Artikel Politik: Makna Kata

0
792 views
Ilustrasi: Puisi Berjejak

KATA

Di rumah kata

penulis merajut prosa

penyair merangkai puisi

tak ada yang mengetuk pintu

buat masuk

bahkan ada usulan

diproses saja dalam internet

lebih komunikatif WA saja

Mengapa tak mau masuk nak?

bukankah kau butuh

proses baca,

kau butuh menulis

dengan hati

dengan budi

tak hanya jari di gawai kalian.

INILAH penggalan cakap-cakap wacana di tiga dunia budaya lisan, budaya tulis, dan digital internet.

Budaya lisan langsung berhadap-hadapan penutur dan lawan bicara, maka kelugasan bicara yang tidak berbelit membuahkan makna (baca: isi atau maksud artinya).

Sementara di tulisan, ada jarak waktu penulisan oleh penulis dan waktu tulisan dibaca oleh pembaca. Ditambah lagi membentang jarak antara maksud penulis dan tangkapan pembaca atau pemahamannya.

Maka risiko makna tulisan bisa dibaca keliru, karena maksud tulisan dan proses menulisnya mungkin tak masuk dalam cakrawala pemahaman pembaca.

Namun juga karena salah tafsir terjadi lantaran dalam tulisan termuat (baca: termaktub) yang implisit dan yang eksplisit sehingga mengakibatkan makna tulisan disalah arti, bahkan dikeliru-tafsirkan oleh pembacanya.

Di ranah digital atau internet, baik subjek penulis maupun pembaca yang ‘dialamati’ kata-kata sama-sama berada di jagad virtual, di mana makna mesti melalui proses uji saling mempercayai kebenaran makna kata dari pengiriman dan dipercayai si penerima dalam daring itu sendiri.

***

Kerumitan mendasar dalam saling menangkap makna berada dalam wilayah komunikasi. Yang lebih mendasar lagi persepsi sadar dalam komunikasi genuine itu ialah diperlakukannya saling menghormati.

Yakni, bahwa manusia yang sedang berkomunikasi atau berkata-kata atau mengirim kata-kata di dunia virtual adalah the signifying subject or actor: subjek pemberi makna pada laku hidup dan laku tindakannya.

Di sinilah kata kunci makna dari kata dimaksud sebagai yang dihayati dalam kesepakatan berkomunikasi sebagai yang berarti, yang bernilai dan yang berharga dalam hidup bersama di masyarakatnya.

Lanjut konsekuensi nalarnya ialah keserupaan fokus arti hidup dengan nilai. Maka orang menegaskan makna kata ada mana bobot nilainya, justru saat seseorang mengatakan sesuatu ke sesamanya, ukuran makna katanya adalah benarnya antara yang diucapkan dengan laku tindakannya atau kesesuaian antara yang dikatakan dengan kenyataan.

***

Bahasa sehari-harinya, makna kata ada pada ‘kebenarannya’ yaitu kesesuaian antara kata-kata dan tindakan. Satunya kata dengan perbuatan. Perlambangan untuk ini juga jelas yaitu bulat kata, utuh kata saat menunjuk iya adalah iya.

Iya di mulut yang berkata dengan iya di laku tindakan.

Ajaran kebijaksanaan hidup yang sudah diuji dalam tempaan pembakaran api untuk emas ialah semakin dibakar, emas itu semakin menyala murni kadarnya. Ini terwariskan dalam peribahasa-peribahasa Nusantara kita.

Peribahasa Bangka Belitung menulis: ‘Jangan hanye uma bepager, cakap pun nek bepager’. Artinya, “Jangan hanya di rumah yang berpagar, bicara atau berkata-kata pun harus berpagar kalau lurus akan lurus hidup terus, kalau bengkok akan mati.”

Pepatah Jawa mengajar ‘Bener ketenger, becik ke titik, ala ketara’. Maksudnya (maknanya) yang berlaku benar dan baik akan terungkap terang atau terbukti.

