
SUASANA khidmat dan penuh kekhusyukan menyelimuti pelataran Gua Maria Talanging Sih, Tegalsari, Paroki Keluarga Kudus Atmodirono, Kamis malam (26/6).
Dalam semarak peringatan Malam 1 Sura, hampir 400 umat tumpah ruah mengikuti Perayaan Ekaristi yang dibalut dalam nuansa budaya Jawa dan iman Katolik.
Gema gamelan yang ditabuh OMK Atmodirono mengiringi prosesi petugas liturgi dan imam menuju altar yang terletak di sisi kiri gua. Di tengah alunan lagu pembuka, umat berdiri menyambut prosesi dengan sikap hormat. Malam itu, suasana menjadi begitu sakral, menyatukan iman dan budaya di bawah langit malam yang bersahabat.

Romo Yusup “Nano” Sunarno MSF, Pastor Kepala Paroki Atmodirono, memimpin perayaan Ekaristi.
Dalam homili, Romo Nano mengulas makna Satu Suro dari perspektif sejarah Jawa. Ia menjelaskan bagaimana Sultan Agung merancang penanggalan Jawa dengan menggabungkan unsur Tahun Saka (Hindu) dan Hijriah (Islam) sebagai bentuk upaya mempersatukan masyarakat dari berbagai latar belakang.
“Penanggalan Jawa adalah simbol persatuan. Sultan Agung ingin menyatukan masyarakat yang beragam – baik dalam suku maupun agama,” terang Romo Nano dalam Bahasa Jawa yang kental.

Tradisi, Syukur, dan Kebersamaan
Kehadiran umat malam itu jauh melampaui ekspektasi panitia. Ketua Pengurus Kapel Kristus Raja dan Gua Maria Talanging Sih, Gregorius Asiadhi Bramantyo, menyebut jumlah umat “mbludak”, melebihi kapasitas area pelataran gua dan kapel.
“Kami siapkan 350 porsi bubur sura; ternyata habis sekejap. Kami benar-benar terkejut dengan antusiasme umat,” ungkap Bramantyo.
Usai misa, umat diajak menikmati pesta syukur dengan sajian khas Jawa seperti bubur sura, kacang dan pisang godog, pohong, kimpul, kentang ireng, ditemani teh panas dan wedang jahe. Semua dinikmati bersama dengan iringan musik gamelan oleh OMK yang terus mengalun hingga acara usai.
Acara Malam 1 Sura di Gua Maria Talanging Sih memang telah menjadi tradisi tahunan. Namun tahun ini terasa lebih istimewa karena bertepatan dengan malam Jumat Kliwon, yang dalam budaya Jawa dipercaya sebagai malam yang penuh makna spiritual. Maka di akhir Ekaristi, diadakan benda-benda rohani oleh Romo Nano, seperti salib, rosario, patung santo-santa.


Menjaga tradisi, menghidupi iman
Perayaan ini menjadi momen penting untuk memaknai iman melalui budaya, sekaligus mempererat kebersamaan umat lintas usia dan lintas paroki. Di tengah derasnya arus modernitas, peristiwa seperti ini menjadi pengingat bahwa iman dan tradisi lokal dapat bersinergi tanpa saling meniadakan.
Di malam bertabur bintang dan iringan gamelan itu, umat pulang membawa sukacita dan harapan baru, menyongsong Tahun Jawa yang baru dengan semangat persatuan dan iman yang semakin dalam.