Melayani Umat Indian di Reservasi Lower Brule, South Dakota, AS (2)

0
846 views

SEBAGAI akibat dari upaya pemerintah Amerika untuk ‘mencerdaskan’ warga Indian di atas, Gereja baik Katolik maupun Protestan harus membayar mahal. Para tokoh-tokoh dari warga Indian secara perlahan dan pasti meninggalkan gereja untuk hidup dengan warganya. Agama Kristen dianggap sebagai agama untuk warga kulit putih. Tidak saja timbul rasa benci terhadap warga kulit putih, khususnya Anglo (berhubungan dengan Inggris), tetapi juga terhadap gereja, para misionaris, dan segala kebijakannya.

Kalau pun ada kelompok warga kulit putih yang mereka percaya adalah orang-orang kulit putih berbahasa Perancis yang turun dari Canada. Relasi dengan kelompok dari Canada ini sering digambarkan sebagai sebatas bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak. Mereka turun dari Canada ke North Dakota dan South Dakota untuk barter senjata api rakitan dengan kulit dan bulu binatang sebagai bahan utama baju hangat di musim dingin. Periode terjadi menjelang akhir abad ke-19.

Karena hubungan bisnis ini berlangsung dari generasi ke generasi, maka terjadilah perkawinan antar mereka. Hal itu dapat diketahui dari nama-nama keluarga warga Indian, seperti Gourneau, LaRoche, Jendreau, dsb yang berbau Perancis. Dari perkawinan campuran itu lahir generasi yang umurnya masih setia kepada gereja baik katolik atau dinominasi lain.

Sayang sekali, hubungan bisnis dengan kelompok dari Canada ini pun tidak mengantar warga Indian ke hari depan yang lebih baik. Bahwa ada aspek yang menguntungkan warga Indian, itu jelas tak dapat dipungkiri. Banyak warga Indian dilatih untuk beternak kuda dan memberdayakannya untuk kepentingan ekonomis dan transportasi. Hal semacam ini merupakan sesuatu yang baru bagi warga Indian. Mereka mulai mengenal budaya bercocok tanam dan menetap. Namun, pada waktu yang sama mereka menjadi tahu bagaimana mengoperasikan senjata api.

Ironisnya, dengan senjata api itu mereka tidak hanya menyerang warga Anglo(kulit puith), tetapi juga saling membunuh sesama warga Indian dari marga atau klan yang berlainan. Situasi ini membawa gereja ke puncak kesulitan yang luar biasa. Banyak misionaris mengalami frustrasi. Mereka yang tak mampu bertahan  memilih pulang ke Europa.  

Pada awal abad 20-an populasi warga Indian sangat besar jumlahnya. Tak semua mau menerima ajaran dan kebijakan gereja. Tak mau pula mereka mentaati kebijakan pemerintah. Mereka saling berperang dan sering berpesta berhari-hari dengan mengkonsumsi alkohol, mabuk, yang pada gilirannya menimbulkan free sex dan berganti-ganti pasangan, yang mengakibatkan kehancuran hidup keluarga. Persoalan menjadi semakin buruk ketika mereka tidak mengolah lahan pertanian mereka untuk meningkatkan perekenomian keluarga, tetapi justru mendirikan kios-kios untuk menjual alkohol baik secara legal maupun ilegal dengan memanfaatkan kurir-kurir yang umumnya dari para kaum muda.

Akibatnya kini ada banyak keluarga-keluarga yang tidak berfungsi sebagai keluarga yang memungkin anak-anak bertumbuh secara sehat secara jasmaniah dan rohaniah. Banyak orang tua tidak peduli akan masa depan anak-anak mereka. Persoalan besar mulai timbul saat anak-anak memasuki usia remaja. Mereka menjalani hidup seakan tanpa arah.

Beberapa diantara mereka yang dibesarkan oleh keluarga-keluarga di luar reservasi cukup berhasil. Namun kesuksesan mereka tak berpengaruh bagi para keluarga-keluarga kerabatnya. Gejala yang kini cukup mencolok ialah bahwa banyak anak usia remaja mengalami depressi. Ada yang terjerumus dalam  dunia obat-obatan. Ada juga yang mengakhiri hidup mereka dengan bunuh diri.

Kondisi ini menghadapkan petugas Gereja pada situasi yang sulit karena mereka sulit ditemui dan sering tidak ada di tempat. Mereka sering mengadakan perjalan jauh untuk mengunjungi para keluarga mereka.  (Selesai)

Artikel terkait: Melayani Umat Indian di Reservasi Lower Brule, South Dakota, AS (1)

 Tautan: The Sacred Heart Priests  in America

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here