Minggu, 10 Agustus 2025
Why. 11:19a; 12:1,3-6a,10ab. Mzm. 45:10c-12,16.
1Kor. 15:20-26.
Luk. 1:39-56
PUJIAN Bunda Maria dalam Magnificat adalah ungkapan hati yang meluap dari seorang yang mengenal siapa Allahnya.
Maria memuji Tuhan bukan karena hidupnya tanpa pergumulan. Ia tetap seorang perempuan muda yang harus menghadapi pandangan miring masyarakat, perjalanan yang berat, bahkan nanti menyaksikan penderitaan Anak yang dikasihinya.
Namun di tengah semua itu, ia tetap berkata, demikian, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.”
Di sinilah letak pelajaran besarnya: kebahagiaan sejati tidak lahir dari keadaan yang sempurna, melainkan dari hati yang melekat pada Tuhan. Dunia sering mengajarkan bahwa kita baru bisa bersukacita kalau punya harta berlimpah, jabatan tinggi, atau hidup nyaman.
Tetapi semua itu rapuh, mudah hilang, mudah berubah. Maria menunjukkan bahwa ada sukacita yang tidak bisa dirampas: sukacita karena Tuhan sendiri.
Ketika hati kita berakar pada Dia, penderitaan bukanlah penghalang untuk bersukacita. Justru di tengah penderitaan, kita menemukan betapa Tuhan setia dan dekat. Inilah rahasia kebahagiaan sejati: bukan apa yang kita miliki, tetapi Siapa yang kita miliki.
Kiranya kita belajar dari Bunda Maria untuk menemukan sumber sukacita kita hanya pada Tuhan. Sebab saat Tuhan menjadi alasan utama kita berbahagia, tidak ada keadaan, orang, atau peristiwa yang bisa mencurinya dari kita.
Maria tidak memuliakan dirinya, melainkan memuliakan Tuhan. Sumber sukacitanya bukanlah status baru sebagai “Ibu Sang Mesias”, melainkan kebaikan Allah yang sudi memandang rendahnya dirinya.
Inilah rahasia sukacita rohani: menyadari bahwa semua yang indah dalam hidup ini adalah anugerah, bukan hasil jerih payah atau kehebatan kita.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa hidup di dunia hanyalah perjalanan singkat menuju rumah sejati kita, surga. Ketika kita melihat Maria dimuliakan, kita pun diingatkan bahwa kita dipanggil untuk tujuan yang sama: berkumpul bersama Tuhan selamanya.
Inilah penghiburan iman kita di tengah realitas kematian. Bagi dunia, kematian adalah akhir. Namun bagi orang beriman, kematian hanyalah pintu menuju kepenuhan kasih Allah.
Kenaikan Maria juga menjadi ajakan untuk menata hidup kita sekarang. Kita tidak akan sampai ke tujuan itu jika tidak belajar setia seperti Maria: mendengarkan sabda Tuhan, melaksanakan kehendak-Nya, dan mempersembahkan hidup sepenuhnya kepada-Nya.
Kesetiaan di hari-hari biasa, dalam perkara kecil, adalah jalan menuju kemuliaan yang besar.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah caraku menjalani hidup saat ini menunjukkan bahwa aku sungguh merindukan surga?