Menjadi Pastor Pedalaman di Penajam, Kaltim: Ukuran Sukses Bukan Karena Banyaknya Jumlah Baptisan (3)

0
420 views
Pastoran Paroki St Maria Fatima Penajam di Kaltim tahun 2000 lalu.

AKU tertarik dengan kisah perkawinan di Kana (Yohanes 2:1-11). Peran Maria sebagai ibu Yesus adalah pengantara.

Dalam keadaan krisis, Maria berani mengambil inisiatif untuk mencari solusi. Maria berani melaporkan situasi krisis yang dialami pengantin kepada Yesus.

“Anggur habis,” lapor Maria kepada Yesus, anaknya.

Naluri kewanitaan amat peka terhadap hal yang kecil-kecil, apalagi menyangkut anggur dalam sebuah pesta perkawinan. Maria, sebagai perempuan sekaligus sebagai ibu Yesus tahu menempatkan diri dalam keterlibatannya mengatasi krisis anggur.

Tahu diri

Maria juga sadar akan perannya di hadapan Yesus. Maria secara pro aktif melaporkan keadaannya yang nyata kepada Yesus.

Laporan itu bukan sekedar rekayasa untuk mencari muka, mencari nama atau uang jasa. Bunda Maria menyampaikan secara apa adanya, karena ia percaya akan Yesus sebagai Putera Allah.

Maria pun kembali pada para pelayan. “Apa yang dikatakan kepadamu, perbuatlah.”

Maria tidak merekayasa atau menghasut atau mencari pengaruh untuk menolak Yesus, karena reaksi Yesus terhadap Maria: ”Mau apa ibu, saat-Ku belum tiba?”

Maria tidak tersinggung akan jawaban Yesus, puteranya. Maria tahu menempatkan diri.  

Maria menyadari akan posisi perannya sebagai pengantara, lebih-lebih dalam situasi krisis. ”Biarlah Yesus bertindak dengan kuasa ilahi. Memang Dialah yang berhak untuk bertindak atas nama Allah. Bukan diriku.”

 Itulah kira-kira perasaan dan pikiran Maria sebagai pengantara.

Bukan ukuran sukses

Walaupun aku kurang berdevosi pada Bunda Maria, namun yang selalu kuminta lewat Bunda Maria adalah agar aku bijaksana dalam memainkan peran sebagai seorang  imam, seorang pastor pedalaman.

Membiarkan Roh Tuhan berkarya dalam hidup jemaat inilah yang kuperjuangkan dalam menjalankan tugasku sebagai pastor di paroki kampung.

Seperti Maria memahami kedudukannya sebagai perantara dalam karya keselamatan yang dilakukan Yesus, aku pun berusaha agar peran imamatku sebagai perantara dapat menjadi sebuah kesaksian tersendiri.

Peran sebagai pastor bukanlah diukur dari beberapa hal berikut ini.

  • Jumlah baptisan tiap tahun.
  • Banyaknya bangunan di wilayah reksa pastoral paroki di mana pastor berkarya.
  • Banyaknya projek-projek sosial karitatif.
  • Makin sibuknya pelayanan sosial.
  • Banyaknya relasi dengan umat.
  • Tebalnya amplop stipendium.
  • Banyaknya undangan memberi ceramah, rekoleksi atau retret.
  • Banyak atau sedikitnya acara-acara di paroki.
  • Banyaknya memegang jabatan di keuskupan atau yayasan-yayasan.

Namun, saya meyakini akan hal ini –sesuai pengalaman pribadi –yakni memainkan peran imam sebagai perantara umat dengan Tuhan.

Segudang masalah

Umat sering tiba-tiba datang menyambangi pastoran. Sudah pasti tanpa “diundang”. Mereka datang bertemu aku dengan membawa segudang masalah.

Lalu, pertanyaan yang kemudian mengisi hari-hariku adalah soal ini. Bagaimana sebagai pastor, aku bisa membawa umatku yang sedang menghadapi masalah hidupnya ini pada Allah.

Dengan kata lain, bagaimana umatku tetap percaya dan setia pada kehendak Allah?

Biasanya, aku membawa umatku dalam doa-doa pribadiku atau dalam Perayaan Ekaristi.

Secara manusiawi, aku benar-benar sadar diri sungguh-sungguh takkan bisa menyelesaikan masalah-masalah umatku di paroki.

Tapi lewat teladan Bunda Maria sebagai pengantara, aku kok merasa dikuatkan bahwa aku tidak sendiri dalam menjalankan tugas ini.

Aku percaya bahwa Tuhan memilih, maka Dia sendirilah yang memulai dan menyelesaikan dengan sempurna. ”Aku ini hamba Tuhan ,terjadilah padaku menurut kehendak-Mu”.

Maria mempercayakan tugas panggilan yang dia terima kepada Allah yang memilih dan memanggilnya. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here