Membuka Ruang Bagi Allah

0
347 views
Ilustrasi: Ruang doa.

Rabu, 11 Juni 2025

Kis. 11:21b-26.13:1-3.
Mzm. 98:1.2-3ab,3c-4,5-6.
Mat. 10:7-13

ADA sebuah paradoks dalam kehidupan rohani: semakin kita merasa cukup dengan diri sendiri, semakin kecil ruang bagi Allah untuk berkarya dalam hidup kita.

Sebaliknya, ketika kita datang kepada-Nya dengan tangan kosong dan hati yang terbuka, justru di situlah Tuhan menyatakan kuasa-Nya dengan luar biasa.

Kita hidup di dunia yang menjunjung tinggi kemandirian, pencapaian, dan kepemilikan. Kita diajarkan untuk punya tabungan, rencana cadangan, dan kontrol atas segala sesuatu.

Tetapi tanpa sadar, semua itu bisa membuat kita menutup diri terhadap rahmat Allah. Kita berkata dalam hati: “Aku bisa mengatasi ini. Aku tidak perlu bantuan.” Dan saat itulah kita mulai kehilangan rasa lapar akan Allah.

Tangan yang penuh tidak bisa menerima apa-apa lagi. Tapi tangan yang kosong, itulah yang siap menerima. Demikian pula hati kita. Bila dipenuhi dengan ego, kesombongan, dan rasa cukup palsu, bagaimana mungkin rahmat Allah bisa masuk?

Maka dalam hidup ini, barangkali kita perlu belajar untuk “kosong” bukan dalam arti pasrah tanpa usaha, tetapi rendah hati untuk mengakui bahwa kita membutuhkan Tuhan lebih dari apa pun.

Ketika kita berhenti mengandalkan segalanya selain Allah, barulah kita benar-benar melihat bagaimana Ia memelihara, membimbing, dan mengangkat kita melebihi apa yang dapat kita capai sendiri.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu.

Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya.”

Ketika Yesus mengutus para murid-Nya untuk mewartakan Kerajaan Allah, perintah-Nya sangat tidak biasa. Mereka diminta untuk tidak membawa apa pun yang lazimnya dibawa dalam perjalanan: tidak emas, tidak perak, tidak bekal, tidak pakaian ganti, bahkan tidak kasut dan tongkat. Semua yang biasanya memberi rasa aman, justru ditanggalkan.

Karena misi pewartaan Injil bukanlah soal kemampuan manusia, tetapi soal kepercayaan kepada Allah. Yesus ingin para murid mengandalkan penyelenggaraan ilahi, bukan perbekalan duniawi.

Ia ingin mereka belajar bahwa ketika mereka hidup dan bekerja demi Kerajaan-Nya, Allah sendiri yang akan mencukupkan segalanya.

Hidup ini bukan tentang mengumpulkan sebanyak-banyaknya supaya kita aman. Hidup ini adalah tentang percaya dan melangkah, meski mungkin tanpa jaminan, tanpa rencana cadangan, tapi dengan hati yang yakin bahwa Tuhan menyertai.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku sungguh percaya bahwa Allah sanggup memelihara hidup kita?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here