Memperbincangkan tentang Hantu: Berbagai Arwah Penasaran (4)

0
4,217 views
Ilustrasi (Ist)

INI pendapat pribadi Prayitna, seorang mantan romo Yesuit, yang secara pribadi pernah mengalami kena “gangguan” tingkah polah para arwah gentayangan. Menurut praktisi lembaga swadaya masyarakat ini, ada tiga jenis “arwah gentayangan” yang masih perlu terus kita doakan  dan sekalian orang beriman sebaiknya melakukan kebiasaan baik ini  sesuai ajaran Gereja. 

“Mereka” itu adalah jiwa-jiwa yang masih belum meninggalkan dunia ini. Itu  karena mereka masih “terikat” pada dunia.  

Yang mengikat mereka juga ada tiga yakni tempat, emosi dan perbuatan.

Tempat, misalnya, adalah lokasi dimana dia mati secara tidak “wajar” seperti kecelakaan laku lintas. Dia masih terikat dengan sebuah tempat sama dimana telah terjadi insiden fatal itu. 

Emosi adalah kondisi kejiwaan orang ketika dia meninggal. Misalnya saja karena  ternyata orang itu belum “siap” mental dan jiwa raga. Mungkin karena bunuh diri lantaran baru saja ditinggal pacar yang hampir menikahinya. 

Perbuatan adalah penyebab kenapa dia “harus” mati. Misalnya saja orang terpaksa harus mati karena dibunuh orang lain atau insiden berdarah lainnya seperti perampokan atau korban salah tembak, ledakan bom, dan seterusnya.

 “Roh-roh itu sendiri tidak membebaskan diri dari ikatan-ikatan tersebut. Mereka perlu doa-doa kita untuk bisa membebaskan mereka dari salah satu atau semua ikatan,” kata Prayitna kepada Sesawi.Net dari Bajawa, Flores, NTT.

“Setiap orang bisa mendoakan mereka. Yang penting ujubnya: “Tuhan, bebaskan saudara-saudara kami ini dari ikatan-ikatan tempat, perbuatan, dan emosi. Bawalah mereka ke tempat yang semestinya!”. 

Jangan sebut “hantu”
Prayitna secara pribadi merasa kurang sreg menyebut sekalian “arwah gentayangan” itu sebagai hantu dan sekalian para konconya.Saya tak mau menyebutnya mereka sebagai hantu, melainkan roh-roh yang masih belum mendapatkan tempat semestinya,” ujarnya. 

Lalu dia mensyeringkan pengalaman pribadinya saat mengikuti acara retret tahunan sebagai Jesuit bersama para frater SJ dari Kolese Santo Ignatius (Kolsani) Yogyakarta.

 “Pembimbing sengaja kami pilih adalah seorang paranormal. Dia itu seorang ibu dari Jakarta. Ajarannya sangat mengesan dan mengena. Ajaran itu saya yakini, praktikkan, hayati dalam keseharian hidup saya,” kata Prayitna.

Menurut ibu pembimbing retret tadi, kata Prayitna, ada dua jenis “roh” yang eksis di alam duniawi ini. Yang satu baik, lainnya buruk/jahat. “Yang baik –kata ibu tadi—selalu berbau harum mewangi. Yang jahat, sebaliknya: busuk menusuk. Bentuknya seperti celeng,” kata Prayitna. 

Kalau berjumpa dengan “roh jahat” –apakah itu berupa celeng (babi hutan) atau lainnya—sebaiknya kita hindari karena terlalu berisiko. (Bersambung)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here