Lentera Keluarga – Jangan Panggil Aku Naomi

0
686 views

Tahun C-1. Pekan Biasa XX. 
Jumat, 23 Agustus 2019
Bacaan: Rut 1:1.3-6.14b-16.22; Mzm 146:5-6.7.8-9a; 9bc-10; Mat 22:34-40.

Renungan: 

ADA tiga hal yang membuat Naomi (Ibr: penuh sukacita)  menyebur dirinya sebagai Mara (ibr. pahit). Pertama, ia kehilangan suami dan anak laki-laki yang menjadi tulang punggung hidup dan penerus keturunan; Kedua, ia ada bersama dengan menantunya : Orpa dan Rut (orang Moab/asing); perkawinan dengan orang asing itu adalah masalah tersendiri bagi keluarga mereka. Dan yang ketiga, ia tinggal di daerah Moab, tempat orang-orang asing berada. Maka tidak mengherankan Naomi mengungkapkan ketika ia dan Ruth sampai di Betlehem:” Mengapakah kamu menyebut aku Naomi, karena Tuhan telah naik saksi menentang aku dan Yang Mahakuasa telah mendatangkan malapetaka kepadaku”.  Kedatangan mereka menjadi kegemparan, dan tentunya menimbulkan rasa tidak nyaman. Namun tidak ada tempat yang paling menjajikan selain pergi ke asal usul mereka, ke penghayatan hidup keagamaan mereka. 

Pengalaman Naomi  menjadi Mara adalah pengalaman kehilangan dan kedukaan yang dialami oleh banyak wanita ketika kehilangan pasangan hidup dan kehilangan anak-anak mereka. Dan kadang mereka tidak mempunyai menantu yang memandang mereka sebagai “ibu”. Beberapa ibu yang tidak punya sumber ekonomi, “terpaksa” ikut menantu mereka yang kadang cocok atau tidak cocok dengan mereka. Kehadiran mereka kadang mereka rasakan sebagai beban; keterbatasan mereka kadang membuat mereka merasa bersalah, maksud baik mereka kadang tidak mereka terima. Mereka tidak lagi menjadi Naomi (penuh sukacita); mereka menjadi Mara (pahit). 

Pengalaman Rut menjadi teladan bagi kita, untuk tidak meninggalkan mereka baik secara fisik maupun emosi. Kita temani mereka, berbicara dengan mereka, menerima kerapuhan mereka sebagai berkat/bukan beban, dan memberikan perhatian bahwa mereka masih dicintai. 

Kontemplasi:

Masukkan ke dalam hati, pikiran dan perasaan Naomi; terutama ketika ia mendengar Rut yang mau mendampinginya. 

Refleksi:

Bagaimana sikapku terhadap orang tuaku /mertuaku yang sendiri? Apakah aku menjadikan mereka bagian dari hidupku, memberikan waktu, perhatian dan cinta? 

Doa:

 Ya Bapa, semoga hati kami dipenuhi dengan kasih dan cinta untuk menemani orang tua/mertua kami di hari usianya. Biarlah mereka terus menjadi “Naomi”  dan kami menjadi “Rut”. 

Perutusan:

Cintailah orang tua/mertua anda yang sendiri. Berikanlah hati, waktu, dan terimalah keterbatasan mereka sebagai kesempatan bagi anda untuk merasakan bagaimana Allah telah mengasihi anda di dalam keterbatasan anda. 

(Morist MSF   – www.misafajava.org)

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here