SEBUAH pesan yang sejuk muncul di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, awal bulan Mei tanggal 1 lalu, ketika komunitas umat Katolik menggelar misa inkulturasi berbahasa Jawa di Gereja Santa Sisilia. Perayaan ekaristi ini dipersembahkan oleh tujuh orang pastor dan dihadiri hampir seribu umat.
Misa itu merupakan agenda rutin tahunan bagi komunitas etnis Jawa yang merantau kemudian berdomisili di Kota Pontianak dan sekitarnya. Setiap momen Perayaan Paskah, umat Katolik Jawa di kota itu selalu mempersiapkan misa inkulturasi. Di sini mereka menggunakan bahasa Jawa serta perangkat musik khas Jawa yang lengkap, serta aksesoris asli tanah leluhur mereka.
Seno Suharyo, 52, satu di antara figur masyarakat Jawa di Pontianak, menuturkan, tradisi menggelar misa inkulturasi ini setidaknya sudah berlangsung selama 17 tahun. Di tahun pertama digelar, belum menggunakan perangkat musik khas Jawa secara lengkap, seperti yang baru saja mereka gelar beberapa tahun belakangan.
“Tahun ini, dari 17 orang pemain musik untuk misa ini, hanya kami berdua–saya dan seorang teman saya–yang bergama Katolik. Pemain musik lainnya, termasuk dua orang wanita yang menjadi sinden adalah saudara-saudari Muslim,” kata Seno.
Sudah 17 tahun
Hingga saat ini, sudah 17 kali misa inkulturasi ini digelar, alias sudah 17 tahunan. Di tahun awal, kata Seno, panitia memohon kesediaan Mgr Ignatius Suharyo—kala itu masih sebagai Uskup Agung Semarang—yang kebetulan sedang ada kunjungan ke Kalimantan Barat, untuk memimpin misa inkulturasi Jawa di Katedral Santo Yosep Pontianak.
“Waktu itu belum menggunakan karawitan, baru pakai orgen untuk musiknya,” kenang Seno.
Untuk tahun ini, sekitar satu bulan sebelumnya, sebuah kelompok musik karawitan “Wijoyo Laras” telah melakukan latihan-latihan untuk penyesuaian dengan lagu-lagu gereja. Alat musik lengkap mulai dari gendang, gamelan, juga sejumlah gong aneka ukuran.
Kelompok karawitan mengiringi lagu-lagu Kristiani dalam ritus Gereja Katolik yang dinyanyikan kelompok paduan suara. Para anggota koor ini semuanya Katolik. Juga ada tarian Dayak untuk menyambut para imam, dan tarian Jawa untuk mengantarkan persembahan.
Karawitan “Wijoyo Laras” dipimpin oleh Erwan Suparlan Adiningrat, 45, seorang Muslim asal Surakarta, Jawa Tengah, yang sudah 10 tahun berdomisili di Pontianak. Erwan memiliki gelar ningrat Kanjeng Raden Tumenggung (KRT), karena merupakan seorang abdi dalem Keraton Surakarta.
Di Pontianak, Erwan bekerja sebagai dosen jurusan seni di Universitas Tanjungpura.
Berpakaian adat Jawa lengkap
Saat tampil di gereja, seluruh pemain musik dan sinden mengenakan pakaian khas Jawa, seperti kain, baju surjan, beskap, dan tutup kepala blangkon. Dengan luwes namun khidmat, mereka memainkan musik yang sejenak terasa seperti benar-benar sedang berada di Tanah Jawa.
“Air mata saya hampir jatuh ketika menyakikan lagu pembukaan berjudul Surak-suraka. Artinya bersorak-sorailah. Saya teringat kampung saya,” kata Joned, asal Sragen, Jawa Tengah, yang mengenakan beskap lengkap dengan blangkon.
Erwan, pemimpin karawitan, mengatakan tidak pernah pusing dengan perbedaan agama. Justru melalui seni karawitan seperti ini, kata dia, bisa menyatukan perbedaan-perbedaan itu.
Bagi masyarakat Jawa, ujar Erwan, berbagai perbedaan merupakan hal biasa, bahkan berbeda agama dalam satu keluarga telah menjadi kewajaran. Kondisi ini membuat masyarakat Jawa sangat terbiasa dengan perbedaan dan tetap saling menghargai. Sikap ini tetap terbawa hingga ke tanah rantau.
