BAGAIMANA kita harus menyikapi usaha penambangan pasir besi di beberapa daerah? Ini pertanyaan yang sempat mengemuka saat diselenggarakan Konferensi Nasional (Konas) I KBKK (Kelompok Bakti Kasih Kemanusiaan) di Bali, Februari 2011 lalu.
Nah, pertanyaan para romo dan kaum awam mengenai masalah penting ini ingin saya bahas di bawah ini.
Saya sampaikan tulisan singkat tentang penambangan pasir besi, karena menurut pendapat saya jenis penambangan ini sangat rawan. Dan jelas juga tidak menguntungkan. Akibatnya, berbagai komitmen kepada pemerintah dan masyarakat sangat diragukan dapat terpenuhi.
Tulisan ini masih berbentuk praktis. Dan saya bermaksud membuat beberapa tulisan lagi agar dapat ditangkap aspek ilmiahnya.
Latar Belakang
Akhir-akhir ini di beberapa daerah seperti di Jawa Tengah dan NTT, terjadi peningkatan penggalian tambang sehingga meresahkan masyarakat karena kekuwatiran akan rusaknya lingkungan dan tata air setempat.
Pertambangan pasir besi (iron sand) di Kulon Progo (DIY), misalnya, telah menimbulkan pertentangan yang cukup sengit di kalangan masyarakat. Namun terutama di kalangan para petani yang merasa masa depannya sebagai petani menjadi terancam akibat (akan) adanya penggalian besar-besaran dan itu pasti akan merusak lingkungan hidup dan tata air (hidrologi).
Aktivitas pertambangan di Indonesia,terutama di bagian Timur Indonesia, tahun-tahun terakhir ini semakin marak. Hal ini terutama disebabkan karena “persepsi” yang keliru bahwa pertambangan itu mudah karena cukup menggali tanah dan menjual tanah tersebut kepada pengusaha tambang. Tidak disadari sama sekali bahwa menggali tanah secara sembarangan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan , tanah menjadi tidak subur (asam) dan kehilangan tata air, sedangkan air adalah unsur utama hidup sehat manusia dan bertani.
Tulisan ini bertujuan memberikan informasi singkat seluk-beluk usaha pertambangan mineral dan hubungannya dengan kerusakan lingkungan. Paparan ini saya ungkapkan dengan harapan agar usaha pembangunan apa pun yang dilakukan, hendaknya berprinsip pembangunan yang berkelanjutan dan mengutamakan kepentingan masyarakat setempat dan bukan hanya mengejar PAD (Pendapatan Asli Daerah). Apa lagi jika hasil PAD-nya juga tidak (pernah) sampai ke masyarakat.
Yang dimaksud dengan istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ adalah pembangunan yang tidak hanya melayani pembangunan masa kini saja, melainkan juga memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
Pembangunan yang berkelanjutan mendorong kita mengkaji semua usaha pembangunan secara holistik , komprehensif dan terpadu. Untuk itu perlu dikaji aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dari suatu usaha pembangunan.
Mari kita kaji satu per satu aspek di atas:
Aspek ekonomi
Ini perlu dikaji karena kenyataannya banyak masyarakat di daerah masih hidup dibawah garis kemiskinan. Akibatnya, hanya dengan iming-iming duit a la kadarnya, maka orang pun akan dengan gampang menjual lahannya. Ia tidak sadar bahwa hal ini dapat menyebabkan dia harus pindah profesi dari petani menjadi transmigran dan pindah dari lokasinya serta kehilangan identitasnya.
Hanya jika usaha pertambangan itu memang benar-benar bisa “menguntungkan”, makan akan tentu ada kemampuan dan dana yang tersedia untuk bisa “dibagikan” kepada masyarakat. Itu terjadi melalui Pemda –bisa berupa PAD/pajak dan retribusi– dan menciptakan kesempatan bagi masyarakat turut dalam aktivitas ekonomi. Singkat kata, bisa menciptakan multiplier effect ekonomi).
Pemerintah dan DPRD setempat juga harus diyakinkan/mengawasi bahwa usaha pertambangan tersebut memberi manfaat bagi ekonomi daerah (dan sama sekali bukan untuk menggemukan kantong keluarga pejabat dan para kroninya).
Jadi Pemda harus diyakinkan bahwa usaha ini membawa untung bagi perusahaan dan masyarakat. Tentang hal ini diatur antara lain dalam UU No 4/tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Aspek lingkungan hidup
Ini sangat penting, karena terutama semua pertambangan menyebabkan perubahan bentang alam (morfologi dan topografi ). Jika tingkat perubahan itu sampai melampaui daya dukung lingkungan, maka kegiatan itu akan menciptakan kerusakan lingkungan.
Tanah menjadi tidak subur lagi. Akan timbul tanah gersang/gurun, tanah akan bersifat asam dan kehilangan sumber air. Bahkan meningkatkan potensi banjir bandang dan tanah longsor pada waktu hujan turun. Karena itu, jelas menjadi kemendesakan umum bahwa aspek lingkungan itu memang harus dikaji; potensi Dampak Lingkungan/AMDAL harus diadakan seperti yang disyaratkan dalam PP 27 tahun 1999 dan UU 32/Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penegelolaan Lingkungan Hidup.
Aspek sosial
Ini juga harus menjadi perhatian bersama agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat baik dari segi ekonomi /kesempatan berusaha maupun kerusakan/ pencemaran lingkungan. Potensi benturan kepentingan antara pengusaha dan pemda di satu pihak dengan masyarakat umum di lain pihak dapat menimbulkan konflik sosial yang bisa menjadi konflik horizontal. Konflik antar pemangku kepentingan bisa diatasi jika ada transparansi rencana pembangunan secara rinci.
Dalam tulisan singkat ini tidak diuraikan pertambangan batubara dan MIGAS (minyak dan gas bumi) karena kedua jenis bahan energi ini memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan pertambangan mineral umum lainnya. (Bersambung).