Menenangkan Badai

0
536 views
Ilustrasi: Yesus menghardik para pedagang di Bait Allah Yerusalem. (Ist)

Selasa, 28 Juni 2022

  • Am. 3:1-8;4:11-12.
  • Mzm: 5:5-6.7.8.
  • Mat. 8:23-27.

BADAI dalam kehidupan manakala terjadi guncangan, terpaan kuat. Berupa peristiwa atau kejadian yang kedatangannya tak diharapkan, yang menimbulkan kehidupan.

Yang semula tenang dan nyaman menjadi porak poranda.

Badai hadir tidak untuk menghancurkan kehidupan kita. Namun untuk membasuh dan membersihkan kita.

Kekuatan mental kita diuji, saat menghadapi badai di dalam hidup ini.

Walaupun kita seperti telah babak belur dihantam badai kehidupan; percayalah dan kuatkan hati karena selalu ada hal positif yang bisa kita petik, dari terpaan badai.

Itulah mengapa, saat badai menghantam, kita harus kuat. Karena bagaimanapun juga, badai itu akan berlalu.

Setelah badai menerjang akan ada pelangi indah yang menanti kita yang bertahan.

Gempa Bumi Yogyakarta, Mei 2006, adalah peristiwa gempa bumi tektonik kuat yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Sabtu pagi, 27 Mei 2006.

Kurang lebih pukul 05:55:03 WIB selama 57 detik. Gempa bumi tersebut berkekuatan 5,9 pada skala Richter.

Peristiwa itu menimbulkan banyak kurban jiwa dan kerugian harta benda yang sangat besar.

Bagi paman saya, peristiwa gempa itu menjadi titik balik dalam hidup berimannya kepada Tuhan.

Dalam sekejap, ia harus kehilangan semua kebanggaannya, harta benda. Bahkan ibunya yang tercinta.

Kesedihan yang luar biasa, karena peristiwa itu menegaskan kepada paman bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Hingga kemudian menuntun paman untuk menatap kembali arah dan tujuan hidupnya.

Seperti kata pemazmur bahwa hidup manusia itu ibarat rumput yang tumbuh di pagi hari dan kemudian layu dan mati di sore hari.

Tangis pilu orang-orang yang meratapi jazad kerabatnya sungguh menyentak hatinya.

Dia melihat betapa rapuhnya hidup manusia. Dan betapa sia-sianya, jika hanya sibuk dengan hal-hal yang fana dan tidak musnah seketika.

Pada saat itulah, ia lalu membuat langkah. Ia ingin berbuat sesuatu bagi sesama.

Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pamanku sebelumnya sibuk dengan hidupnya sendiri, dan tidak peduli dengan aktivitas sosial keagamaan.

Di atas puing-puing rumahnya, paman memberikan lahan untuk program healing bagi anak-anak bekerja sama dengan salah satu LSM.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian

“Dan ketika mereka sedang berlayar, Yesus tertidur. Sekonyong-konyong turunlah taufan ke danau, sehingga perahu itu kemasukan air dan mereka berada dalam bahaya.

Maka datanglah murid-murid-Nya membangunkan Dia, katanya: ‘Guru, Guru, kita binasa.’

Iapun bangun, lalu menghardik angin dan air yang mengamuk itu. Dan angin dan air itu pun reda dan danau itu menjadi teduh.

Lalu kata-Nya kepada mereka: ‘Di manakah kepercayaanmu?’

Peristiwa dan tragedi hidup hanya serangkaian kejadian biologis tanpa makna, jika tidak pernah kita refleksikan.

Tanpa refleksi kita tidak pernah memahami kuat kuasa Tuhan atas hidup kita. Tuhan datang bukan untuk membinasakan kita namun untuk menyelamatkannya.

Pertistiwa Yesus menghardik danau menjadi refleksi bagi kita. Yakni, bahwa kita perlu terus menerus mengasah iman kepercayaan kepada Tuhan yang menyelenggarakan segala sesuatu dalam hidup kita.

Berhadapan dengan alam semesta sebenarnya kita tidak mampu banyak berbuat. Kita tidak dapat menghentikan rencana Tuhan.

Kita ini hanya bagian kecil dari alam semesta. Bisa kita bayangkan bagaimana agungnya Dia yang empunya alam semesta.

Maka yang bisa kita lakukan adalah “Tuhan, tolonglah, kami binasa”; memohon kepada-Nya yang mempunyai kuasa segalanya.

Kita percaya bahwa dalam tangan Tuhan kematian akan menjadi kehidupan baru.

Namun kadang kuasa kitalah yang sering kita andalkan. Sementara ada banyak perkara yang jauh lebih besar dari kemampuan manusiawi kita.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku menemukan makna kehidupan di balik badai yang menghantam hidupku?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here