[media-credit id=3 align=”alignleft” width=”150″][/media-credit]NYETEM alias menyelaraskan alunan nada masing-masing instrumen itu mutlak perlu dalam sebuah orkestra. Dalam hidup berkeluarga pun, tak jarang kita harus pintar melakukan penyelerasan nada. Sepanjang 40 tahun mengarungi bahtera pernikahan, setidaknya ada tiga tahapan penyelesaian yang biasa saya lakukan dalam proses nyetem irama hidup bersama istri.
Pertama adalah tahapan rasional dimana kita bersama duduk mencari akar masalah hingga mulut kita begitu gampang menggelontarkan ocehan kemarahan. Kami putar otak agar kami berdua bisa menemukan sumber ketidakberesan. Barulah tahap kedua adalah membawa “problem” ini pada tahap emosional yakni ketika kami sepakat menghentikan percekcokan, memilih diam dan tidak lagi mengutak-utik lagi persoalan. Dalam banyak hal, salah satu pasangan biasanya memilih untuk tidak membuka fron, namun sebaliknya: mengalah.
Diam untuk refleksi
Dalam diam itu, saya lalu melakukan refleksi. Saya merenung-renungkan kembali mengapa kok sampai kami “berlaku seperti itu”. Saya mencoba masuk ke alam pikir istri hingga dia sampai punya logika pikir yang berbeda dengan saya. Lalu, saya juga melihat ke belakang: kenapa saya punya logika berpikir ini hingga istri kurang berkenan menerima. Demikian seterusnya hingga saya bisa mengolah semua rasa negatif itu menjadi energi positif agar pada akhirnya ada self-acceptance secara emosional dan rasional.
Tahapan ketiga mungkin tidak biasa bagi kebanyakan orang. Yakni, membawa masalah dan refleksi itu pada tataran doa alias spiritual. Tentu akan gampang orang menyebut tahap ketiga ini sebagai eskapisme alias melarikan diri dan menyerahkan kepada Tuhan agar membereskan masalah kami berdua.
Tak mengapa, namun dari pengalaman 40 tahun menikah, rasanya tahap ketiga ini juga penting. Mendapat amarah, ocehan ditambah rasa jengkel jelas merupakan ujian alias cobaan. Kitab Suci, khususnya Kita Judith, disebutkan cobaan bukan merupakan sebuah kutukan apalagi hukuman dari Tuhan. Sebaliknya, kita harus bisa melihat hal itu sebagai peringatan dari Tuhan untuk kembali “mengolah hidup” agar perjalanan hidup batin kita semakin dekat dengan Tuhan.
Mensyukuri pengalaman konflik
Kesadaran ini membuat saya mau berpaling ke Tuhan dan kemudian mempersembahkan rasa mangkel, jengkel, dan ocehan itu kepada Tuhan. Apa yang saya lakukan barangkali dianggap “tak populer” oleh orang-orang modern: saya justru bersyukur pada Tuhan atas anugerah rahmat berupa pengalaman cekcok tersebut.
Pada tahap kesadaran spiritual ini, maka dengan rasa tulus pula saya rela mengaku salah dan minta maaf kepada istri. Kalau pun pada akhirnya saya berada di pihak yang benar, maka saya juga tidak mau buru-buru menyalahkan dia atau malah menonjolkan diri sebagai pihak yang benar. Saya hanya bisa menyesal bahwa perbedaan itu telah terjadi hingga berakhir dengan adu mulut.
Tentu harus saya tegaskan, bahwa ketiga tahapan itu jangan sampaik diklaim orang sebagai yang terbaik untuk mengikis peluang munculnya ide nakal: mana tahan? Bagi saya, sedikitnya untuk sementara waktu selama 40 tahun ini, belum ada orang membantah atau menolak pengalaman itu.
Berjuang bertahun-tahun
Yang pasti, untuk bisa selamat menampak tahapan ketiga itu, saya butuh waktu bertahun-tahun dan berjuang mengalahkan ego dan berani mengalah demi sebuah “kepentingan bersama” yakni mempertahankan hidup perkawinan suci katolik.
Setelah 40 tahun menikah dan tetap setia seumur hidup, kini saya benar-benar meyakini perkawinan merupakan proses “menjadi bersama” dan proses itu makan waktu seumur hidup. Akan menjadi indah, bilamana proses bersama itu disadari kedua belah pihak, hingga suami-istri secara bersama-sama menyadari perkawinan itu sebagai rahmat kehidupan anugerah Tuhan melalui GerejaNya. (Selesai)
Salam Sesawi!
DR A. Winoto Doeriat, purnakarya tinggal menetap di Jakarta.