Memahami Warna Liturgi Gereja, Maknanya, dan Anti Hoaks

2
40,047 views
Ilustrasi: Warna busana liturgi (Ist)

DUA hari terakhir ini telah berseliweran sebuah postingan bertajuk Memahami Warna Liturgi Khusus Pekan Suci, baik di media Whatsapp maupun di Facebook.

Nampaknya postingan tersebut telah menimbulkan banyak keresahan dan pertanyaan dari umat.

Beberapa pertanyaan yang ditanyakan pada saya menanggapi postingan tersebut, antara lain:

  • Apakah memang pada hari Jumat Agung tidak boleh mengenakan pakaian berwarna hitam?
  • Apakah pakaian umat juga harus sesuai dengan warna liturgi perayaan yang dilaksanakan?

Saya ingin mengomentari terlebih dahulu mengenai informasi tersebut. Lalu, saya ingin menjelaskan sedikit mengenai bagaimana ajaran Gereja Katolik, khususnya aturan Tatacara Liturgi mengenai warna liturgi.

Mengkritisi konten postingan

Dua hal mengenai postingan tersebut telah membuat rancu.

  • Pertama adalah postingan itu tidak mencantumkan sumber dan penulis yang jelas. Saya menerima postingan mengenai tersebut pertamakali di salah satu grup WA. Di sana tidak ada nama penulis yang membuat ‘berita’ tersebut.
  • Kedua, ada kesan memaksakan suatu aturan dalam liturgi. Dari judul postingannya, kita bisa melihat bahwa intisari postingan itu adalah ajakan untuk “Memahami Warna Liturgi Khusus Pekan Suci”.
  • Kemudian dari beberapa kalimat yang di-tebal-kan, dijelaskan mengenai makna dan warna liturgi dari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Paskah.

Dalam pandangan saya, rasanya isi dari penjelasannya juga cukup baik.

Namun mulai menjadi agak rancu, ketika membaca beberapa bagian dari penjelasan mengenai Jumat Agung.

Hoax Warna Pakaian Saat Perayaan Tri Hari Suci, Ini Tanggapan Ketua Komisi Liturgi KAJ

Di sana ada penekanan khusus: Jumat Agung warna liturgi merah, bukan hitam.

Penjelasan mengenai sejarah warna liturgi dan perubahannya saya kira tidak ada masalah. Termasuk juga aspek teologis dari perayaan Jumat Agung yang dipaparkan.

Saya mulai tertegun ketika membaca kalimat kesimpulan yang berbunyi:
“Karena itu Jumat Agung, umat tidak diperkenankan lagi memakai baju warna hitam. Kalau punya merah atau putih. Bila tidak punya ya sepunyanya. Ingat, Jumat Agung bukan Jumat kesedihan tapi Jumat Kemenangan”.

 Mungkin di sinilah yang menimbulkan kegelisahan dari beberapa umat yang menanyakan pada saya.

Dengan kata-kata: “umat tidak diperkenankan lagi memakai baju warna hitam”, hal ini bisa membingungkan. Bahkan juga menimbulkan soal. Kok sedemikian ketat ya?

Warna liturgi dalam PUMR

Menurut Pedoman Umum Misale Romawi, khususnya pada nomor 335-347, di sana disebutkan beberapa warna liturgi beserta penjelasannya.

Umumnya kita mengenal tiga warna liturgi yang biasa dipakai: putih, hijau, ungu.

Ketiga warna liturgi itu dipakai sesuai dengan masa liturgi dan juga perayaan-perayaan liturgi yang berlangsung.

Masih ada warna lain:

  • Kuning (biasanya disamakan dengan warna putih),
  • Jingga (yang dipakai pada Masa Adven III (Minggu Gaudete) dan Prapaskah IV (Minggu Laetare) – namun juga tidak semua paroki mempunyainya.
  • Hitam (sudah tidak banyak dipakai).

Beragamnya warna liturgi ini dimaksudkan untuk membantu umat dalam penghayatan liturgi yang dirayakan.

Berikut saya kutipkan penjelasan lengkap mengenai makna warna-warna liturgi tersebut dari Dokumen PUMR no 346:

Warna-warna busana liturgis hendaknya digunakan menurut kebiasaan yang sampai sekarang berlaku, yaitu :

  1. Warna putih digunakan dalam Ibadat Harian dan misa pada Masa Paskah dan Natal, pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya), begitu pula pada Pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November) dan kelahiran Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni), pada Pesta Santo Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta Tahta Santo Petrus Rasul (22 Februari) dan Pesta Bertobatnya Santo Paulus Rasul (25 Januari).
  2. Warna merah digunakan pada hari Minggu Palma memperingati Sengsara Tuhan dan pada hari Jumat Agung; pada hari Minggu Pentakosta, dalam perayaan-perayaan Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang Injil, dan pada perayaan-perayaan para martir.
  3. Warna hijau digunakan dalam Ibadat Harian dan misa selama Masa Biasa sepanjang tahun.
  4. Warna ungu digunakan dalam Masa Adven dan Prapaskah. Tetapi dapat juga digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa arwah.
  5. Warna hitam dapat digunakan, kalau memang sudah biasa, dalam Misa Arwah.
  6. Warna jingga dapat digunakan, kalau memang sudah biasa, pada hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV).

