Home BERITA Lectio Divina 30.5.2025 – Suka Mengganti Duka

Lectio Divina 30.5.2025 – Suka Mengganti Duka

0
142 views
Airmata diusap menjadi suka, by Josh Newland

Jumat. Minggu Paskah VI, Hari Biasa (P)

  • Kis. 18:9-18
  • Mzm. 47:2-3.4-5.6-7
  • Yoh. 16:20-23a

Lectio

20 “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira. Kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita. 21 Seorang perempuan berdukacita ketika ia melahirkan, karena saatnya telah tiba.

Namun, sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia.

22 Demikian juga kamu sekarang berdukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu. 23 Pada hari itu kamu tidak akan menanyakan apa-apa kepada-Ku.”

Meditatio-Exegese

Teruslah memberitakan firman dan jangan diam

Paulus tidak pernah berhenti mewartakan Injil, termasuk di Korintus, di Provinsi Akhaya. Pekerjaannya berhasil baik tidak hanya di antara orang-orang Korintus, salah satu pelabuhan terpenting di wilayah Yunani, tetapi juga di wilayah lain di provinsi itu.

Namun, keberhasilan tugas pengutusannya diancam oleh sementara orang Yahudi yang memanfaatkan masa pergantian gubernur Romawi untuk menggagalkan tugas Paulus dan kawan-kawan seperjalanannya.

Saat itu, sementara orang Yahudi melaporkan kasus pelanggaran Paulus pada Galio, karena ia dianggap menyebarkan agama yang dilarang oleh Kekaisaran Romawi. Galio adalah saudara laki-laki Seneca, filosof Romawi tersohor dan guru Nero, kaisar Roma.

Dari inskripsi di Delplhi, diketahui bahwa Galio menjabat gubernur Akhaya pada tahun 51-52. Ia juga dikenal sebagai orang yang tenang dan adil.

Setelah mendengarkan alasan-alasan kaum Yahudi itu, Galio berpendapat bahwa pertentangan antara mereka dengan Paulus berpusat pada beda penafsiran atas ajaran agama. Maka, sang gubernur tidak memiliki kewenangan dan minat untuk memutus perkara, sehingga perkara itu harus diputuskan sendiri.

Setelah gagal dalam tuntutan di pengadilan dan rasa kecewa membuncah di hati, orang-orang itu menganiaya Sostenes, kepala sinagoga setempat. Tidak jelas alasan penganiayaan itu, tetapi sangat mungkin ia tidak membela perkara mereka, karena ia memiliki rasa suka pada ajaran Paulus.

Dalam pembukaan Suratnya kepada umat Korintus, Paulus menyebut ‘Sostenes, saudara kita’ (1Kor. 1:1). Jika ia adalah orang yang sama dalam peristiwa penganiayaan di pengadilan Korintus, Sostenes adalah pemimpin sinagoga kedua yang menjadi Kristen di Korintus sebagai hasil pewartaan Paulus.

Akhirnya, tiba saat untuk kembali ke Antiokia, Syria, Gereja induk yang mengutus mereka. Mereka disertai Priscilla dan Aquila. Priscilla disebut lebih dahulu mungkin karena ia mempunyai peran lebih menonjol dalam gereja atau memiliki status sosial lebih tinggi. 

Sebelum berlayar dari Kengkrea, Paulus mencukur rambut kepala karena nazar yang diucapkannya. Tak jelas siapa yang mengucapkan nazar, mungkin Paulus, mungkin Aquila. Biasanya seorang nazir tidak boleh minum anggur dan mencukur rambut selama 30 hari, seperti dalam kisah Simson dan Delila (Hak. 16:4-22).

Tak jelas pula untuk intensi apa nazar itu. Biasanya orang bernazar sebagai ungkapan syukur atas pembebasan dari bahaya; sedangkan Paulus relatif bebas dari ancaman selama ia tinggal di Korintus. Kelak, ia mengulangi nazar seperti ini bersama 4 orang Yahudi lain atas terkabulnya permohonan mereka.

Paulus mungkin tidak membayangkan buah melimpah yang bisa dipetik dari karya pengutusannya. Selama 18 bulan banyak orang yang karena pengajarannya menemukan jalan kepada Kristus.

Terlebih, umat sepanjang masa dan di setiap jengkal diwarisi dua surat yang ditulisnya. Semua memuat petunjuk tentang cara mengikuti Yesus.

Kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita

Yesus menegaskan sepanjang jaman para murid akan mengalami kesulitan seperti yang dialami-Nya dalam melaksanakan tugas pepengutusan dan menjadi saksi-Nya. Kesulitan kadang nampak tak akan berakhir.

Ia bersabda (Yoh. 16:20), “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira. Kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.”, Amen, amen dico vobis quia plorabitis et flebitis vos, mundus autem gaudebit; vos contristabimini, sed tristitia vestra vertetur in gaudium

Rumus Amen, amen dico vobis, sesungguhnya, dalam tradisi biblis hanya digunakan oleh Yesus, Sang Amin. Maka, saat bersabda, Ia bersabda seperti Allah, Bapa-Nya, bukan kuasa seperti ahli taurat dan ahli kitab (bdk. Mat. 7:29; Mrk. 1:22).

Yesus melukiskan mereka akan mengalami plorabitis, tangisan; flebitis, ratapan; dan tristitia, dukacita. Tetapi seluruh pengalaman pahit itu akan diubah menjadi manis.

Tangisan, ratapan dan duka cita dialami oleh jemaat yang dibina Santo Yohanes di Asia Kecil, sekarang Turki. Mereka hidup dalam situasi pahit karena pengejaran dan penindasan yang menyebabkan kesedihan.

