Menggugat Tuhan, karena Tiga “Ong” Pecandu Narkoba

0
671 views
Ilustrasi - Pusing ketagihan narkoba. (Ist)

ADA satu perikop Kitab Suci terukir indah dalam jiwaku.

“Setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat…” (Markus 10: 29-30).

Ada satu peristiwa yang kuat menancap di dalam benakku. Meski sudah hampir 11 tahun lampau.

Saya pernah menggugat Tuhan. Menagih janji-Nya.

Peristiwa itu terjadi tahun 2010 yang lalu. Tahun yang penuh kegalauan. Adikku masuk penjara, karena narkoba. Ibuku terkena stroke. Dunia jadi terasa gonjang ganjing. 

Meski statusku suster biarawati, namun situasi keluarga saat itu sangat mempengaruhi suasana hati, pikiran, dan sepak terjang pelayananku.

Tawaran merantau

Tahun 2011. Suasana keluargaku semakin ‘panas.’ Kakakku sering marah-marah. Adikku malah semakin sering pergi dan nongkrong bersama geng-nya.

Suatu hari, aku mencoba menghubungi adikku. Iseng-iseng bertanya padanya, apakah ia mau merantau ke Lampung. Suatu jawaban yang tak pernah saya duga sebelumnya.

Dengan cepat ia menjawab, mau. Padahal, ia anak manja. Tak pernah tinggal di luar rumah. Ia mengatakan mau kerja apa saja. Dan sudah tidak mengkonsumsi narkoba lagi.

Bagiku, ini hal yang sangat luar biasa sekali.

Lalu, aku mencoba menghubungi salah satu umat yang memiliki pabrik besar. Pabrik milik keluarga. Kuceritakan apa adanya tentang adikku itu.

Dengan senang hati, ia mau menerima adikku. Apa pun kondisi dan situasinya. Kapan pun bisa datang. Tinggal masuk dan tinggal di mes.

Ah, suatu anugerah besar untuk keluarga kami. Aku juga bercerita pada pimpinan. Permintaanku dikabulkan. Rencana, adik akan bermalam di susteran satu hari.

Merantau

Hari yang ditunggu. Aku menjemputnya di pul bis Damri. Kulihat adikku penuh semangat. Melihat tingkahnya, membuat aku bersyukur dan yakin bahwa ia memang sudah tidak ‘ngobat’ lagi.  

Tiba di susteran. Kuhantar ia ke kamarnya. Adikku tampak ceria. Malam itu, kami berbincang-bincang tentang rencana keberangkatannya esok pagi. “Mereka akan menjemput, kalau kita sudah siap berangkat,” ujarku semangat.

Letak pabrik lumayan jauh. Sekitar 120 km dari susteran.

Tak ada reaksi

Usai makan pagi. Aku bergegas ke kamar adikku. Tirai jendela masih tertutup rapat. Kulewati saja kamarnya. Aku menuju ruang kerjaku. Mungkin masih mandi, pikirku. Sambil menunggu, kumanfaatkan bekerja meski cuma sebentar.  

Satu jam kemudian. Saya kembali ke kamarnya. Keadaan sama. Tirai jendela belum terbuka sedikit pun.

Sudah jam segini. Perlahan kubuka pintunya.

Ya ampun… masih tidur. Ini mau kerja apa tidak?

Beberapa kali aku membangunkannya. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Rasa kuatir mulai merambah pikiranku. Aku menyerah. Kutinggalkan kamar adikku.

Aku kembali ke ruang kerja.

Empat jam kemudian. Aku ke kamar adikku lagi. Sama saja. Tak ada reaksi. Adikku seperti teler. Rasa ingin tahu menyergapku.

Ada apa dengannya?

Suntikan

Malam hari, aku beranjak ke kamarnya. Sama. Adikku masih tidur. Perlahan kubuka tas ransel besarnya. Deg!

Kutemukan beberapa suntikan. Seperti sebilah pedang tajam menujah punggungku.

Tanganku gemetar. Kutahan tangisku. Dadaku sesak. Seribu satu macam perasaan bergumpal dalam dadaku.

Aku duduk di sampingnya. Tanpa kata. Suara lemah keluar dari mulut adikku. Ia meminta maaf karena belum bisa bekerja.

“Kemarin itu, bukan aku yang sesungguhnya. Tetapi narkoba yang jalan,” katanya apa adanya.

Ha? Mataku terbelalak. Tak tahu apa yang harus kukatakan.

Kulihat airmata meleleh di pipinya.

Pengakuan

Malam itu seakan milik kami berdua.

Sampai tengah malam aku bersama adikku. Ia mengaku selama perjalanan dari Jakarta ke Lampung, menyuntik dua kali.

Pertama, dalam bis. Kedua, di toilet kapal. “Kalau itu tidak saya lakukan, saya tidak mungkin sampai ke sini,” akunya.

Beberapa kali, ia minta maaf untuk semuanya. Ia mengatakan, kalau ingin sekali sembuh dari narkoba. Keluar dari lingkaran setan.

Akan tetapi, ia tak dapat menolong dirinya sendiri. Pernah ia mencoba berhenti, tetapi selalu jatuh dan jatuh lagi.  

