Home BERITA Melaksanakan Kehendak Tuhan dalam Keluarga

Melaksanakan Kehendak Tuhan dalam Keluarga

0
Ilustrasi - Bahagia sukacita menemukan cinta dalam keluarga. (Ist)

Selasa, 19 Juli 2022

  • Mi. 7:14-15,18-20.
  • Mzm. 85:2-4,5-6,7-8;
  • Mat. 12:46-50.

TANTANGAN utama dalam hidup berumahtangga adalah mempertahankan keseimbangan yang baik antara keluarga, kerja dan Gereja.

Belajar bagaimana mempertahankan keseimbangan seperti itu merupakan salah satu perjuangan yang tidak mudah.

Seorang bapak merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi dengan anaknya.

Sebuah peristiwa yang sangat naas terjadi pada anaknya, yakni jatuh dari gendongan pembantu pada usia sepuluh bulan.

Kejadian itu terjadi pada saat dia dengan istrinya mengikuti pelayanan di Gereja.

Kepala anaknya terbentur ubin hingga terjadi pendarahan yang hebat bahkan akibat kejadian itu terjadi gegar otak.

Setelah dirawat cukup lama di rumah sakit dan kemudian boleh pulang, anaknya mengalami gangguan syaraf hingga perkembangan intelektualnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sampai kelas tiga sekolah dasar anaknya belum bisa membaca dan menulis dengan lancar.

Inilah salib yang sangat berat baginya, sebuah kenyataan yang sangat pahit, melihat anaknya mengalami penderitaan yang tak kunjung sembuh, bahkan dianggap anak bodoh oleh banyak orang.

Dalam situsi seperti itu, bapak ini selalu berdoa untuk bisa mendapimpingi anaknya dan berjuang semaksimal mungkin membuat anaknya melalui hari-hari dengan gembira.

Akibat peristiwa yang menimpa anaknya itu, dia lalu bertekad lebih memberi perhatian pada keluarganya.

Kebahagiaan keluarga baginya menjadi yang paling utama.

Dia tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya, dia tidak ingin terlambat menjaga dan melindungi istri dan anak-anaknya. Dia ingin selalu berbuat baik dan memberi cinta pada istri dan anak-anaknya.

Baginya, tempat paling nyata mengungkapkan cinta dan kehendak Allah dalam hidup ini, adalah melalui keluarga, melalui orang-orang yang terdekat dan selalu hidup bersama dengannya.

Dia dulu begitu dipuji karena keaktifannya dalam memperjuangkan kebaikan bagi sesama namun dia merasa abai dengan keluarganya sendiri, bahkan terlalu percaya pada orang lain untuk menjaga dan merawat anaknya.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,

Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepada-Nya: “Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?”

Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku!

Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”

Hidup bersama serumah membuat tampak nyata kelemahan masing-masing.

Namun dalam kerentaan itu kita bisa menjadi saluran berkat bagi sesama jika kita berani mengutamakan kehendak Allah.

Keluarga menjadi tempat kita menemukan kehendak Allah dan melaksanakan dengan sepenuh hati.

Sebuah keluarga yang kokoh, bukanlah keluarga di mana anggota-anggotanya tidak memiliki kelemahan-kelemahan, tetapi di mana anggota-anggotanya mahir menangani dalam kasih kelemahan-kelemahan masing-masing.

Perlu adanya sebuah kepastian bahwa apabila kita berbuat kesalahan, kita tetap dikasihi dan diampuni.

Perlu sekali suasana untuk tidak saling mendendam dalam keluarga bahkan ketika ada peristiwa yang sangat merugikan dan mengancam keselamatan.

Kesalahan akan selalu ada, karena itu jika kita mencari kesalahan, maka kita akan selalu menemukannya.

Di situlah benih kasih sejati itu ditumbuhkan dan dirawat bersama-sama.

Saudaraku, ibuku dan bapakku adalah mereka yang sama-sama berjuang dalam membangun hidup yang baik, jujur dan benar setiap hari.

Bagaimana dengan diriku?

Siapakah yang menjadi saudaraku dalam perjalanan hidup sehari-hariku?

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version