Puncta 09.02.21
Markus 7:1-13
PADA masa pandemi ini, kita diajak untuk membiasakan diri melakukan 3M bahkan 5M. Mencuci tangan, Menjaga jarak, Memakai masker, Menghindari kerumunan dan Mengurangi bepergian.
Membasuh tangan demi menjaga hidup sehat agar tidak terpapar oleh virus corona yang terus merajalela. Sering membasuh tangan harus menjadi kebiasaan.
Sebenarnya kebiasaan ini sudah ada sejak zaman dulu. Tetapi perkembangan zaman yang makin modern dan invidualis ini, membuat kebiasaan itu luntur.
Dulu di kampung-kampung ada “genthong” berisi air ditaruh di depan rumah. Fungsinya untuk membasuh tangan dan kaki sebelum orang masuk ke rumah. Keluarga yang rumahnya di pinggir jalan juga menyediakan genthong berisi air bersih untuk minum bagi yang dahaga dalam perjalanan.
Sayang sekali, orang zaman ini semakin tidak peduli dan egois. Kebiasaan membasuh tangan itu sudah hilang. Ketika virus corona datang, kita disadarkan kembali pentingnya membasuh tangan demi hidup bersih dan sehat.
Dalam Injil sikap yang sebaliknya nampak dalam diri kaum Farisi. Membasuh tangan menjadi hukum wajib yang harus dilakukan. Melalaikan itu sudah dianggap najis, berdosa.
Kaum Farisi menjadi sangat “skruple” jika melihat orang lain tidak menaati hukum.
Kaum Farisi melihat murid-murid Yesus makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh. Mereka gusar dan gelisah ada pelanggaran terhadap adat istiadat nenek moyang.
Mereka skruple dengan memprotes kepada Yesus. “Mengapa murid-murid-Mu tidak mematuhi adat istiadat nenek moyang kita? Mengapa mereka makan dengan tangan najis?”
Kaum Farisi terlalu menekankan adat istiadat. Lalu dengan itu mereka berhak menilai dan mengadili orang. Adat lalu dijadikan alat untuk mengucilkan orang, menghukum orang. Sementara ada hukum yang lebih utama justru diabaikan.
Yesus mengkritik mereka. “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadatmu sendiri.”
Adat istiadat boleh dilakukan, tetapi jangan menghapuskan perintah yang utama. Adat jangan dimutlakkan sehingga mengganggu relasi dengan sesama dan Tuhan. Apalagi meminjam sabda Tuhan untuk mengadili sesama.
Siapakah kita sampai mengatas-namakan Tuhan sendiri?
Makan pisang di pinggir kali.
Terjerembab diserbu kera.
Janganlah suka mengadili.
Karena kita tidak sempurna.
Cawas, celana biru ….