Mencari Domba yang Hilang

0
320 views
Ilustrasi: Kristo Immanuel Caesar sebagai pemeran Ayah tampil menghayati penuh sosoknya sebagai lelaki renta yang ditinggalkan sendirian oleh anaknya Markus. Inilah adegaan pementasan drama teater "Anak yang Hilang" di Jakarta, Sabtu 6 Januari 2018. (Mathias Hariyadi)

HIDUP Reva sudah tenang dan damai. Bisa menjadi suh, pengikat, bagi adik-adiknya dan berperan jadi budhe yang membanggakan bagi empat keponakannya. Kadang ada keinginan tersembunyi untuk membusungkan dada dan menyombongkan diri, “gue gitu loh”.

Namun terasa masih ada yang mengganjal. Ia harus mencari adik perempuannya, walaupun beda ayah, tetapi mereka tetap saudara sekandung. Sebagai sopir dan pengelola rental mobil yang sering keluar kota, Reva sudah meminta Heru mencari adik perempuan mereka.

Hera Rustyanti hanya lulus SMP dan jebol kelas X, dan menjadi anak punk. Dengan kehamilan tidak terawat, dia dan anaknya tentu hidupnya jauh dari sejahtera, apalagi suaminya yang terkutuk itu, selain ahli judi dan mabuk, ia juga pemakai dan pengedar narkoba.

Besar kemungkinan ia mendapat hukuman lebih dari 10 tahun karena narkoba dan penganiayaan yang telah dilakukan kepada Reva pada masa lalu.

Reva harus menemukan adiknya.

***

Kamis pagi, Reva ikut rombongan kelompok Vinsensian berkunjung ke lapas. Sebagai LP kelas I, varian napi yang dibinanya banyak. Bahkan LP ini dikenal sebagai lapas narkoba. Gembong narkoba yang menunggu hukuman mati ada di LP ini.

Kelompok Vinsensian ini rutin berkunjung untuk memberi penghiburan dan penguatan kepada saudara seiman yang terbelenggu di sana. Ini pengalaman pertama Reva memasuki LP. Ada rasa takut dalam diri Reva, apalagi pemeriksaan oleh petugas yang menggerayangi tubuhnya, membuat ia risi, berasa jijik.

Apalagi saat petugas menyentuh bagian dadanya yang terdapat keloid yang cukup menonjol dan memanjang. Wajah petugas yang sangar, meminta ia membuka baju untuk menunjukkan bekas luka itu membuatnya ia hampir menangis. Permintaan maaf petugas tidak bisa mengembalikan pilu hati Reva. Hal itu mengurangi antusias Reva mengikuti kelompok doa tersebut.

Reva baru tahu bahwa lapas itu menampung napi narkoba saat sampai di depan lapas. Hal itu membuat Reva merinding. Ada takut dan ada kabut yang menyingkap secara perlahan  masa lalu Reva.

Rombongan yang dipimpin Romo Arry memasuki ruang sederhana yang dipakai untuk ibadat, di antara hilir mudik para pengunjung dan napi yang diawasi oleh tamping, warga binaan yang sudah menjalani masa hukuman lebih setengah masa hukuman dan menjalani  masa asimilasi.

Tamping ini bertugas mengawasi tamu dan napi lainnya. Para tamping ini juga bertugas mengatur jam kunjungan. Kalau ingin menambah waktu berkunjung, bisa minta tambahan waktu kepada mereka. Pengunjung juga bisa membeli minuman dan makanan kecil kepada mereka, tentu dengan harga yang lebih mahal dibanding harga di luar.

Reva melewati seorang warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang membuatnya merinding dan takut. Selama ibadat, apalagi selama kotbah romo, pria berwajah kelam dan tubuh penuh tato warna pekat itu, tak pernah lepas menatap Reva. Khotbah tentang pertobatan dan pengampuan itu tidak bisa disimak Reva dengan baik.

Reva menjadi resah dan semakin takut sehingga menggenggam erat tangan Bu Irenne. Bu Irenne memeluk Reva yang menggigil karena ketakutan. Reva merasa agak tenang dan terlindung. Selesai ibadat, romo masih melayani beberapa umat yang minta didoakan dan minta rosario mereka diberkati. Reva cepat-cepat berdiri dan berjalan keluar beriringan dengan Bu Irenne.

Tanpa diduga lengan Reva ditarik oleh napi yang sangar dengan beringas. Begitu menatap wajahnya Reva pun pingsan.

***

Reva membuka matanya dengan penuh kebingungan. Ia berada di kamarnya. Bu Irenne mendampinginya dan di sampingnya ada seorang perempuan muda kerempeng dan kumuh.

“Syukur, akhirnya kau sadar juga,” ujar Bu Irenne penuh kelegaan.

Reva mengedarkan pandangannya dan tatapannya tertumbuk pada wajah sendu perempuan itu.

“Mbak, Aku Hera,” jelasnya sambil mendekati Reva.

”Hera, adikku?,” tanya Reva dengan bingung, ”Bagaimana kamu bisa sampai di sini?,” Reva berusaha duduk walaupun masih terasa pusing dan lemas. Ada rasa sakit di tangan kiri dan lehernya.

Mengalirlah kisah yang terjadi di lapas tadi. Reva pingsan saat ditarik dan disandera lelaki bertato. Untung Hera dengan cekatan mendorong dan memukul Birawa sehingga Reva terlepas dari cengkeraman lelaki bertato yang selama ibadat menatapnya.

