Membedah “Jeroan” Generasi Millenial: Persepsi sebagai Aktivis dan Mimpi Besar Ubah Dunia (5)  

0
1,163 views
Ilustrasi: gaya hidup dan keseharian anak-anak muda Zaman Now. ((by digital dealers)

HADIRNYA smartphone yang menjadi alat komunikasi dan sumber informasi berbasis nirkabel telah menjadikan Generasi Millenial itu dalam sekejap bak sebuah ‘kamus berjalan’. Dalam kepalanya bersliweran banyak informasi yang merembes masuk mengisi ruang memori di otaknya. Sementara, relung hatinya juga merekam banyak hal.

Massifnya rembesan informasi yang susah dibendung masuk dan telah mengisi memori dan hatinya itu tanpa sadar telah menjadikan Generasi Millenial sebagai ‘sumber informasi’ baru bagi lingkup pergaulan sosialnya. Kepada kelompok bayanya (peer group), mereka suka berbagi informasi. Dengan cara demikian, mereka juga akan saling mempengaruhi satu sama lain.

Membedah “Jeroan” Generasi Millenial: Mengemas Pesan lewat Meme dan Filosofinya (4)

Kelompok baya sebagai pressure group

Tak jarang, kelompok baya bisa menjadi semacam pressure group bagi anak-anak muda Generasi Millenial. Kebutuhan harus selalu meng-update status atau memposting konten pesan komunikasi yang tak jarang ‘tak bermutu’ itu merupakan aksi merespon datangnya  pressure group kelompok baya tersebut.

Tentang hal ini, Andre Prodjo memberi ilustrasi menarik berbasis pengalamannya sendiri. Ia mengamati perilaku anak-anak Generasi Millenial yang sering bekerjasama dengan dia mengerjakan sebuah projek bisnis.

Ilustrasi (DJFamily)

Ketika kelompok bayanya bersama-sama bisa berpergian wisata hiking, misalnya, maka ketidakhadiran dalam rombongan peer group seperti itu bisa mendatangkan ‘bencana emosional’ bagi anak muda Generasi Millenial. Ada semacam perasaan tidak ‘nyaman’, ketika ia tidak ‘ada-bersama-mereka’ –sedikit meminjam istilah filsafat eksistensialisme di sini.

Perasaan tidak ‘nyaman’ itu harus segera diobati. Antara lain dengan bisa menghadirkan diri pada situasi yang didesain kurang lebih sama dengan pengalaman ‘ada-bersama-dengan-mereka’ itu.

Kelompok baya menjadi acuan di sini.

Mengalami rasa pernah ‘ada-di sana-bersama-mereka’ itu adalah sesuatu banget. Experience merupakan hal sangat penting bagi mereka.

Generasi pulsa

Jadi jangan heran, ketika anak-anak muda Generasi Millenial tiba-tiba memposting gambar dirinya seakan-akan berada di sebuah ketinggian bukit. Padahal yang namanya bukit di sini, mungkin saja hanya berupa tekstur lanskap berupa gundukan tanah yang tidak seberapa tinggi. Tinggal mainkan kamera smartphone dan langsung jeprat-jepret dengan mengambil latar gundukan tanah dan kemudian mempostingnya sebagai konten pesan berkomunikasi dengan kelompoknya.

Ilustrasi (Ist)

Dengan begitu, maka orang lalu bisa ngrasa eksis dan merasakan ‘hawa’ atmosfir bersama bahwa dia masih menjadi bagian kelompok bayanya. Itu  karena ia merasa diri telah “ikut-dan-ada-bersama-dengan-mereka-di sana’.

Bahwa orang lalu merasa diri ‘pernah-ada-di sana’ itu secara psikis-emosional  menjadi penting. Soal rasa-merasa macam itu menjadi ‘sesuatu banget’ bagi Generasi Millenial.

Karena itu, salah satu cirikhas Generasi Millenial yang sangat fenomenal adalah ketergantungan mereka akan pulsa. Boleh dibilang, Generasi Millenial itu adalah elemen sosial di dalam masyarakat  yang kesehariannya menjadi sangat tergantung pada pulsa.

“Mereka itu generasi pulsa,” demikian kata Andre Prodjo, CEO Meme Comic Indonesia, dalam sebuah perbincangan tentang “Komunikasi Generasi Millenial” bersama Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) KAJ di Jakarta, Minggu siang tanggal 17 Desember 2017 lalu.