Para rasul telah mengajarkan bahwa Yesus akan kembali. Tetapi ‘parousia’, kedatangan-Nya kembali yang penuh kemuliaan tidak segera nampak tanda-tandanya.

Sebaliknya, pengejaran dan penindasan makin menjadi-jadi. Beberapa menjadi kurang sabar dan tidak tahan menanggung derita, sehingga muncul pertanyaan, “Sampai kapan?” (bdk. 2Tes. 2:1-5; 2Ptr. 3:8-9).

Beberapa yang lain dengan gagah berani menanggung penderitaan, ketika tahu dan sadar bahwa itulah cara dan syarat untuk meraih sukacita sejati. Maka, walau menghadapi maut, orang-orang ini menatap kematian dengan gagah berani.

Inilah alasan mengapa Yohanes menggambarkan seperti derita perempuan yang mau melahirkan anak. “Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan.” (Yoh. 16:21a).

Sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya

Dalam membina jemaat yang sedang mengalami pengejaran, penyiksaan, bahkan pembunuhan, Santo Yohanes menggunakan perumpamaan seorang perempuan yang berjuang mengatasi kesakitan ketika melahirkan.

“Namun, sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia.” (Yoh. 16:21). Tiap ibu yang pernah melahirkan pasti mengerti pengalaman ini.

Derita memang menyakitkan, sering tak tertanggungkan. Tetapi mereka menanggungnya, karena menyadari bahwa derita mereka menjadi sumber hidup baru.

Maka, penderitaan karena dikejar-kejar, dipenjara, diadili, disiksa, bahkan, dibunuh karena Yesus Kristus, harus dihayati dalam terang sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. 

Tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu

Ketika hari kemenangan datang, saat bersua dengan Yesus Kristus dalam kemuliaan-Nya, tiap pribadi tidak akan bertanya lagi. Saat itulah sukacita mencapai kepenuhannya.

Kepastian ini memberi harapan baru dan sukacita pada jemaat yang letih mengalami penyiksaan, derita dan, bahkan, kematian karena iman. Derita karena iman, seperti kata seorang pujangga, “Menyakitkan, tetapi aku terus bernyanyi.”

Sedangkan Santo Yohanes dari Salib berkata, “Di malam yang gulita; membara dan merayau kar’na cinta; – betapa beruntung; Aku tak kelihatan; Ke luar, dan rumahku sudah tenang.”

Ungkapan ini menyingkapkan pada saat kedatangan Kerajaan Allah semua menjadi terang. Dalam cahaya Allah kita tidak perlu bertanya-tanya lagi. Sudah cukuplah untuk bersatu dengan Sang Terang. 

Katekese

Alleluia menjadi seluruh sukacitamu. Santo Augustinus, Uskup dari Hippo, 354-430:

“Saya yakin saya tak akan lelah mengingatkan kalian jika saya menyebutkan apa yang telah kalian kenal. Setiap hari kita berseru ‘Alleluia’ dan kita mengulanginya dengan sukacita. Karena kalian tahu bahwa ‘Alleluia’ bermakna “Pujilah Allah”.

Melalui ungkapan ini, dalam kesatuan lisan dan budi, kita saling berseru untuk memuji Allah. Sebaliknya, siapa pun yang tak pernah menyenangkan hati Allah tak akan pernah memuji-Nya dengan tulus.

Terlebih, dalam masa peziarahan, kita berseru ‘Alleluia’ untuk saling menghibur dalam perjalanan. ‘Alleluia’ selalu menjadi madah bagi peziarah, seperti kita.

Tetapi, setelah kita berjerih lelah melalui negeri yang damai di mana seluruh kegiatan kita kesampingkan dan tiada apapun yang dikerjakan, kita hanya menyisakan hanya  satu ungkapan: ‘Alleluia’.

Marilah kita bermadah sekarang, bukan untuk bersenang-senang karena damai, tetapi penghiburan atas kerja keras kita. Madah bagi peziarah biasa dilakukan selama perjalanan. Nikmati pekerjaan kalian dengan bernyanyi. Jangan menyukai menganggur. Teruslah bermadah, teruslah bergerak maju … .

Jika kalian maju, majulah dalam kesejahteraan; majulah dalam iman yang kokoh; majulah dalam perbuatan baik. Teruslah bermadah dan teruslah maju.

Sementara kita di sini, teruslah bermadah ‘Alleluia’ walaupun kita direpotkan oleh pelbagai perkara, sehingga di masa depan kelak, kita diijinkan bermadah di sana, di sorga, dalam keheningan. Setelah kerja keras di dunia ini, pasti ada madah yang diulang tanpa henti : ‘Alleluia’…

Tiga kali ‘Alleluia’ akan menjadi makanan kita. ‘Alleluia’ akan menjadi minuman kita. ‘Alleluia’ akan menjadi tindakan damai kita. ‘Alleluia’akan menjadi  sukacita kita yang penuh.” (Sermon 255 (1); Sermon 256 (1 and 3); Sermon 252 (9))  

Oratio-Missio

Tuhan, penuhilah kami dengan Roh Kudus-Mu agar kami memancarkan sukacita kebangkitan dan menghayati kebenaran bahwa kasih-Mu mengalahkan dosa dan maut. Amin.

  • Tantangan: Jadilah saksi Kristus hingga akhir zaman. 

Amen, amen dico vobis quia plorabitis et flebitis vos, mundus autem gaudebit; vos contristabimini, sed tristitia vestra vertetur in gaudium – Ioannem 16:20

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here