Memahami Sabda tentang “Roti Kehidupan” (2)

0
2,873 views

allaboutgod.net

APA sebenarnya yang hendak disampaikan Yesus dalam perikop tentang roti kehidupan ini? Bukan hanya roti yang mengenyangkan secara badaniah dan membuat orang melihat Yesus sebagai “nabi” (Yoh 6:14) yang patut diangkat menjadi pemimpin, bahkan raja (6:15).

 

Yesus malah menghindari harapan seperti itu. Orang-orang Yahudi berpikir apakah Yesus itu Musa yang baru (bdk. Yoh 6:30-31) tokoh yang membuat orang menemukan makanan harian atau manna yang diberikan Tuhan sampai mereka memasuki Tanah Terjanji (Kel 16).

Tetapi Yesus mengajak orang agar melihat bahwa yang memberi makanan dari langit itu ialah Bapanya. Lebih lanjut lagi, sekarang ini dirinyalah roti yang turun dari surga itu. Menerima dia, mempercayainya, akan membuat mereka mendapatkan roti yang memberi hidup (Yoh 6:32-40).

Orang-orang malah semakin tidak bisa melihat siapa Yesus itu. Mereka hanya bisa melihat dia sebagai anak Yusuf yang mereka kenal dari dulu (Yoh 6:42). Kepekaan batin mereka tidak berkembang. Mereka hanya mau memandanginya dengan ukuran-ukuran yang membuat mereka merasa aman: nabi, pemimpin tipe Musa, zaman kebesaran dulu, dan ketika ia mengajak mereka menengok ke arah yang lebih dalam, mereka malah berkata, lho, ini kan anak Pak Yusuf itu, mana bisa jadi pimpinan seperti kita gambarkan tadi?

Kepada pembaca Injil Yohanes, disodorkan ketidakpahaman orang-orang yang sudah sedemikian dekat dengan sang roti kehidupan itu sendiri. Apakah kita seperti mereka?

Yesus hadir
Yohanes memakai pengertian “daging” dan bukan “tubuh” seperti Injil Sinoptik dan Paulus untuk lebih membuat kita mengerti kesamaan antara Yesus yang sedang berbicara itu dengan yang diwartakan pada awal Injil: “Dan sang Sabda itu telah menjadi manusia, harfiahnya “daging”, dan tinggal di antara kita…” (Yoh 1:14).

Gereja sebagai komunitas orang beriman percaya bahwa Yesus itu ada di tengah-tengah mereka dan menghayatinya dalam bentuk ekaristi.

Yesus itu pemberian dari surga yang membawakan hidup ke dunia. Dan pemberian ini lebih luas kehidupan biasa yang beriramakan lapar, kenyang, lapar lagi, melainkan yang membawa ke kehidupan yang tak lagi dibawahkan pada perputaran itu.

Bagaimana kenyataannya, tidak dikatakan dengan jelas, dan justru sulit diperkatakan. Hanya dapat dipahami dengan menghayatinya. Inilah cara berbagi hidup kekal dengannya seperti terungkap dalam Yoh 6:51 dan 58.
Iman akan ekaristi menjadi cara Gereja menerima kebenaran warta Yesus itu. Sikap orang beriman berkebalikan dengan sikap mereka yang mempertanyakan bagaimana itu mungkin (ay. 52).

Mereka yang mengikuti Yesus diimbau agar terus berusaha memberi isi nyata pada apa itu berbagi kehidupan surgawi, apa itu mengarah ke hidup kekal, menemukan roti kehidupan yang sesungguhnya di dalam hidup sehari-hari. Ini iman yang mengangkat kesehari-harian menjadi yang makin dekat ke kehadiran ilahi.

Ada ajakan untuk mengusahakan agar kenyataan rohani itu berdampak pada kenyataan sehari-hari juga. Tidak disangkal adanya ketimpangan di kalangan pengikut Yesus sendiri. Ini kelemahan mereka. Tapi justru dengan menyadari sisi-sisi yang manusiawi itu orang beriman semakin dapat berharap bersatu dengan kurban persembahan Yesus sendiri.

Itulah makna pernyataan “siapa yang makan dagingnya dan minum darahnya akan tinggal dalam aku dan aku dalam dia” (Yoh 6:56). Dan kurban bersama ini menyelamatkan dunia. Dalam arti ini ekaristi ialah bentuk nyata ikut serta dalam kurban penebusan tadi.

Kekuatan ekaristi
Apakah menyambut komuni sama dengan kepercayaan itu? Kalau begitu kok orang tidak jadi makin baik. Di lingkungan keagamaan mungkin semuanya baik-baik, tapi di luar di dalam hidup sehari-hari tingkah lakunya lain.

Kenyataan ini memang sering kita lihat. Namun demikian, acap kali kita terlalu memandang ekaristi sebagai obat kuat rohani atau jamu kelakuan baik. Pandangan seperti itu malah menjauhkan kita dari nilai ekaristi yang sesungguhnya, mengapa?

Ekaristi itu sakramen yang menghadirkan kenyataan rohani dalam diri kita. Tetapi kehadiran ini perlu diberi ruang dalam kehidupan sehari-hari pula. Lalu, bila begitu apa bedanya dengan orang yang tidak kenal akan ekaristi tapi toh berbuat baik dalam kehidupan sehari-hari. Tidak bisa kita hadapkan dua perkara ini begitu saja.

Tiap orang dapat berlaku baik, dengan atau tanpa ekaristi. Dan memang manusia memiliki bakat berbuat baik. Tapi orang yang percaya akan kekuatan ekaristi akan semakin melihat dan mengakui bahwa kemampuan berbuat baik serta keberanian untuk menjadi makin manusiawi dan makin lurus itu datang dari atas sana. Bukan dari kekuatan manusiawi sendiri.

Bagi orang yang percaya, kemampuan berbuat baik itu anugerah ilahi. Dan anugerah inilah yang ditandai dengan ekaristi. Dalam arti inilah ekaristi membuat kita semakin dekat dengan kehidupan Yang Ilahi sendiri.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here