Membawa yang Terpenting

0
272 views
Ilustrasi: Naik sepeda dan berjalan kaki di atas jalan berbahan baku papan-papan kayu menjadi pemandangan sehari-hari di Kabupaten Asmat- Keuskupan Agats, tak terkecuali di Atsj. (Mathias Hariyadi)

HIDUP yang merupakan perjalanan membutuhkan bekal. Semakin panjang jarak yang ditempuh dan berat medannya, semakin ringan beban yang semestinya dibawa.

Mereka yang “nglakoni” (menempuh perjalanan rohani) biasanya berbekal amat minim. Hanya yang amat esensial.

Beberapa kali berkunjung ke India, saya menyaksikan orang yang menempuh peziarahan rohani dengan berjalan ratusan kilometer. Ada pria, ada wanita.

Mereka hanya membawa satu tas kecil yang ditaruh di atas kepala. Bukan ransel besar di punggung. Kaki tanpa alas.

Bagaimana mereka bisa hidup? Hanya Tuhan dan mereka yang tahu.

Mereka yang mencari Tuhan dengan sepenuh hati selalu tercukupi. Ada saja yang memberikan bantuan yang sungguh mereka perlukan hingga dapat mencapai tujuan.

Ketika mengutus para murid-Nya Sang Guru Kehidupan juga berpesan supaya jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka, kecuali tongkat, roti pun jangan, bekal pun jangan, uang dalam ikat pinggang pun jangan, boleh memakai alas kaki, tetapi jangan memakai dua baju.” (Mrk 6: 8-9).

Bukankah roti, bekal, dan uang itu diperlukan? Benar. Namun barang-barang itu kerap merepotkan perjalanan; menghalangi orang dalam mencapai misi hidupnya.

Membuat orang lupa bahwa Allah mencukupi kebutuhan mereka.

Setiap orang yang sedang menjalani hidup di dunia ini bagai peziarah; menuju ke suatu tempat untuk mencapai misi jiwanya.

  • Bagaimanakah aku selama ini menata perjalanan hidupku?
  • Apakah selama ini aku disibukkan dengan perkara-perkara remeh yang menghambat perjalananku?
  • Beranikah aku memutuskan untuk membawa yang terpenting?

Kamis, 3 Februari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here