Tahu banyak tanpa proses ‘menjadi manusia’ 

Lagi-lagi, alam pikir filsafat eksistensialis menjadi relevan di sini.

Anak-anak muda Generasi Millenial –karena pasokan rembesan informasi yang sulit terbendung berkat smartphone– telah berkembang menjadi orang sangat pintar dalam banyak hal.  “Mereka itu,” kata Andre, “sangat well-informed.”

Kreativitasnya terpacu oleh banyaknya rembesan informasi. Karena itu, kata Andre lagi, kita tak bisa meremehkan Generasi Millenial tersebut.

Hanya saja, kalau pun ini bisa disebut sebagai ‘kekurangan’, adalah seringnya tidak intensif  ‘proses menjadi manusia’ itu terjadi.

Mereka telah ‘menjadi orang’ dengan cara yang super kilat. Otak dan memorinya berisi banyak informasi dan pengetahuan. Namun, tingkat kedewasaan emosionalnya sering kali tidak berjalan seimbang dan seiring dengan kecepatan mereka dalam menyerap informasi.

Berikan insentif

Pada situasi inilah, cara berkomunikasi yang baik dengan Generasi Millenial adalah dengan sering-sering memberi ‘insentif’ kepada mereka.

Caranya sederhana, demikian kata Andre Prodjo, sering-seringlah mengajak mereka bicara. Juga sering-seringlah dengan suka hati memberi komentar; apakah itu nada pujian atau kritik, maka mereka biasanya akan bereaksi senang.

Ilustrasi (by Simimin)

Itulah sebabnya, di platform medsos, orang bisa bereaksi begitu senang hati, ketika konten postingannya diberi komentar ‘like’.

Semakin banyak jumlah orang mau memberi tanda ‘jempol’ –like-, maka orang semakin merasa diri eksis dan tidak ‘ditinggal’ oleh kelompok bayanya. Bahkan diberi komentar ‘dislike’ pun juga tidak apa.

Rasa-merasa dan pengalaman pernah  ‘ada-bersama-dengan-mereka’ itulah yang sering menjadi motor dan mampu men-drive Generasi Millenial hingga mereka melakukan sesuatu. Apalagi kalau di sana ada purpose; ada nilai-nilai yang ingin diraih, bisa dirasakan ketika melakukan sesuatu tersebut.

Experience dan purpose menjadi penting bagi Generasi Millenial. Katakanlah sembari meminjam terminologi Henri Bergson, keduanya itu merupakan élan vital (motor dan energi utama) mereka dalam menjalani hidup dan pergaulan sosialnya.

Menjadi aktifis yang mengubah dunia

Saking aktifnya Generasi Millenial itu berinteraksi dan berkomunikasi dalam jejaring pertemanan dengan kelompok bayanya, maka semakin kencang pula nafas élan vital  itu untuk bisa diwujudkan dalam tindakan-tindakan nyata. Alam pikir Generasi Millenial itu adalah rasa-merasa diri sebagai ‘aktivis’.

Berbekal kompilasi informasi yang beraneka ragam itulah, demikian kata Andre meringkas pengalamannya bergaul anak-anak muda “Zaman Now”, Generasi Millenial kadang merasa diri bisa ‘mengubah dunia’ –apa pun itu bentuk kontribusi mereka.

Yang pasti, berkat serapan informasi yang semakin tak terbendung itu, mereka merasa lebih dibandding yang lain:

  • Tahu lebih duluan;
  • Mengenal lebih mendalam;
  • Dengan kandungan knowledge yang juga lebih banyak dibanding generasi atau kelompok elemen sosial lainnya.

Baca juga:

Bingung Hadapi Generasi “Now” Millennial? Memilih Satu dari Dua Opsi: Paycheck vs. Purpose (3)

Merasa diri ‘ahli’, menjadi dewasa dengan cepat  tanpa mengalami banyak ‘proses menjadi manusia’, dan ambisi  ingin mengubah dunia itulah mimpi-mimpi besar Generasi Millenial.

Apakah ini sebuah khalayan?

Tidak juga.  Marilah ingat bahwa banyak temuan-temuan inovatif itu justru lahir dari pikiran-pikiran hebat dan sangat kreatif besutan Generasi Millenial. (Berlanjut)

Bingung Hadapi Generasi “Now” Millennial? Mulai Saja dengan Konsep VUCA dan FAANG (2)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here