Filosofi gong
Ia menambahkan, secara filosofis, masyarakat Jawa yang komunal memiliki aneka keberagaman, termasuk dalam teknik bermain musik. Berbagai keberagaman itu hanya punya satu muara, yaitu gong. Maka, meskipun aneka suara dibunyikan, alat-alat ditabuh, ending-nya nanti adalah suara pukulan pada gong.
“Filosofi ini mengajarkan kami, aneka perbedaan itu harus punya muara yang sama, yaitu kemakmuran, menjadikan Indonesia yang tetap ber-bhinneka,” ucap Erwan yang memainkan gendang.
Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Barat, Kartius, mengatakan, kolaborasi lintas budaya dan agama seperti ini bisa menjadi penanda semangat toleransi masih tetap terpelihara, dan diharapkan mampu menghindarkan gesekan sosial di kemudian hari.
“Dari sisi kepariwisataan, sebagaimana telah saya saksikan di beberapa negara, banyak yang mengandalkan tourism budaya. Ekonomi negara itu lebih hebat, ketimbang hanya mengandalkan sumber daya alam,” kata Kartius, seorang Dayak dan Katolik, yang juga hadir dalam misa inkulturasi itu.
Kartius, Ketua Dewan Pastoral Paroki Santa Sisilia, menyatakan kekagumannya dengan kemampuan komunitas Jawa di Pontianak yang tetap merawat kebudayaan warisan leluhur, sambil tidak lupa tetap pula mengembangkan sikap toleransi yang menjadi inspirasi bagi kalangan lain.
Dari tujuh pastor, Romo GM Lastsendy Pamungkas Winarta dari Keuskupan Ketapang sengaja diundang untuk memimpin konselebrasi. Ia sempat bercanda, dari ketujuh pastor itu, ada satu orang Jawa KW (asli tapi palsu).
“Di antara kami bertujuh, yang semua pakai surjan, kain, dan blangkon ini, ada satu orang Jawi KW yakni Romo Samuel Djumen OFM Cap,” ucap Pamungkas disambut senyum para umat.
Acara adat Naik Dango di Landak
Samuel Djumen merupakan imam Kapusin dari etnis Dayak, yang saat ini menjadi Pastor Paroki Santa Sisilia. Kemudian, satu di antara ketujuh pastor lainnya adalah Pius Barces CP, Sekretaris Keuskupan Agung Pontianak.
“Bapa Uskup Agung sempat direncanakan hadir di sini, tetapi tidak bisa karena pada waktu bersamaan, beliau harus menghadiri acara Naik Dango di Darit,” ujar Barces.
Naik Dango adalah pesta panen suku Dayak, yang saat itu digelar di Darit, Kabupaten Landak. Barces mengatakan, Paskah Inkulturasi harus dilestarikan karena karya Allah sungguh masuk melalui inkulturasi budaya.
“Iman yang membudaya membuat kita lebih mudah menghayatinya. Bahasa, budaya, dan adat istiadat bisa menjadi sarana ungkapan iman kita akan Yesus Kristus,” kata Barces.
Namun ia juga menegaskan, inkulturasi budaya harus menyesuaikan diri dengan masa liturgi. Misalnya terkait warna busana imam.
“Sejak 2010 saya sudah ikuti misa inkulturasi Jawa, dan beberapa hal mulai disesuaikan dalam berliturgi. Misalnya, para romo mengenakan ademan pethak (pakaian warna putih), sesuai warna liturgi (sesuai warna liturginya) bukan surjan warna warni,” ujar Barces yang meraih gelar doktor bidang hukum gereja dari Universitas Kepausan Lateranum di Roma.
Misa inkulturasi, tambah dia, membantu menghayati iman sesuai adat dan budaya. Taapi tetap ada hal-hal yang harus disesuaikan supaya tidak terkesan nyeleneh, tidak bersesuaian, dan kelihata tidak nyambung.
Usai misa, para umat membaur di halaman gereja menikmati makanan khas seperti gudeg. Mereka juga saling menghibur dengan menyanyi dan menari bersama dengan musik campur sari. Sebagian lain berfoto di photo booth yang dirancang khusus di sisi lain halaman gereja.