Memainkan Kekuasaan Politik (2)

0
2,397 views

Google

OLYMPUS adalah kisah mitologi  Yunani. Di situ dikisahkan,  Dewa Kronos tega membunuh anak-anaknya sendiri dengan cara menelan mereka.

Itu semua lantaran dia keburu dihantui rasa takut berlebihan: jangan-jangan  kekuasaannya kelak akan dikudeta oleh anak-anaknya sendiri.

Kisah Perjanjian Lama juga menceritakan pola tingkah laku senada.  Absalom terburu-buru merebut kekuasaan ayahnya Daud dan berperang melawan Moab. Namun, di akhir cerita ternyata Absalom tewas. Hanya saja, dia tewas bukan karena kalah perang melawan Yoab, melainkan karena kepalanya terantuk pada dahan pohon (2 Sam 18: 9 – 33).

 

Dalam buku berjudul 48 Hukum Kekuasaan karya Robert Greene tertulis kutipan tentang makna kekuasaan.  “Untuk dikagumi oleh rakyat, buatlah mereka takut kepadamu. Ciptakanlah teror supaya rakyat minta perlindungan kepadamu.”

Kalimat provokatif tadi mengingatkan saya pada ajaran Niccolo Machiavelli (1469–1527 ),  penulis buku Il Principe yang kurang lebih mengajarkan “teori” yang sama.  Kalau Adolf Hitler (1889–1945)  membaca Il Principe di atas ranjang setiap setiap hari, maka Lenin (1870–1924) dan Yosef Stalin (1879 –1953) malah memelajari buku terkenal ini  secara khusus  di sebuah universitas di  Rusia.

Bahkan penguasa fasis Italia Benito Mussolini (1883–1945) secara terang-terangan mengaku diri sebagai pengikut setia Machiaveli . Karena itu, tak heran kalau Il Principe ini sering mengutip kalimat-kalimat magis Machiavelli dalam pidato-pidatonya.

Buku Imperium yang memasang wajah Cicero (106 SM–43BC)  sebagai foto cover bercerita tentang perebutan kekuasan yang dimulai dengan perdebatan para senator. Dari sana ada kisah yang menarik. Dalam perdebatan tercetus perdebatan tentang pembusukan (corruption) dengan mengambil contoh seekor ikan.

Penguasa korup

Jika ikan itu membusuk,  yang akan  membusuk pertama kalinya adalah bagian kepala. Demikian pula, para penguasa adalah orang-orang yang memegang kekuasaan tertinggi. Negara hancur, korup, dan bangkrut, maka  pertama-tama itu karena “kelakuan” para penguasanya. Penguasa adalah pemegang kebijakan yang berpotensi bisa menjadikan tatanan negara, organisasi, perkumpulan dan lembaga  maju atau hancur.

Imperia et potestates pudorem ac auctoritatem non iam habentes adalah pepatan Latin yang berarti  para petinggi dan penguasa tidak lagi mempunyai rasa malu dan kewibawaan mengajak kita untuk berrefleksi, sejauh ini bagaimana sikap penguasa yang kita kenal.

Perilaku para penguasa itu kadang aneh dan unik. Ketika pertama kali ia ingin menggapai kekuasaan, dirinya akan tampil sebagai penampung aspirasi rakyat. Ia berbicara tentang kepeduliannya terhadap wong cilik. Ia membuka diri untuk menerima masukan  berupa ide-ide dari konstituennya.

Tetapi ternyata  “bulan madu” antara calon penguasa dan pemberi suara itu pun tidak akan berlangsung lama, karena secepat kilat pula sang penguasa  akan putar haluan “kapal kekuasaannya”. Kritik pun mulai ditampik dan dirinya dibentengi oleh puluhan bodyguard yang berotot kekar tetapi stupid.  Bahkan tidak jarang para penguasa – lantaran jadi bulan-bulanan kritik – berusaha membungkam dan memberangus media massa.

Untuk melawan pemegang kekuasaan, Seno Gumira Ajidarma menulis Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Kata dia, menutupi kebenaran adalah perbuatan yang paling bodoh yang bisa dilakukan oleh manusia di muka bumi ini.

“Lawanlah itu!”, demikian kata Voltaire (1694–1778) yang ikut merancang terjadinya Revolusi Perancis  (1789) hingga akhirnya dia meringkuk di penjara. Bangunan penjara nan megah Bastille di tepi Sungai Seine menjadi saksi bisu atas perjuangannya.

Buku melawan tirani

Sebuah tulisan atau kumpulan tulisan berseri ternyata  mampu mengoyak  kaki kekuasaan hingga terpelanting sembab. Buku adalah musuh bebuyutan  orang-orang berkepribadian kurang jujur. Pramoedya Ananta Toer, penulis novel tetralogi yang tersohor itu pernah berkata, “Janganlah pernah membungkam sebuah tulisan.”

Pada zaman abad-abad gelap di Eropa, penguasa (Gereja)  berusaha untuk melarang terbitnya buku-buku. Bahkan buku-buku itu dibakar. Daftar tulisan-tulisan tersebut dinamakan Tridentine Index.  Tetapi kita harus sadar bahwa ide dan gagasan yang tertulis dalam buku itu bagaikan “anak” revolusi, demontrasi dan protes.

Pepatah Latin verba volent, scripta manent yang berarti kata-kata itu akan terbang, sedangkan yang tertulis itu akan menetap kiranya menggambarkan alur pikir di atas. Gagasan-gagasan  dalam bentuk tulisan itu akan “tinggal tetap” dan menunggu waktu baik sebuah “bom” yang setiap saat siap meledak sesuai “kebutuhan” atau situasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here