Konferensi Uskup dapat menentukan perubahan-perubahan yang lebih serasi dengan keperluan dan kekhasan bangsa setempat. Penyerasian-penyerasian itu hendaknya diberitahukan kepada Tahhta Apostolik.

Yang wajib memakai busana liturgi sesuai warna liturgi

Dalam tulisan postingan yang beredar di jalur medsos ada satu kesimpulan yang menurut saya kurang pada tempatnya. Pernyataan itu seolah-olah mewajibkan umat untuk menyesuaikan pakaian mereka dengan warna liturgi yang ditentukan oleh Gereja.

Sebagai pedoman, mari kita lihat siapa yang wajib mengenakan busana liturgi yang sesuai dengan warna liturgi itu.

PUMR 335 menyebut demikian:

“Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam Perayaan Ekaristi tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis. Seyogyanya busana liturgis untuk imam, diakon, dan para pelayan awam diberkati.

Saya sengaja menebalkan kalimat terakhir untuk memperlihatkan bahwa hanya “imam, diakon, dan para pelayan awam diberkati”-lah yang diwajibkan memakai busana liturgi yang sesuai. Demikian juga para petugas liturgi lainnya, biasanya akan menyesuaikan dengan warna liturgi yang sesuai dengan perayaan.

Tiga alasan abaikan postingan hoax tentang warna liturgi

Sampai di sini, saya ingin mengajak umat sekalian untuk tidak menghiraukan (alias mengabaikan) imbauan tersebut karena tiga alasan:

A. Postingan tersebut bukan berasal dari otoritas resmi Gereja (entah itu Komisi Liturgi Keuskupan atau otoritas Gereja lainnya).

Biasanya suatu kebijakan atau aturan yang dikeluarkan secara resmi oleh Gereja akan menyertakan tandatangan atau setidaknya lembaga yang mengeluarkan peraturan. Dalam hal ini, sebagaimana telah saya paparkan sebelumnya, postingan yang beredar di medsos sama sekali tidak mencantumkan nama penulis yang jelas. Maka bisa dipastikan hal itu bukanlah dari lembaga resmi Gereja.

B. Isi dari postingan tersebut menimbulkan keresahan dan terkesan memaksa.

Tentu hal ini bukanlah sifat dari peraturan resmi yang biasanya diberikan oleh Gereja. Sejak Konsili Vatikan II, Gereja banyak mengadakan pembaruan liturgi, antara lain dalam hal bahasa.

Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja mewajibkan supaya perayaan liturgi, khususnya Ekaristi dilaksanakan dalam bahasa Latin. Namun kemudian terjadi perubahan besar dalam Gereja yang memungkinkan penggunaan bahasa setempat dalam perayaan liturgi.

Tujuannya tidak lain adalah supaya buah-buah dari perayaan liturgi semakin besar dirasakan oleh umat.

Sebab itu, melihat sifat dari kebijaksanaan Gereja yang selama ini kita alami, di mana Gereja ingin agar buah rohani dari liturgi itu semakin dirasakan umat, maka ‘larangan memakai pakaian hitam saat Jumat Agung’ itu sangat jauh dari sifat Gereja.

C. Aturan  warna busana liturgi hanya ditujukan untuk imam, diakon dan petugas liturgi. Umat tidak diwajibkan.

Gereja mengharapkan agar kita memakai pakaian yang layak dan pantas saat mengikuti perayaan liturgi.

Dan dalam hal ini, seorang teman dalam diskusi di grup Whatsapp mengenai postingan tersebut di atas berkelakar demikian:  “Boleh kenakan pakaian warna apa saja, asal jangan telanjang.”

Artinya, ketika pergi ke gereja, apa pun warna pakaiannya, pakailah pakaian yang rapi, sopan, dan pantas.

Bandingkan ketika kita mau pergi menghadiri suatu pesta, kita sibuk memilih pakaian yang pantas, rapi dan sopan; apa pun warna pakaian itu.

Bukankah kita semestinya juga demikian ketika hendak menghadiri perayaan liturgi?

Jangan ragu untuk datang merayakan perayaan liturgi, hanya karena tidak mempunyai warna pakaian yang sesuai dengan warna liturgi. Lebih baik menyiapkan hati kita agar buah-buah dari perayaan liturgi semakin besar kita rasakan.

Selamat memasuki Tri Hari Suci. Selamat menyongsong Paskah dengan penuh sukacita.

Berkah Dalem.

2 COMMENTS

  1. Saya mau bertanya, dalam pengucapan “Selamat Hari Paskah”, sebagian orang mengucapkannya pada hari Jumat Agung. Padahal dalam definisi saya pribadi, hari paskah itu adalah hari peringatan kebangkitan Tuhan Yesus yg jatuh pada hari minggu terhitung tiga hari dari hari kematiannya di kayu salib.
    Jadi, apa benar jika kita mengucapkan Selamat Hari Paskah pada Hari Jumat Agung? Mohon Penjelasannya.

    • Pada hari Jumat Agung, kita masih berada pada suasana duka. Selamat paskah mestinya diucapkan pada hari Sabtu usai misa malam Paskah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here