Ketika berbahasa semakin dibakukan, maka makna kata dikamuskan dalam kamus bahasa Indonesia kita. Sehingga makna diformalkan resmi arti benarnya dalam kamus baku bahasa Indonesia.

Lebih lanjut, proses pembakuan yang diambil bentuk menata secara logis hingga rapi tergolongkan dibuatlah sistem sebagai prosesnya. System is an ordering something in an order.

***

Detik inilah kita mengenal sistem makna (baca: sistem nilai) yang diacu oleh pelaku-pelakunya dalam masyarakat untuk menjadi pegangan hidupnya yang diungkapkan dalam sistem simbolik.

Geertz mencontohkan simbol wayang para Pandawa yang lima itu sekaligus sebagai model laku hidup tetapi juga acuan tindakan untuk integrasi sifat-sifat baik dalam diri seseorang jadi watak karakternya yang sekaligus pemberani seperti Bima, sabar seperti Yudhistira, satria pembela kebenaran sekaligus pertapa seperti Arjuna dan sepasang harmoni antara hasrat dan tekad setia seperti Nakula dan Sadewa.

Sistem makna, acuan laku hidup dan diungkap dengan istem simbolik itulah kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah rahim makna hidup mulai dari kata-kata, pepatah, sampai life wisdom yang dirangkum dalam sistem.

***

Inilah teori sistematisasi logis makna dan laku hidup yang dari penghayatan, lalu diabstraksikan dengan rasionalitas akal budi dan digolong-golongkan secara kategorial.

Setelah meluncur sampai kebudayaan sebagai sistem makna, orang-orang kebanyakan dan mereka yang di lapangan dengan keringat dan berdarah-darah sehari-hari sebagai tukang becak, pedagang kaki lima dan para penjaja di pasaran, di manakah posisi mereka manakala kebudayaan baru saja dirumuskan elitis sebagai sistem dalam teori?

Pembela mereka yaitu para penggiat studi makna hidup di lapangan dan dalam kekumuhan sampah serta debu menyapu meng-counter teori elitis dengan metodologi dari bawah, dari dalam rahim hidup sehari-hari secara deskripsif membeberkan laku hidup orang-orang ‘kecil’ ini dengan induksi dan fenomenologis, lalu menegaskan lantang bahwa tindak laku hidup serta kegiatan sehari-hari yang diberi nilai atau makna itulah kebudayaan.

Maka dalam pemaknaan sehari-hari yang diberi arti dalam konteks kehidupan itu sebenarnya yang paling bisa menjadi wakil makna kata adalah puisi.

***

Mengapa?

Kata dalam puisi diberi makna dengan pemadatan sampai ke dasar kesahajaan makna intinya. Namun tidak melalui proses diskursif akal budi, tetapi diheningi dalam batin perenungan bisik nilainya untuk daya hidup.

Untuk ungkap tulus dan jujur syukur atas anugerah kehidupan atau gugatan nurani saat harkat kemanusiaan dan semesta dikoyak oleh nafsu serakah kekuasaan manusia. Dan bukan oleh rawatan pemeliharaan semesta demi keberlangsungan hidup bersama.

Maka, ketika merayakan hari puisi baik sedunia maupun di Indonesia, teman penyair mengirimkan puisi kepada saya yang ternyata pernah saya tulis berjudul KATA.

Rekan itu seperti mengingatkan makna dalam KATA d imana para pujangga mengolah dan memaknainya.

Rekan itu seperti mengingatkan umur puisi ini sudah dua windu alias 16 tahun yang lalu yaitu tahun 2004.

Kata

Aku belajar, menenunmu sabar,

jadi helai-helai papar dalam prosa,

mengidungimu dalam

renung relung sunyi jadi puisi.

Kembali ke awal tulisan ini, Anda pembaca silahkan membandingkan puisi 2004 ini dengan puisi awal mencatat, betapa kata itu bermakna saat diberi nyawa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here