MARIA, panggil saja demikian, perempuan yang terlahir di sebuah sudut kecil di Gunung Kidul sana. Daerah yang dulu miskin kerontang, namun kini bak Firdaus yang jatuh ke bumi. Sebagaimana sebayanya, lahir ditolong dukun beranak. Dibesarkan dengan air tajin (air hasil menanak nasi-red) dan bulgur. Ia baru mengenal listrik dan lampu ketika SMP, dan menikmati televisi hitam putih di rumah bahkan ketika ia sudah meninggalkan kampung untuk bersekolah. Sekolah, hal yang agaknya cukup berat baginya, dengan bekal otak pas-pasan. Ia kerap meriang ketika ulangan atau ujian, dan sekolah menjadi momok besar dalam hidupnya. Mungkin saja ia adalah contoh dari apa yang dikritik Ivan Illich: pendidikan yes, sekolah no!
Maria, begitulah namanya. Ia kakak perempuan saya satu-satunya. Tak ada yang istimewa sebenarnya, kecuali waktu remaja ia jago bermain bulutangkis, kerap juara hingga tingkat kecamatan dan kabupaten. Sayang, tipe permainannya yang mirip Susi Susanti itu tak terasah. Tak ada mata awas pemandu bakat yang ke bawah. Selepas SMP dengan nilai pas-pasan, untuk masuk ke SMA negeri paling tidak diunggulkan saja ia gagal, hingga akhirnya harus melanjutkan ke SMPS Tarakanita di Jogja, sebuah sekolah dengan spesialisasi pekerja sosial. Itu diambil lantaran kampung kami menjadi langganan tempat praktik siswa SMPS, selain berharap dapat langsung cari kerja.
Reaksi spontan saya waktu itu terkejut dan salut. Bagaimana mungkin seorang yang berbekal kemampuan pas-pasan berani meninggalkan kampung untuk sekolah di kota Jogja, 50 km dari rumah kami. Harus indekos, tanpa sanak saudara. Sangat mungkin itu bentuk pertanggungjawabannya karena tak ada pilihan, setidaknya tak ingin membuat orang tua larut dalam sedih.
Selepas SMA ia tegas menyatakan tak ingin kuliah karena, sekali lagi, merasa tak sanggup berpikir ala sekolahan. Ia ingin bekerja saja, apa pun itu. Hingga akhirnya ia melamar di sebuah SLB di Kota Wonosobo, yang dikelola sebuah yayasan milik para suster. Sesekali saya mengunjunginya, dan ia tak pernah lupa memberi sangu uang-uang baru. Hidup indekos serba sederhana, ia hampir sepanjang hari hidup merawat dan mengasuh anak-anak perempuan bisu tuli, sebagian anak orang kaya. Dulu saya pernah berkenalan dengan beberapa siswi.
Bagi saya ini sebuah pencapaian yang hebat. Ketika teman-teman pekerja berguguran, hanya kakak saya yang tersisa, hingga dua puluh tahun kemudian. Bahkan ketika ia sudah berkeluarga, mempunyai seorang anak, kerap ditinggal menginap di asrama demi menjaga anak-anak itu. Dengan penghasilan yang tak seberapa, toh pekerjaan ini jadi ruang pengabdian yang luar biasa. Ada kesetiaan, ada sebentuk panggilan, ada ketakmasukakalan yang faktual. Ada secuil kasunyatan yang menginterupsi manusia-manusia modern yang berpacu mengejar prestasi dan harta.
Ia menikah dengan pria Wonosobo keturunan Solo, seorang pegawai bagian keuangan di sebuah pabrik pengolahan jamur. Hingga suatu ketika pabrik itu bangkrut dan terpaksa merumahkan karyawannya. Dalam situasi panik dan cemas, apa yang kerap disebut ‘mestakung’ (semesta mendukung) datang. Energi yang luar biasa, seolah segala kebaruan dan kenekadan timbul, hingga bakat yang tersembunyi di timbunan urat dan otot pun tersingkap. Ia ternyata seorang guru penuh bakat, dengan tangan terampil dan imajinasi yang hebat. Di tangannya, banyak prakarya dan alat peraga lahir, terutama untuk anak-anak balita dan TK. Ia lihai menciptakan gerak tari dan nyanyian sebagai metode pengajaran, direkam, dikemas, dan dijual.
Hingga saatnya tiba, ketika ada kesempatan berlomba, Dewi Fortuna memihaknya menjadi juara. Perlahan tangga dititi, sejak kabupaten, propinsi, hingga tingkat nasional. Gelar guru kreatif disandangnya, sampai Kementerian Teknis dan UNESCO mengangkatnya sebagai duta, berkeliling Indonesia dan melanglang buana. Karya demi karya lahir dari tangan mereka berdua dan praktis itu menjadi sandaran dan harapan hidup baru. Terpujilah nama Tuhan.
Kini mereka berhasil membangun sebuah sekolah yang menjadi tempat bereksperimen dan menyalurkan bakat: membimbing anak-anak. Tak kurang para pejabat setempat yang mempercayakan anak mereka belajar di sekolah ini. Meski tak berlebihan, hasil jerih payah itu cukup buat hidup wajar, membeli mobil sederhana, menabung, menyekolahkan anak-anak, dan membantu orang tua. Daya kreatif tetap terjaga, satu demi satu karya lahir, dan ditawarkan ke berbagai sudut negeri. Bagi saya itulah kerja paripurna, senyatanya.
Catatan ini hanya sebuah permenungan pada apa yang kerap terlupakan, lantaran manusia pada umumnya terobsesi pada prestasi, bakat, dan tampilan luaran. Memberi atensi lebih pada yang gagah atau cantik, dan merayakan pencapaian-pencapaian ajaib-mengagumkan. Ada sisi-sisi tak terduga, keutamaan dan keluhuran yang hadir dari orang-orang biasa. Ada keteguhan hati dan pengabdian tanpa henti, di saat orang pintar memilih-milih sekolah dan pekerjaan.
Tangan-tangan sederhana itu mengais dari apa yang bisa dikerjakan, bukan dipikirkan. Dan keberuntungan pun berpihak pada mereka yang mau berusaha. Daya kreatif lahir dari keterbatasan, keterpaksaan, dan keterpurukan. Kebangkitan menjadi buah yang seolah tak dirancang, namun sejatinya ditanam dalam laku, diuntai melalui tindakan kecil, dan disempurnakan dalam doa-doa orang polos dan bersahaja.
Tuhan bekerja melalui Maria, dan banyak ‘Maria’ lainnya yang terlupakan, tak kita sapa hanya karena tak mempesona. Tangan ajaib Tuhan menjamah dan menggerakkan umat manusia agar menebar cinta, menyemai baik, dan merawat bajik. Itulah hidup. Kasunyatan yang gaib, ajaib, dan mengundang decak kagum.
Semoga kisah nyata yang saya pungut dan untai ini menginspirasi semakin banyak orang untuk tetap rendah hati, penuh welas asih, bersemangat pantang menyerah, menggali bakat yang terpendam, tekun bertungkus lumus dalam doa, dan memaknai tiap langkah dan keputusan kecil dalam hidup dengan penuh syukur. Ia, yang maha rahim, akan menggenapi doa dan usaha kita. Semoga bangsa ini dimampukan untuk terus bersyukur dan mencari rahmat tersembunyi….
Bekasi, 1 Juni 2018
Di Hari Pancasila