Kepadaku ditunjukkan pergelangan tangannya. Mataku terbelalak untuk yang kedua kalinya.

Ya Tuhan, penuh goresan silet. Serasa goresan itu juga menyilet-nyilet ulu hatiku.

Miris. Itu dilakukan kalau ia sungguh tidak punya uang. Dengan menghisap darahnya, kebutuhannya terpenuhi.  

Di hadapan adikku, aku berusaha setegar-tegarnya. Tetapi sesekali aku izin pergi. Lari ke kamarku.

Menangis sejadi-jadinya. Dadaku sangat sesak. 

Tiga’ong

Banyak kisah yang ia ceritakan kepadaku. Hati, pikiran, dan mataku terbuka bagaimana kehidupan seorang pecandu narkoba.

Mereka hidup dalam tiga “ong”: bohong, nyolong, dan bengong.

Fantasi mereka liar. Tak terarah. Tapi itu semua fatamorgana. Dari luar mereka tampak kuat. Ceria. Percaya Diri.

Namun, sebenarnya rapuh. Ringkih. Tak berdaya. Tak bernyali.   

Sakau

Malam ketiga. Adikku lepas dari obat narkoba. Ia menahan sakit seluruh sendi dan tulang tubuhnya.

Malam itu, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mulutnya dikatup kuat-kuat. Adikku sakau.

Malam itu tumpah sudah air mataku. Tak henti-hentinya aku berdoa. Aku tak mampu melakukan apa-apa. Yang ada hanyalah hati yang mencinta.

Jauh di lubuk hatiku, aku yakin, Tuhan tak akan tinggal diam. Dia akan terus bekerja lewat cara-Nya sendiri.

Berbagai bentuk cinta

Sesekali adikku keluar kamar. Berjumpa dengan para karyawan lain. Bercakap-cakap sejenak. Itu pun hanya bertahan satu-dua jam saja. Setelah itu, ia masuk kamar. Berbaring.

Air mata menetes di pipinya. Ia menahan rasa sakit seluruh tubuhnya.  

Suatu pagi adikku mengatakan, kalau ia senang mendengar lantunan doa para suster. Suara lonceng gereja yang berdentang.

Membuat dirinya rindu untuk ke gereja. Rindu pada Tuhannya.

Suatu saat, entah mengapa aku bercerita tentang adikku pada seorang karyawan yang aku kenal baik. Ia berjanji akan mendoakan adikku secara khusus. Membuang pikiran-pikiran negatifnya.

Ia meminta agar kami berdoa pada jam yang sama. Jadilah kami mengadakan doa gotong royong.

Menurutnya, doa yang dipanjatkan dalam darah daging yang sama, lebih mantap.  

Selama 10 hari adikku tinggal di biara. Hampir setiap hari ada orang datang ke kamarnya. Mereka membawa sesuatu khusus untuk adikku itu. Ada yang membawa susu sapi segar, daging ular, kue-kue biskuit.

Berbagai bentuk cinta datang dari orang-orang sederhana. Mereka memiliki hati dan rasa belaskasih. Mereka adalah satpam dan pekarya susteran.

Rasa haru mencuri di hatiku. Mereka memberi dari kekurangannya.

Tak masuk akal

Tibalah hari adikku pergi bekerja. Segumpal sesak lahir kembali di dadaku. Tidak tega melepaskan dia untuk bekerja di pabrik.

Mana mungkin pemakai narkoba 10 tahun, dengan proses penyembuhan 10 hari. Tanpa pendampingan medis. Tanpa pendampingan psikolog.

Tidak masuk akal.

Sejuta rasa kuatir lahir di hatiku. Diam-diam saya menangis, karena tidak tega melepas kepergian adikku. Tetapi saya harus menyangkal semua keinginanku itu.   

Kupasrahkan dia pada Yang Maha Kuasa. Mohon perlindungan-Nya.

Tangan-tangan kasih

Dari hari ke hari Tuhan senantiasa melindungi dan mendamping adikku itu.  

Perjuangannya mengalami jatuh bangun. Godaan siap menerkamnya.

Namun, tangan Tuhan selalu di atasnya.

Mukjizat sungguh terjadi. Hingga kini, adikku tampil sehat. Tak ada organ tubuh yang sakit. Padahal, sama sekali tak ada pendamping medis. Apalagi piskolog.

Siapakah saya?

Saya hanyalah hamba Tuhan. Yang kumiliki hanyalah cinta dan doa. Banyak tangan-tangan kasih yang terulur untuk adikku lewat orang-orang sederhana.

Cinta mereka tulus. Tak mengharapkan apa-apa.   

Kalau dipikir secara manusia, mana mungkin terjadi.

Tapi itulah karya Tuhan yang begitu agung. Kuat. Perkasa. 

Allah sungguh setia pada janji-Nya. Tak pernah Ia ingkar pada janji-Nya. Begitu banyak rahmat melimpah yang Ia hadiahkan untukku.

Masihkah aku meminta tanda dari-Nya? Masihkah aku akan menggugat-Nya lagi ketika jalan yang kulalui tandus, kering, dan tak ada tanda kehidupan sekali pun?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here