Home BERITA Mari Kita Belajar dari Kota Pati

Mari Kita Belajar dari Kota Pati

0
8 views
Ilustrasi - Alun-alun Kota Pati

INI bukan artikel politik, melainkan bincang-bincang dengan topik kepemimpinan. Tepatnya “Kepemimpinan bernuansa Jawa”.

Saya berasal dari Semarang; tak jauh dari Pati. Tapi, baru sekali saya berkunjung ke sana. Itu pun saat masih remaja.

Kota Kudus jauh lebih “gemebyar“. Salah satu sahabat saya menjadi pemilik dan CEO dari Pabrik Rokok Nojorono. Beberapa waktu lalu, saya diundang untuk bicara di seminar sehari mengenai “Kepemimpinan” di sana.

Kalau Pati hari-hari ini tiba-tiba meledak dan viral, cukup membuat saya dan masyarakat Indonesia terkejut. Bukan karena “Nasi Gandul” khas Pati yang membuatnya heboh.

Sebab-musababnya adalah kenaikan Pajak Bumi Bangunan yang melonjak drastis; sebesar 250%.

Kenaikan harga atau tarif yang biasa terdengar kebanyakan 5%, maksimum 10%. Tapi kalau melesat hingga 2.5 kali lipat, wajar kalau membuat masyarakat “kliyengan“. Wajar juga kalau warga Pati, yang biasa “adem-ayem“, tiba-tiba tersinggung berat dan berteriak keras.

Sampai di sini, saya anggap masih oke. Seharusnya, menjadi dialektika konstruktif antara Pak Bupati dengan rakyatnya.

Sangat disayangkan, reaksi Pak Bupati dalam menanggapi diskursus ini, kurang pas.

Nampaknya, dia belum biasa menerima keluhan, masukan atau protes dari rakyatnya. Reaksinya mengejutkan.

Bukan mengajak mereka “ngobrol”, baik-baik, bak seorang ayah dengan anak-anaknya, beliau justru menantang para pemrotes untuk datang “mengeroyoknya”.

“Silakan datang. Jangankan 5.000, 50.000 pun akan saya hadapi,” begitu kira-kira Pak Bupati meresponnya.

Ini jelas bukan pemimpin yang bijaksana. Bukan sikap yang “andhap asor” bahkan bernada jumawa.

Jauh dari melayani, tapi menerapkan prinsip “adigang, adigung, adiguna”.

Menjadi pemimpin di masyarakat berbudaya feodal seperti Indonesia memang sulit.

Apakah itu pemimpin pemerintahan, militer, pelayanan, perusahaan, organisasi, agama, atau bahkan informal.

Masyarakat, negara dan sistem di sekelilingnya malah membesarkan pemimpin-pemimpinnya untuk “dumeh” (mentang-mentang). Banyak yang tak kuasa mendapatkan “nikmat” yang ujug-ujug,mak-bruk“, seperti “ndaru” yang jatuh dari langit. Ini membuat orang (sangat) mudah lupa diri.

Begitu hari ini diangkat menjadi pemimpin, besok, sejumlah “kemewahan” sudah siap di depan mata.

Gaji yang aduhai, bonus atau tantiem yang menggiurkan dan fasilitas yang memabokkan. Mobil dinas sudah tersedia di depan pintu lengkap dengan sopir dan nomer plat khusus. Ke mana-mana dikawal “nguing-nguing” yang memekakkan telinga, lengkap dengan lampu strobo yang menyilaukan mata. Lalu-lintas macet dipaksa menyibak, memberi kesempatan “pemimpin” lewat.

Dalam posisi seperti itu, (sangat) sulit membuat sang pemimpin menjadi sensitif. Rasa “tanggap ing sasmita” luntur bak baju wenteran dicuci detergen.

Relasi “leader-follower” bukan dibangun secara egaliter dan “maju bersama” tapi berubah menjadi “atasan-bawahan”, “ndoro-kacung“, atau “saya di atas”, dan “kamu di bawah” (dan kemudian kamu saya injak). Jangan tanya di mana konsep meritokrasi yang seharusnya menjadi pegangan utama dalam memilih pemimpin.

Kasus meninggalnya Prada Lucky di NTT yang dianiaya oleh 20 “teman sejawat” dengan pangkat yang lebih tinggi, adalah salah satu contoh yang paling anyar dan sangat relevan.

Hampir di semua ranah, kepemimpinan feodalistik menjadi ciri masyarakat Indonesia.

Praktik-praktik “correctio fraterna” (dialog yang bersahabat untuk mengkoreksi teman sejawat) jauh diawang-awang. Apa boleh buat, ia harus dan terus didengungkan, dan dibiasakan, agar tercipta budaya yang positif dan konstruktif.

Atasan bukan penguasa. Bawahan bukan pula “musuh” yang harus “dimatikan” berhadap-hadapan secara diametral. Mereka mitra setara untuk bersama-sama membangun komunitas atau masyarakat sinergis dengan prinsip “maju bersama.”

“Leadership is a two-way street, loyalty up and loyalty down.” (Grace Murray Hopper 1906-1992, komputer dan, matematikawan asal Amerika.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here