Mengadili dengan Kebenaran

0
267 views
Ilustrasi: Membangun pertemanan yang sehat dan saling mendukung. (Ist)

SIAPAKAH kita ini? Apakah kita ini “hakim” sehingga merasa diri layak mengadili sesama?    Tidak jarang, sesama kita yang mestinya menjadi sahabat, bahkan saudara seiman, kita anggap sebagai ancaman, bahkan menganggapnya sebagai musuh.

Siapakah kita sampai berani mengatasi Tuhan, yang mengadili sesama secara tidak adil? “Sebab hanya ada satu pembuat hukum dan hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan” (bdk. Yak 4:12).

Apa sebabnya yang membuat kita berani mengadili di luar kebenaran?

Sesungguhnya kesalahan yang kita lihat pada orang lain, juga tidak jauh-jauh amat meleset dari diri kita, mungkin saja lebih buruk dibandingkan dengan orang lain.

Kita merasa malu karena proyeksi diri kita tampak pada orang-orang di seputar kita. Hati kita masih kekurangan vitamin cinta kasih untuk mampu menerima kekurangan, apalagi kelebihan orang lain.

Sebaliknya, kita cenderung mencari-cari kelemahan dan kekurangan sesama kita. Kita lupa bahwa kita juga punya borok yang harus disembuhkan supaya hidup kita tidak tersesat dari ajaran dan perintah-perintah-Nya untuk saling mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri sendiri (bdk. Mat 22:39).

Pengalaman yang mengajarkan

Zaman terus berubah dalam sekejap, baik karena pengaruh kecanggihan teknologi dan komunikasi yang amat pesat, nilai tatanan sosial, pengaruh budaya, dan berbagai aspek lainnya. Tentu keadaan itu  memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter diri manusia.

Kehidupan sosial saat ini diwarnai dengan aneka problematika tersendiri; ada yang berpengaruh secara positif, dan ada pula pengaruh negatif.

Bagaimana kita harus memetik pengaruh positif dari setiap kejadian yang kita alami? Sejauh yang dialami, ada beberapa tawaran yang kiranya bisa menjadi pembelajaran untuk kita bersama.

Misalnya dengan cara :

  • Menyadari diri bahwa saya tidak lebih baik dari orang lain (latihan kerendahan hati).
  • Tidak menilai orang lain hanya dengan sebelah mata dan telinga (mencari kebenaran hingga ke akar-akarnya).
  • Mengakui kelebihan sesama dan turut mensyukurinya sebab Tuhan sendiri yang melakukannya. Manusia hanya sebagai sarana untuk mengembangkan itu.
  • Memohon rahmat secara khusus dalam doa-doa pribadi supaya tidak mudah jatuh dalam godaan, laawanmu si iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (bdk. 1 Ptr 5:8)

Demikian kiranya rumusan yang bisa dimanfaatkan untuk menimba pengalaman iman yang mengejutkan. Sebab Tuhan bekerja setiap waktu dan menilik kita dari atas ke muka bumi untuk menguji kesetiaan kita kepada-Nya.

Setiap hari kita menyadari bahwa kita selalu berdosa dengan pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Maka yang harus selalu kita lakukan adalah memohon ampunan untuk pelanggaran-pelanggaran itu agar rahmat Allah juga turut bekerja membantu kita, bekerjasama dengan kita, dan memurnikan hati nurani ini dengan kesucian rahmat ilahi.

Mawas diri

Saya menyadari diri bahwa setiap hari saya selalu berlaku tidak adil ketika melukai hati saudara-saudari seiman dan komunitasku, entah sengaja maupun tak sengaja.

Bukan lagi Roh Tuhan yang bekerja menuntun tapi kehendakku sendiri yang seringkali menyesatkan. Sikap egois, sombong, angkuh, iri hati, dendam, saya sadari bukan jalan menuju kebenaran sejati.

Maka setiap hari dan setiap waktu disadari dan dilatih untuk mengikis secara perlahan dan melatih diri mengejar keutamaan-keutamaan Kristiani melalui tindakan cinta kasih, hati yang mengampuni, bersyukur dan mawas diri.

Lebih-lebih saya sebagai religius, bertanggungjawab untuk mengolah diri untuk menimba kebijaksanaan yang Tuhan tawarkan lewat ujian kehidupan yang kecil-kecil itu tadi.

Sebab barang siapa setia dalam perkara kecil, ia setia juga dalam perkara besar (bdk. Luk 16:10).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here