Mengasah Nurani dengan Dongeng, tapi Kian Hilang (2)

0
267 views
Ilustrasi (Ist)

RASANYA sungguh sayang bahwa di tahun-tahun kemudian saat saya bersekolah di SMP, tradisi bernarasi melalui medium dongeng itu kian menghilang. Lalu, menjadi kian tragis lagi setelah juga tidak ada ‘pelajaran’ budipekerti. Saat Pemerintahan Orde Baru ada di tampuk kekuasaan, tradisi guru mendongeng di kelas dan ‘pelajaran’ budipekerti sepertinya benar-benar ditinggalkan, karena lalu muncul pelajaran penggantinya yang hanya ‘ngudeg-udeg’ Pancasila: PMP (Pendidikan Moral Pancasila).

Baca juga: Mengasah Nurani dengan Dongeng (1)

Jadi, moralitas politik yang ditekankan dan bukan lagi moralitas pribadi yang mengacu pada kualitas baik-buruknya manusia sebagai manusia.

Sopan santun mulai ditinggalkan dan tradisi menghormati orangtua juga ditinggalkan. Saya begitu terkejut, ketika melihat seorang anak SD kelas lima berjalan begitu enaknya di antara orang dewasa yang duduk di lantai tanpa mengucapkan kata ‘permisi. Keterkejutan saya semakin lengkap, ketika menyaksikan anak-anak sekarang susah mengucapkan terima kasih kepada orang dewasa yang telah memberi sesuatu padanya.

Waktu berjalan sangat cepat. Tanpa terasa, saya sudah meninggalkan bangku sekolah lebih dari 30 tahun silam. Ada semacam ruang kosong yang tersisa di alam sadar saya bahwa ‘pisau pengasah’ nuraniku kian lama kian kosong. Ini kegelisahan saya.

Tentu, saya akan merasa semakin prihatin ketika melihat orang zaman sekarang sudah semakin tidak acuh dengan lingkungan sosialnya. Mereka memilih diam, tak acuh, menyaksikan orang lain tengah mengalami celaka dan butuh bantuan nyata. Kepekaan dan belarasa orang kini kian luntur.

Kejujuran juga makin mahal karena jarang ada di masyarakat. Orang memilih sikap lebib baik berbohong saja daripada harus masuk penjara dan malu hati.

Berbohong asal kepentingan pribadi terjamin. Anehnya lagi, orang bohong ini juga tidak merasa bersalah bahwa telah hidup bermewah-mewah dengan menyengsarakan orang banyak. Itulah yang terjadi, ketika korupsi kian meraja lela, tanpa ada rasa malu pada diri pelaku.

Nurani tumpul

Nurani sudah tumpul oleh nafsu akan kekuasaan dan kekayaan.

Apakah semua ini terjadi karena anak-anak sudah kehilangan citarasa akan nilai-nilai moral yang dulu dengan mudah bias ‘ditularkan’ kepada mereka oleh guru dan orangtuanya melalui kebiasaan bernarasi melalui dongeng atau cerita yang mengambil tokoh dari khasanah dunia binatang.

Harapan
Ini sebuah harapan dari seorang nenek. Kalau akhir-akhir ini mulai lagi digalakkan pentingnya pendidikan karakter di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, itu rasanya merupakan sebuah langkah maju.

Pak Presiden sudah mempopulerkan gerakan Revolusi Mental dimana mendorong para penyelenggara Negara agar segera ‘sadar diri’ akan pentingnya nilai kejujuran, kebaikan bersama, dan kemakmuran masyarakat.

Apakah program Revolusi Mental ini akan berdaya efektif?

Susah menjawabnya, kalau program Revolusi Mental itu hanya menyentuh aspek pribadi di tataran penampilan luar dan tidak mengakar pada nurani masing-masing pribadi. Kalau saja sejak usia dini, anak-anak dididik agar punya mekanisme ‘rasa takut’ bila melakukan hal buruk, maka itulah tanda baik bahwa suara hatinya terbina untuk melihat segala sesuatu dengan terang –benderang dan mata bening: jujur, adil, apa adanya, sederhana.

Pendidikan karakter sejak usia dini melalui ‘mekanisme’ narasi dongeng setidaknya bisa memberi bekal penting bagi terbentuknya pribadi-pribadi manusia yang berwatak unggul, berjiwa jujur, dan bersemangat belarasa yang tinggi akan orang lain.

Saya senang melihat pejabat suka turun panggung dari kursi kenyamanan mereka dan terjun ke bawah melihat lapangan untuk kemudian berbuat sesuatu bagi kepentingan masyarakat banyak.

Kepekaan inilah yang menurut pengalaman pribadi saya bisa muncul karena sejak dini anak-anak dididik agar punya kepekaaan. Pada konteks pengalaman pribadi inilah, saya berpendapat narasi orangtua dengan menghibur anaknya melalui dongeng itu punya peran penting dalam proses pembentukan ‘suara hati’.

Harapan saya jelas. Semoga sekolah-sekolah dasar kembali menggalakkan tradisi guru bercerita agar kepekaan terhadap nilai-nilai social dan kebaikan itu semakin tertanam kuat di pusat kesadaran anak-anak sejak usia dini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here