Mengajak Kaum Berjubah Bisa Hidup Miskin

0
312 views
Ilustrasi - Permukiman orang-orang miskin. (DNA India)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Senin, 4 Oktober 2021.

Tema: Yang kecil, yang mulia.

  • Yun. 1: 1-17, 2:10.
  • Luk. 10: 25-37.

ECCLESIA semper reformanda est. Gereja selalu memperbaharui diri. Kiranya itu cocok dengan bacaan hari ini.

Orang Samaria yang baik hati. Kisah ini mengajak, mendorong dan menghidupkan gelora kasih. Menjalin ikatan persaudaraan dan persahabatan sosial tanpa batas SARA menjadi panggilan kita. Karena, -kata pepatah- “Tak seorang pun bisa menjalani hidupnya sendirian”. No man is an island.

Belajar hidup.

Dalam proses “pembentukan” menjadi imam, kami belajar hidup dari masyarakat. Melakukan apa yang biasa disebut Probasi. Sebuah program pembinaan diri di mana kami “dicemplungkan” bekerja layaknya orang kebanyakan di tengah masyarakat.

Sebuah aktivitas  kami jalani untuk orang-orang kecil, miskin, pemulung, gelandangan. Terlibat dengan membangun rumah yang layak dihuni. Terjadi di sebuah tempat penampungan sosial di daerah Muktiharjo, Semarang. Lewat Yayasan Sosial Soegijapranata, maka dibangunlah rumah-rumah tersebut.

Dengan  semangat awal yang menggebu-gebu kami dibekali spritualitas hidup bersama orang-orang kecil; berjalan bersama-sama dan bersaudara dengan mereka. Kami dilatih  membangun sebuah komunitas kehidupan yang layak dalam persaudaraan dan persahabatan.

Tapi, nyatanya nyali jadi ciut, ketika kami melihat keadaan keseharian hidup sosial yang nyata. Listrik dan fasilitas air tak ada. Hanya ada satu gubug gedek untuk kami. Sungai itulah satu-satunya yang ada untuk bisa buang hajat.

Sementara, kami sendiri tetap harus hidup secara normal. Artinya kehidupan doa dan kebersamaan sebagai sebuah komunitas tidak boleh diabaikan. Harus ada satu orang yang di rumah untuk membereskan pekerjaan rumah, memasak, rebus air, dan seterusnya.

Kami dilatih siap setiap saat, malam sekalipun kalau material pembangunan datang, maka harus segera mengangkutnya ke lokasi.

Yang pertama kami cari adalah batu kali yang akan dijadikan semacam pondasi, ompak, rumah. Rumah dari kayu dan berdinding dari anyaman bambu. Rumah gedek.

Tentu dengan nihil pengalaman, seorang mandor memerintah dan mengawasi apa yang harus dikerjakan.

Tidak siap

Hari pertama pun kami tidak siap mandi, karena waktu sudah sore dan kami tidak punya tempat untuk mandi. Kecuali harus berani ikut nyebur dan mandi di sungai. Masih agak ragu-ragu dan takut. Airnya tidak bening tapi mengalir. Masyarakat sudah terbiasa mck di sungai.

Hari pertama, saya kebagian masak. Hanya bisa masak oseng-oseng kangkung dan menggoreng tahu tempe. Malamnya masak super mie. Bujet dibatasi.

Kami diajari, tidak boleh komentar soal makanan. Semua baru belajar dan dilatih hanya mensyukuri apa yang ada.

Kami belajar membiasakan hidup seperti kebanyakan masyarakat sekitar. Tidak mengeluh. Menerima, mensyukuri. Senasib dan sepenanggungan. Sehati dan seperasaan.

Selalu ditekankan oleh pembimbing, “Apa arti kehadiranmu? Senasib, sepenanggungan dengan orang-orang yang kamu layani. Di luar  adalah godaan dan pelarian palsu. Sungai menjadi ibu kami. Semua kegiatan, MCK, bahkan memasak pun ambil air dari sungai. Tuhan telah menyediakan.”

Saat itu, kami tidak punya pikiran yang aneh-aneh. Semua keraguan tentang kesehatan kami singkirkan. Kami melihat orang orang lain pun melakukan hal yang sama. Mereka tidak sakit, maka secara “lugu” kami pun melakukan hal yang sama.

Ada satu hal yang menyenangkan dalam kebersamaan.

Menerima kebaikan

Setelah hampir 40 tahun lebih, kini pun saya masih bisa ingat akan satu keluarga pemulung. Mereka sering memberi kami lauk pauk. Entah dari mana mereka dapat. Mereka pergi pagi dan sore pulang.

Mereka ini keluarga sederhana. Menganggap dan memperlakukan kami sebagai saudara.

Di rumah mereka begitu banyak terkumpul barang-barang hasil memulung dari kota. Kadang-kadang kami membantu memilah barang-barang itu dan dimasukkan dalam karung karung tertentu.

Dua bulan lamanya kami hidup bersama mereka. Kami belajar hidup bersaudara dan bersahabat dengan mereka.

Tidak ada pikiran, perasaan, praduga aneh-aneh. Tak ada konflik karena SARA. Kami hidup apa adanya, bergembira bersama mereka.

Ada saat perjumpaan mendengar kisah-kisah pergulatan mereka. Mereka tidak khawatir akan hidup. Tidak pernah gelisah apa yang mereka makan. Mereka percaya saja, walau jarang melihat sembahyang.

Cap sebagai sampah masyarakat itu menyakitkan. Mereka bekerja mencari hidup. Walau ada yang nakal dan kurang ajar. Tapi kami dapat belajar bersama.

Santo Fransiskus Assisi hidup berdasarkan aroma Injil, persaudaraan bagi semua.

Tuhan, mampukan kami hidup bersaudara dengan orang lain. Amin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here