Birawa adalah suami Hera yang menjalani 16 penjara dan baru sebulan dipindah di LP kota ini, karena tidak pernah insyaf dan tetap sebagai pengendali bisnis narkoba. Hera diminta datang untuk mengunjunginya karena ada hal khusus yang akan dikatakannya.

Hera datang dengan ketakutan, karena kepindahan Birawa di kota ini karena laporan Hera. Sebelumnya beberapa kali Hera dititipi barang ke dalam atau keluar LP dan Hera tahu bahwa itu adalah narkoba, sehingga ia melaporkan hal itu.

Sebagai hukuman tambahan dan memutus rantai pemasaran narkoba, Birawa dipindah.

Reva bergidik. Ia jadi ingat peristiwa di lapas tadi. Saat panik dan menatap lelaki yang menariknya, memori Reva seakan dibetot kembali pada waktu ia diperkosa dan dianiaya oleh Birawa. Kisah kelam yang terkuak mendadak tersebut membuat Reva pingsan.

Keadaan akan berbeda, bila Reva tidak pingsan. Birawa akan menggunakan Reva sebagai sandera agar bisa melarikan diri dari penjara. Untunglah secara refleks, Hera melihat kakaknya terkulai dan Birawa tidak memperhatikannya.

Keberanian Hera membela kakaknya dengan memukul Birawa menjadikan senjata tajam yang dipakai untuk menyandera mengenai mukanya dan memudahkan petugas meringkusnya.

***

Reva masih merasakan kekakuan hubungannya dengan Hera. Untuk itu, ia minta Bu Irenne menemani mereka makan nasi pecel di luar. Sudah lama juga Reva tidak ke luar dan makan di luar. Reva terpaksa menceritakan hubungannya dengan adiknya yang terputus cukup lama dan sudah lama mencarinya, tetapi belum juga bisa ditemukan.

Nasi pecel di dalam pasar yang agak kumuh ini memang khas dan terasa berbeda. Sayuran yang lengkap dengan kembang turi, tuntut, bunga pisang, krai, bayam, daung singkong, daun pepaya, kacang panjang, gantheng, kecambah kacang hijau, tentu tidak lupa petai cina, daun kemangi, dan potongan kecil ketimun sebagai lalapan pelengkap.

Sambel dengan cabai mentah dan daun jeruk purut yang ditumbuh tidak terlalu halus menguarkan wangi khas. Serundeng, abon kelapa dan kering tempe disajikan di atas sambel dan lalapan.

Rempeyek: kacang tanah yang dipotong kecil, teri, kacang hitam, atau udang krésé merupakan pelengkap nasi pecel yang tidak ketinggalan. Empal dan jeroan goreng bisa menyempurnakan nikmatnya menyantap nasi pecel. Sebagai ikon kota ini, sejak pagi, siang, sore, sampai malam selalu ada penjual nasi pecel. Ada yang hanya buka pada pagi atau malam saja, nanum ada juga yang menjual nasi pecel yang disajikan dengan pincuk sepanjang hari.

***

Untuk merintang waktu menunggu adik-adiknya datang, mereka bertiga pergi ke mall terdekat untuk berbelanja. Paling tidak Hera harus membeli baju ganti yang tampah lusuh dan kumuh. Terlihat ada percik darah di ujung lengan bajunya.

Sebelum berangkat makan nasi pecel tadi, Reva sudah menghubungi ketiga adiknya untuk menjemput Hera. Sesampai di mal, ternyata Bu Irenne dijemput suaminya, karena ada tamu. Reva sungguh berterima kasih atas bantuan dan dukungan Bu Irenne.

Dengan bergandengan tangan Reva membelikan baju, sepatu, tas untuk Hera yang tidak sedikit. Ia memilih barang-barang yang sederhana, tetapi Reva mengarahkan untuk membeli barang-barang bermerek. Beberapa kali Hera menengok harga barang yang diminta Reva untuk dipilih atau dicoba.

Hera ragu-ragu untuk membeli barang sebanyak itu, apalagi yang ia ketahui kakaknya hanyalah seorang perawat. Bahkan Hera juga dibelikan HP yang menyentuh saja Hera tidak berani saking mewah dan mahalnya. Hera tidak tahu bahwa uang Reva tak akan habis untuk memborong semua barang di mal tersebut.

Dua jam waktu telah terlewat. Reno dan Melania, Heru dan Sandrina, dan Heri menghampiri mereka di tempat makan. Ada tangis bahagia. Lima bersaudara bisa bertemu.

Hera si anak hilang telah ditemukan.

Hanya kuasa Tuhan yang mempertemukan mereka siang itu di mall. Mereka akhirnya tahu bahwa Hera selama ini hanya sendirian, anaknya meninggal saat dilahirkan. Ia menghidupi dirinya dengan bekerja di sebuah warung soto.

Atas permintaan Melania dan persetujuan bersama, akhirnya Hera bersedia diajak bergabung membantu kakaknya mengelola cateringnya. Hanya tentunya masih ada masalah yang berhubungan dengan isteri Heri, Deniya. Dia bagaikan duri dalam daging bagi keutuhan persaudaraan mereka.

Termasuk hari ini ia tidak mau ikut, karena dia memang seje, lain dari yang lain.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here