus kembali ke dunia untuk mengingatkan mereka.

Tetapi Abraham menjawab, “Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu.”

Untuk bertobat, kita harus tidak menunggu hingga saat yang mendesak, tetapi membuka hati kita pada Sang Sabda Allah, yang memanggil kita untuk mengasihi Allah dan sesama.

Sang Sabda Allah menghangatkan hati yang beku dan menyembuhkannya dari kebutaan. Orang kaya itu tahu akan Sang Sabda Allah, tetapi ia tidak membiarkan-Nya memasuki hatinya. Ia tidak mendengarkanNya. Maka, ia tidak mampu membuka mata dan berbela rasa pada kaum miskin.

Tidak ada utusan atau pesan yang dapat menggantikan kaum miskin yang kita temui dalam perjalanan hidup kita, karena dalam diri mereka Yesus sendiri menjumpai kita, sabda-Nya “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat. 25:40).

Maka tersebunyi dalam pembalikan kisah hidup yang dilukiskan perumpamaan itu tersembunyi misteri keselamatan kita, yakni: Kristus menghubungkan kemiskinan dengan belas kasih.

Saudara dan saudari, mendengarkan pesan Injil ini, kita semua, bersama dengan kaum miskin di dunia, dapat bermadah bersama Ibu Maria, “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa.” (Luk 1:52-53).” (Audiensi Umum, Lapangan Santo Petrus, Rabu, 18 Mei 2016).  

Oratio-Missio

Tuhan, buatlah hatiku murah hati agar aku dengan suka rela membagikan apa yang kupunya kepada siapa pun yang Engkau percayakan kepadaku. Amin.  

  • Berilah si kaya nama dengan nama anda sendiri dan bacalah sekali lagi, dan apa yang harus kulakukan?

Si Moysen et Prophetas non audiunt, neque si quis ex mortuis resurrexerit, credent – Lucam 16:31

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here