Mengapa Perlu Curhat? (2)

0
1,517 views

Kadang ada juga orang yang tidak bisa mengungkapkan beban hatinya. Pernah suatu kali saya mengadakan retret agung di Rumah Retret Roncalli Salatiga.  Selama retret gaya ignasian ini, saya tidak diperkenankan berbicara dengan orang lain (silentium magnum), kecuali dengan pembimbing rohani.

Gejolak-gejolak hati dan pengalaman buram masa lampau yang akan saya ungkapkan itu  tidak terungkap. Kemudian pada suatu kesempatan, saya diajak ke Candi Gedong Songo Ambarawa.   Di tempat ketinggian itu, saya mencurahkan isi hati, berteriak-teriak keras, mengungkapkan apa yang mengganjal di hati.

Dan memang sungguh benar. Curhat diartikan sebagai self-disclosure, pengungkapan diri yang dilakukan seseorang dengan tujuan supaya hatinya menjadi ringan.  Retret bisa berjalan dengan lancar, sebab ada keterbukaan dari pihakku yakni orang yang dibimbing.
Selain berteriak-teriak, ada juga orang yang menuliskan uneg-uneg-nya dalam buku harian atau diary. Diary bagaikan teman dekatnya yang mampu menerima curahan hati sampai sedalam-dalamnya bahkan ke  sudut yang paling rahasia. Anne Frank (1929 – 1945)  yang memiliki nama kecil: Annelies Maria Frank dalam  The Diary of Anne Frank, melukiskan  sebuah pengalaman batin seorang gadis Yahudi dalam masa kejahatan Nazi.

Dia bisa bertahan hidup dalam kebengisan, salah satu pengalamannya itu ia curahkan dalam bentuk tulisan.  Bimbo  pernah melantunkan lagu dengan judul Tuhan dan ini menjadi lagu religius yang indah.  Dalam arti ini, tidak salahlah bahwa seseorang bisa mengaduh kepada Tuhan. Peng-aduh-an kepada Tuhan inilah yang kita pandang sebagai curhat.

Pimpinan kesepian
Seorang yang duduk di pucuk pimpinan adalah orang yang kesepian. Dia adalah orang yang mengambil keputusan untuk perusahaan, lembaga, yayasan yang dikelolanya. Karena itulah, bawahannya tidak ada yang berani mendekat, kecuali para penjilat yang biasa memuji-muji dengan maksud mendapatkan posisi empuk.

Pepatah Latin yang berbunyi, “Animo magis quam corpore aegri sunt” yang berati: mereka yang berkuasa itu lebih banyak terkena sakit jiwa daripada sakit badan. Kalau kita renungkan – ada benarnya juga.  Setelah selesai tugas di kantor yang penuh dengan formalitas, seorang pemimpin ingin mencurahkan isi hatinya kepada orang lain. Ia ingin berbincang-bincang tentang hal-hal yang sepele, sambil minum secangkir  teh dengan koleganya dan tertawa-tawa, meskipun tidak ada yang lucu.

Kita jadi ingat akan Alm. Suharto yang memiliki senyum khas ketika menerima tamu dengan cangkir di tangannya. H.C. Andersen (1805 – 1875) dalam Pakaian Baru Kaisar, telah membuktikan bahwa para asisten kaisar itu hanya bisa mengatakan “ya” terhadap kaisar, sehingga ketika sang kaisar tidak menggunakan pakaian (telanjang), mereka takut untuk memberitahu.

Dewa tertinggi, Zeus yang tinggal di puncak gunung Olimpus pun kadang-kadang pada waktu senggangnya suka untuk bercengkrama dengan rakyat jelata. Zeus dan dewa-dewa lain suka mengunjungi bangsa  Hiperboria, sebuah bangsa yang bebas dari penyakit dan penuh kebahagiaan ini, sebab di tempat itu Zeus merasa mendapat sambutan penuh keramahtamahan.  Tidak heranlah bahwa dewa tertinggi itu pun menikahi manusia-manusia biasa, yang pada gilirannya melahirkan manusia setengah dewa yaitu Herkules. Dewa itu berbagi cerita dan berbagi cinta dengan manusia.

Selang  beberapa lama,  saya marah, kecewa dan jengkel  kepada seseorang. Dalam hati saya mau ketemu dia untuk mencurahkan hati dengan marah-marah supaya merasa plong.  Akhirnya muncul ide. Rasa jengkel, kecewa dan marah itu saya tulis dalam bentuk surat. Setelah selesai saya tulis, surat itu kumasukkan dalam amplop, dengan prangko secukupnya dan alamat lengkap, kemudian saya masukkan dalam laci.

Setelah dua hari surat itu ngendon di laci,  saya buka surat itu dan saya baca. Aduh! Betapa mengerikan isi surat itu. Penuh kemarahan dan agak kasar.  Saya bersyukur sebab sebelum ketemu orang yang akan menjadi sasaran kemarahan, curhat  terlebih dahulu  kepada sahabatku: kertas surat. Surat curhat itu pun tidak jadi saya kirim via pos, meskipun jarak orang yang akan saya kirimi surat itu  sepelemparan batu saja jauhnya.  Memang benar kata-kata Ignatius Loyola, (1491 – 1556) “Di saat mengalami desolatio  kita jangan mengambil keputusan.”  Oh curhat, curhat !!  Ada-ada saja kau ini.

selesai

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here