Makhluk Rohani Itu Bernama Manusia (1)

1
2,115 views

Situasi perpecahan yang terasa di masa pemilihan kepala daerah utamanya sekitar Pilgub DKI Jakarta yang mengentaskan munculnya politik identitas dan menonjolkan perbedaan kelompok dengan segala sentimennya membuat kita makin sedih. Namun, kesempatan ini juga sekaligus bisa menjadi sarana untuk berefleksi betapa pemahaman mengenai “diri” sebagai manusia begitu sempit.

Manusia dikotak-kotak dan dipecah-pecah ditambahi sentimen yang memicu kepedihan, kemarahan, kemurkaan satu sama lain. Kerekatan yang sebenarnya sudah terjalin sejak Zaman Majapahit mengendur semakin terasa di masa ini. Generasi muda kehilangan jati dirinya sebagai Bangsa Indonesia yang agung sekaligus sebagai manusia yang mulia.

Pada titik inilah sangat penting bagi kita untuk merajut kembali kesatuan Bangsa Indonesia lewat refleksi mendalam di tataran kejiwaan kita yang paling dalam. Perlu dilihat lagi bagaimana kita sebagai bangsa sekaligus sebagai manusia. Kalau tidak, perpecahan akan makin menjadi dan kita sudah terlambat untuk mengantisipasinya.

Makhluk spiritual

Satu hal yang tidak disadari bahkan diketahui apalagi direfleksikan oleh manusia Indonesia, juga oleh kita semua adalah bahwa manusia adalah makhluk spiritual dalam wadah jasmani. Pada dasarnya, manusia adalah roh, jiwa, spirit. Dan karena itu, dalam tataran ini sebenarnya sebagai jiwa kita mengenal manusia lain juga sebagai jiwa juga yang diciptakan Sang Pencipta dengan citra yang baik.

Pada dasarnya, Tuhan tidak pernah membeda-bedakan cintaNya pada manusia. Dia tidak pernah mencintai manusia karena kaya, miskin, laki atau perempuan, homo atau lesbi, dari Suku Jawa, Suku Sunda atau suku-suku tertentu, atau ras mana. Tuhan mencintai jiwa manusia, inti manusia sebagai makhluk yang harus didekap, direngkuh tanpa pandang bulu sebagai roh.

Bahkan pada diri manusia yang bejat sekalipun, Tuhan tidak pernah memalingkan mukaNya yang suci. Hanya manusia yang merasa kecil dan tak layak menghadapi keagunganNya sajalah, yang dengan pikiran piciknya meninggalkan Tuhan karena merasa tak layak. Padahal, Tuhan tidak pernah merasa sedikit pun sakit hati dengan manusia yang telah berkali-kali mengingkari, menolak bahkan menghujatNya sekalipun. Buktinya, bumi tidak langsung dihajar dan dihanguskan. Manusia masih hidup dalam kubangan keserakahan dan kejahatan dan Tuhan tiada hentinya mengingatkan bahkan mencoba membujuk manusia untuk terus-menerus kembali padaNya.

Dalam konteks karya keselamatan yang hadir dalam diri Yesus Kristus. Allah yang Maha Kasih rela meninggalkan kemuliaanNya untuk menyelamatkan manusia yang penuh dengan kubangan maksiat dan dosa. “Buluh yang terkulai tak dipatahkanNya, lampu yang berkedip-kedip tak dipadamkanNya.”

Maka dalam tataran roh ini manusia mestinya juga melihat manusia lain demikian adanya. Dalam tataran roh ini pula, manusia yang (seharusnya) mengenal jiwa/roh manusia lain tidak akan bersikap membedakan. Identitas menghilang dengan sendirinya. Yang ada adalah identitas sebagai sesama makhluk ber-roh yang dicintai Tuhan.

Gerakan membungkuk dengan tangan sedekap di dada dan menyebut kata “Namaste” seperti orang-orang Hindu melakukannya perlu disadari betul sebagai suatu sikap mistik yang harusnya juga menjadi sikap hidup manusia pada umumnya. Namaste, yang berarti aku membungkuk dan menyembah Tuhan yang ada dalam dirimu atau dalam Bahasa Inggrisnya “I bow the God within you.” Namaste juga berarti “Rohku yang ada dalam diriku menghormati Roh yang ada dalam dirimu” atau dalam Inggrisnya, “The Spirit within me salutes the Spirit in you.”

Keyakinan Hindu ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan Kristianitas, bahkan semangat Ignatian yang dihayati para Jesuit. Setiap orang entah dia orang baik atau jahat memiliki Tuhan di dalam dirinya. Itulah yang diyakini dalam penghayatan ini.

1 COMMENT

  1. ya saya seorang muslim bung Gabriel, & saya setuju dengan tulisan Anda
    Tapi faktanya sdr2 saya tingkat kesadaran dirinya sebagai manusia berbeda-beda, demikian juga kesadaran sdr2 mas Gabriel

    Tulisan mas Gabriel ini enak dibaca dan sepertinya mudah & sederhana untuk diaplikasikan dlm kehidupan bermasyarakat & berbangsa. Tapi akan menjadi berbeda jika kondisinya berubah seperti situasi pilkada dki kemarin. Karena tingkat kesadaran diri yg rata2 kurang itulah menjadikan situasi kompetisi yang tidak fair dan bahkan saling menjegal.

    salam/namaste

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here