Menghapus Beban Batin Masa Lalu

0
251 views
Ilustrasi -- Pertobatan (Ist)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Kamis, 2 September 2021.

Tema: Kelegaan luar biasa.

  • Bacaan Kol. 1: 9-14.
  • Luk 5: 1-11.

RASA bersalah dapat menjadi sebuah anugerah tak terhingga. Sebagai manusia, kita tidak selalu berjalan sesuai firman kebenaran Tuhan.

Kita percaya, kekeliruan bisa menjadi cara Tuhan mendidik, menjadikan kita dewasa dan peka.

Tuhan ingin kita hidup sesuai dengan rancangan hati-Nya. Tidak melakukan yang bertentangan dengan kasih-Nya.

Namun kadang suara hati itu kalah, melemah.

Dalam timbunan budaya saat ini dan serbuan iklan-iklan yang memanjakan, kadang suara Tuhan tak terdengar.

Pilihan-pikihan dan keputusan kadang tak seirama dengan tuntutan iman, keadilan, dan kebenaran.

Pergulatan dan peperangan batin itu tak jarang membuat lelah. Betapa banyak hal-hal yang bertentangan dengan suara hati yang suci.

Ia dihadapkan pada situasi sulit dan tak berdaya, tak berkuasa atas dirinya sendiri. Ia terpuruk.

Rasa salah dan menyesal dipercaya datangnya dari Roh baik.

Roh menyadarkan kembali sebagai anak-anak Bapa tercinta.

Roh Tuhan mengobarkan rasa ini sebagai cara-Nya memulihkan.

Rasa sesal bila dilanjutkan dengan pertobatan dapat menjadi sebuah keindahan dan kebaikan hidup.

“Romo ada waktukah? Saya merasa sesak,” keluhnya.

“Ada sesuatu yang menekan. Saya merasa bersalah. Saya keliru dalam hidup,” ia memulai kisahnya.

Lalu kami bicara bersama. Ia mengalami kelelahan. Ia menyembunyikan bertahun-tahun lamanya kekeliruan dalam hidupnya.

Batinnya terbeban. Ia tidak mampu jujur.  Semakin lama menyimpan dan menyembunyikan semakin menyesak.

Terkadang bisa dia abaikan sesaat dengan kesibukan. Tetapi saat tenang, waktu hening, dalam doa rasa itu menggelisahkan.

“Apakah ibu membutuhkan Sakramen Tobat. Kasih pemulih, penyempurna dari Tuhan?” tanyaku.

“Tapi saya takut Romo,” jawabnya malu.

“Apa sungkan dengan saya? Kalau begitu bisa meminta dari imam yang lain?”

“Tidak Romo. Saya malu dengan diri sendiri. Pasti Romo tidak menyangka kalau saya telah melakukannya,” begitu alasannya.

“Ibu, sakramen itu kemurahan hati Tuhan yang membebaskan kita dari cengkraman  kuasa jahat dan pengaruhnya. Ia berusaha agar kita menyembunyikannya. Dengan demikian hidup kita berada dalam pengaruhnya dan tidak berkembang ke arah yang lebih baik,” kataku.

“Betul, Mo. Justru itu yang  saya alami. Saya tidak bisa berbuat banyak karena beban batin ini. Tanpa sadar saya mengasingkan diri dari keluarga. Saya bicara seperlunya, tidak bisa tertawa, hangat atau dekat. Saya tersiksa,” keluhnya.

“Baiklah kalau begitu. Apakah ibu mau Gereja memberikan sakramen kepadamu?”

“Mau Romo. Saya ingin bebas. Saya ingin kembali kepada Tuhan, membersihkan hidup saya.”

Kami pun memasuki bilik Sakramen Tobat.

Agak lama saya menunggu di luar setelah menerimakan Sakramen Rekonsiliasi.

Ia mencoba tersenyum. Matanya bengkak.

Saya tidak memperhatikan keadaan fisiknya. Saya menyapa dan berterimakasih. Ia datang kepada Tuhan. Ia dimampukan berani minta sakramen yang menguduskan.

Ia menjadi puteri Allah yang diperbaharui. Ia disucikan.

Saya ingat kata-kata ibu itu, kira-kira begini, “Romo, awalnya saya takut. Saya malu dengan diri sendiri. Saya bertanya kenapa bisa jatuh dalam cobaan ini. Kenapa pula bertahun-tahun saya sembunyikan. Padahal hati kecil sudah menegur. Rasa malu saya hilang Mo. Martabat saya dipulihkan.”

Paulus meneguhkan, “Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa.” ay 13-14.

Sama seperti Santo Petrus kita pun menyembah, “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.”

Dan bersama dia, kita pun bangkit dan mengikut Yesus lagi.

Tuhan, terimakasih atas belas kasih-Mu. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here