Menjadi pendidik di Sekolah Katolik merupakan suatu panggilan. Pendidik dalam hal ini tidak hanya guru, tetapi juga pimpinan sekolah, pengawas, guru, tenaga administratif, serta staf lainnya.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Pembina Yayasan Santo Markus Romo Ignatius Swasono SJ dalam kegiatan studi bersama yang diselenggarakan Yayasan Santo Markus di Aula Paroki Gereja St. Robertus Bellarminus, Cililitan, Jakarta Timur, Sabtu (3/12/2022).
Studi bersama merupakan salah satu kegiatan yang diupayakan Yayasan Santo Markus untuk mengembangkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di sekolah Santo Markus. Acara ini dihadiri seluruh Guru TK-SD-SMP Santo Markus dan mengambil tema “Mendidik Generasi Milenial Melalui Pedagogi Ignatian dan Kurikulum Merdeka.”
Romo Swa, demikian dia biasa disapa, menyampaikan bahwa Pedagogi Ignasian merupakan bentuk seni dan gaya dalam mengajar yang bisa dimanfaatkan para pendidik menjadi sebuah teknik mengajar.
“Pada pertemuan ini kita bedah seni dan gaya mengajar Ignatius Loyola yang kemudian berkembang menjadi teknik mengajar,”ujar Romo Swa kepada para guru.
Pedagogi Ignasian, menurut Swa, juga bisa dimanfaatkan untuk mendampingi dan mendidik generasi milenial saat ini. Proses pedagogi kreatif dan reflektif ini diawali dengan tahapan pengenalan diri, menyadari siapa dan bagaimana kita sebagai tenaga pendidik. Di mana kita berada, baik dalam waktu atau kondisi apa pun.
“Jika kita sudah memahami dan menyadari hal tersebut, maka diharapkan kita selalu mau belajar dan mengembangkan diri sendiri, peserta didik, serta lingkungan di mana kita berada berlandaskan cinta kasih dan iman kristiani,”ujar Swa.
Semua itu, kata Swa, tentu saja didasari dengan tujuan untuk kemuliaan Tuhan.
Pemahaman diri yang benar, kata Swa, membuat seseorang mudah peka dan peduli dengan lingkungannya. Juga terbuka dan mau banyak belajar mengikuti perkembangan zaman.
Dalam kaitannya dengan Kurikulum Merdeka Belajar, penerapan paradigma pedagogi reflektif di sekolah Santo Markus, diantaranya dilakukan dengan cara berefleksi bersama, kata Romo Swa.
Setiap hari siswa, kata Swa, diajak berefleksi selama 15 menit sebelum jam pulang sekolah dan diwajibkan ditulis pada buku Refleksiku yang dimiliki masing-masing siswa. Refleksi ini juga berlaku bagi seluruh tenaga pendidik dan kependidikan sekolah Santo Markus.
Spiritualitas SINGA
Sekolah Santo Markus sebagai sebuah lembaga Pendidikan Katolik juga menghidupi spiritualitas yang menjadi dasar seluruh karya anggota komunitasnya, kata Romo Swa. Spiritualitas ini mesti tercermin atau terwujud dalam berbagai aspek pengelolaan sekolah.
Spiritualitas sekolah Santo Markus tertuang dalam spiritualitas SINGA, yaitu Sigap-Iman-Nurani-Gembira-Aktif. Spiritualitas ini menjadikan Sekolah Santo Markus siap menghadapi perubahan.
SINGA, menurut Swa, pada dasarnya merupakan perwujudan spiritualitas Santo Markus yang merupakan pelindung sekolah. Ini merupakan spiritualitas Kristiani yang membawa pada pengalaman akan Kristus dan semangat untuk semakin menyerupai Dia.