Lentera Keluarga – Diutus Menjadi Rasul

0
356 views

Tahun A-2. Minggu Paska IV

Kamis, 7 Mei 2020. 

Bacaan: Kis 13:13-25; Mzm 89:2-3.21.22.25.27; Yoh 13:16-20.

Renungan: 

DALAM perjamuan terkahir bersama murid-muridNya, Tuhan Yesus menyinggung mengenai menjadi utusan (apostolos).  Ada dua hal yang terungkap di sana. 

Pertama yaitu kewenangan-kewibawaan seorang utusan yang tidak lebih besar daripada yang mengutusnya: “seorang utusan (tidak lebih tinggi) daripada yang mengutusnya.”

Kedua, adalah ikatan dengan yang mengutusnya : “Barang siapa menerima orang yang Kuutus, ia menerima Aku, dan barangsiapa menerima Aku, ia menerima Dia yang mengutus Aku”.  Seorang utusan itu tidak hanya mendapat tugas tetapi juga martabat; dapat kita gambarkan bagaimana seorang duta besar berkuasa penuh yang mewakili presiden di sebuah negara tertentu. Atau dalam bahasa harian dikatakan Tuhan itu mengutus dan juga membekali. 

Kisah Para Rasul mengisahkan pewartaan para rasul, penginjil yang tidak melaksanakan tanggungjawab dan diutus gereja untuk merasul atas nama gereja. Mereka berjalan bersama dalam satu kesatuan dengan gereja di Yerusalem walaupun ada perbedaaan pandangan dan kehidupan mengenai anggota gereja yang bersunat dan tidak bersunat, yahudi atau non yahudi; perbedaan pandangan antara Petrus, Barnabas dan Paulus dalam tugas mereka. Ikatan dan komunikasi yang terus menerus dengan Komunitas Gereja awal itulah yang menyatukan gereja dan membuat pewartaan gereja itu menjadi berkembang dengan tetap bertumbuh dari akar yang sama.  Para rasul menjamin kebenaran pewartaan dan bertindak berdasarkan pada otoritas para soko guru.  Dan begitu ada pewarta-pewarta yang mengambil insiatif sebagai pewarta, mereka segera mengakomodasinya dan menyatukannya dalam karya gereja perdana.  Dapat digarisbawahi bahwa tidak ada rasul yang otonom: mengutus dirinya sendiri dan lintas batas. 

Kita sebagai imam, religius ataupun awam yang diutus untuk tugas perutusan tertentu demi kepentingan gerejapun dipanggil untuk hidup dalam semangat rasuli.  Panggilan untuk merasul itu muncul karena dorongan Roh Kudus dan kecintaan kepada gereja. Melalui pemimpin, para imam, religius atau awam diutus untuk sebuah tanggungjawab tertentu. Kesadaran mengenai “saya adalah utusan” ini penting untuk menjauhkan diri dari semangat “otonom” menjadii “raja kecil” yang lepas dari yang mengutus, dan semangat “melayani karena saya masih bisa dan ingin”.  Palaksanaan tanggungjawab itupun bukan sekedar pelimpahan dan pelaksanaan tugas, tetapi sebuah komunikasi hidup yang terus menerus dibangun antara yang diutus dan mengutus.  Kepentingan hidup dan pewartaan iman Gereja yang ditangkap oleh para gembala itulah yang harus menjadi prioritas, lebih daripada keinginan dan minat pribadi utusan. 

Kontemplasi:

Gambarkanlah bagaimana Roh Kudus menggerakkan gereja untuk bersama-sama membangun perutusan iman dalam akar yang sama. 

Refleksi:

Bagaimana aku menghayati dan menjalankan perutusan? 

Doa:

Ya Bapa, semoga kami senantiasa siap sedia untuk mendapatkan tugas perutusan apapun demi kebaikan dan kepentingan gereja dan keselamatan banyak orang. 

Perutusan:

Mengambil bagian dalam perutusan gereja dalam kesatuan dan komunikasi yang hidup dengan para gembala. 

(Morist MSF)

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here